Oleh Siti Fatima (Aktivis Dakwah)
Pemilu 2024 akan digelar pada 14 Februari 2024. Ada sebanyak 22.871 orang gangguan jiwa atau ODGJ masuk dalam daftar pemilih tetap DKI Jakarta untuk pemilu 2024. Menurut anggota divisi data dan informasi KPU DKI Jakarta, Fahmi Zikrillah, daftar pemilih tetap untuk pemilu 2024 berjumlah 8.252.897 dari total jumlah DKI Jakarta 8,2 juta, jumlah pemilih DPT DKI Jakarta 61.747 dan 22.871 di antaranya merupakan penyandang disabilitas mental (ODGJ).
Kemudian tidak hanya di DKI Jakarta, di KPU provinsi Jawa Tengah juga memfasilitasi sebanyak 45.851 pemilih orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) pada pemilu 2024. Selanjutnya di Bali, ada 4.955 ODGJ yang diberikan kesempatan untuk mencoblos pada pemilu 2024. (merdeka.com, 19/12/2023)
Ketua divisi sosialisasi penyelidikan pemilih dan partisipasi masyarakat KPU propinsi DKI Jakarta Astri menyatakan bahwa kondisi kesehatan orang dengan gangguan jiwa cenderung fluktuatif. Sehingga harus dipastikan sehat sebelum menggunakan hak suaranya. Kemudian harus ada surat keterangan sehat dari dokter apakah pemilih orang dengan gangguan jiwa mengalami halusinasi atau tidak. Keterangan ini menentukan bisa tidaknya orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) untuk pergi keTPS.
Dalam sistem demokrasi, pemilih menjadi peran penting. Sebab suara merekalah yang menentukan para kandidat yang mendapatkan suara terbanyak. Tak heran pemilih dalam pemilu menjadi salah satu objek yang berpotensi bermasalah. Pada awalnya, pemilu di negeri ini tidak memasukan orang dengan gangguan jiwa sebagai pemilih. Berdasarkan UUD pemilu, ada 6 syarat yang harus dipenuhi oleh pemilih. Salah satunya, tidak sedang terganggu jiwa dan ingatannya.
Menjelang pemilu 2024, syarat tidak sedang terganggu jiwa atau ingatan menimbulkan polemik dan kembali menjadi perbincangan publik. Pada pemilu 2019, MK atau Mahkamah Konstitusi menegaskan syarat sedang tidak mengalami ODGJ bertentangan dengan konstitusi sepanjang rasa terganggu jiwa atau ingatan tidak dimaknai sebagai mengalami gangguan jiwa atau ingatan permanen.
Menurut profesional bidang kesehatan, keputusan MahkamahKkonstitusi inilah yang menjadi pedoman bagi KPU untuk menetapkan orang dengan gangguan jiwa sebagai pemilih. Perubahan peraturan terkait hak pilih dalam sistem demokrasi sejatinya menunjukan bahwa perubahan sesuatu yang dianggap wajar. Bahkan regulasi terkait orang dengan gangguan jiwa diduga kuat dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk meraup suara.
Ini membuktikan bahwa negara memiliki standar ganda dalam kebijakan-kebijakannya. Sebab, negara memberi peluang berbeda terhadap orang dengan gangguan jiwa dalam perkara lain. Seperti dalam kasus kriminalisasi ulama beberapa tahun terakhir. Kebanyakan dari pelaku adalah orang dengan gangguan jiwa justru dibebaskan atau tidak diberi sanksi oleh negara. Hal ini menunjukkan bahwa negara mengakui bahwa ODGJ tidak memahami konsekuensi atas aktivitasnya dan tidak mampu berpikir.
Oleh karena itu, masalah ini tidak berkaitan dengan penghormatan atas hak politik kewargaannegaraan ODGJ. Lebih dari itu, hal ini berkaitan dengan politisasi ODGJ oleh pihak tertentu demi meraih kekuasaan untuk memenangkan pemilu. Dengan demikian, demokrasi telah membuka celah bagi orang yang memiliki kekuatan dan modal untuk melakukan politisi terhadap ODGJ. Lebih miris lagi, kekuasaan yang mereka dapatkan hanya untuk memperkaya diri, bukan untuk mensejaterakan rakyat. Inilah tabiat sistem demokrasi yang menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan. Selain itu, sistem demokrasi adalah sistem batil yang berasal dari manusia yang lemah. Sehingga tidak layak diterapkan dalam kehidupan umat manusia.
Sistem Politik Islam
Berbeda dengan sistem politik demokrasi, politik Islam didasarkan pada akidah yang lurus, menjadikan Allah sebagai Al-Khaliq dan Al-Mudabbir Sang pengatur kehidupan. Oleh karena itu, wajib menjalankan praktik politik sesuai aturan syariat dan wajib ditegakkan oleh semua pihak, baik penguasa maupun rakyatnya. Islam memandang bahwa kekuasaan hanya menjadi sarana untuk menerapkan hukum syarak. Sebab, kedaulatan hanya ada di tangan Allah Swt.
Islam memiliki metode dalam pengangkatan pemimpin, sedangkan pemilihannya oleh rakyat secara langsung. Hanya satu cara untuk memilih pemimpin setelah Mahkamah Mazhalim menetapkan calon khalifah yang lolos verifikasi, yaitu mereka orang-orang yang berakal, bukan orang dengan gangguan jiwa.
Islam memfungsikan akal sebagai mana akal diciptakan Allah Swt. Akal difungsikan untuk memahami hakikat hidup sebagai hamba Allah dan memahami Al-Qur'an sebagai petunjuk hidup. Islam mengakui orang dengan gangguan jiwa sebagai mahluk Allah yang wajib untuk dipenuhi kebutuhannya. Namun tidak mendapatkan beban amanah, yaitu dalam memilih pemimpin. Seperti yang telah disabdakan oleh Rasulullah Saw.
"Pena diangkat atau dibebaskan dari tiga golongan. Pertama, orang yang tidur sampai dia bangun. Kedua, anak kecil sampai mimpi basah atau balig. Ketiga, orang gila sampai dia kembali sadar atau berakal." (HR. Abu Daud)
Dalam khilafah, jarang ditemui orang dengan ganguan jiwa (ODGJ), mengingat keadilan dan kesejateraan yang dirasakan umat manusia sebagai kerahmatan yang merupakan konsekuensi penerapan Islam kafah. Dengan demikian, kehidupan mampu menghindarkan rakyat dari kemiskinan dan kezaliman yang dalam sistem hari ini menjadi penyebab terjadinya gangguan jiwa. Demikianlah, hanya sistem Islam yang mampu mencetak pemimpin berkualitas dan tetap memperhatikan kemaslahatan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
Wallahualam bissawab
Post a Comment