Masuknya pengungsi Rohingya pada pertengahan November di kawasan Pidie dan Bireuen, Aceh, menggunakan kapal mendapatkan penolakan. Jumlahnya mencapai hingga 346 orang di Pidie dan 249 orang di Bireuen. Kedatangan mereka disebabkan oleh memburuknya situasi keamanan di kamp pengungsi Cox’s Bazar, Bangladesh. Penolakan ini memicu perdebatan publik di media sosial. Masyarakat terbagi menjadi dua, antara yang mendukung dan menolak kedatangan pengungsi dari Myanmar.
Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna, mengatakan penolakan warga itu terjadi karena adanya informasi negatif dan stigma yang terus beredar di masyarakat, baik dari media sosial maupun oknum-oknum yang terus mereproduksi ujaran kebencian terhadap pengungsi Rohingya.
“Sejumlah informasi yang tidak benar itu disampaikan termasuk video-video yang sengaja dibuat untuk memojokkan pengungsi Rohingya. Kebanyakan video itu tidak benar atau hoaks sehingga masyarakat mendapatkan informasi yang salah,” (VOA).
Berdasarkan laporan yang diperoleh CNN Indonesia dari sumber PBB, narasi kebencian terhadap pengungsi Rohingya dimulai pada 21 November. Analisis jejaring sosial Drone Emprit menemukan bahwa informasi palsu dan narasi kebencian terhadap Rohingya di media sosial sengaja disebarkan oleh akun atau forum fanbase yang biasanya anonim tanpa identitas pengirim yang jelas. Cara tersebut, kata pendiri Drone Emprit, Ismail Fahmi, sangat signifikan dalam meningkatkan perbincangan sehingga mudah menarik perhatian nasional.
Di sisi lain, pemerintah menolak kehadiran pengungsi Rohingya. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal menyatakan bahwa Indonesia tidak berkewajiban menerima pengungsi Rohingya sebab Indonesia tidak ikut meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. Konvensi tersebut mengakui hak-hak orang yang mencari suaka untuk menghindari penindasan di negara-negara lainnya.
Iqbal menegaskan, “Indonesia tidak memiliki kewajiban dan kapasitas untuk menampung pengungsi, apalagi untuk memberikan solusi permanen bagi para pengungsi tersebut.”
Merusak Solidaritas Muslim
Mencermati kondisi tersebut, Direktur Institute Muslimah Negarawan (IMuNe) sekaligus ahli geopolitik Dr. Fika Komara dalam sebuah media ideologis internasional, Senin, 25 Desember 2023, menyesalkan, narasi yang menyebarkan rasa takut terhadap muslim Rohingya ini akan merusak solidaritas muslim.
Mengapa tidak, “Konflik horizontal seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya. Pada tahun-tahun sebelumnya, kabar yang sering kita dengar justru bahwa masyarakat Aceh, khususnya nelayan, dikenal ikhlas dan siap membantu muslim Rohingya, meski mereka sendiri memiliki fasilitas yang kurang memadai. Harus kita akui, situasi tahun ini cukup ganjil dan sentimen negatif yang terjadi terkesan janggal. Apalagi, hal itu terjadi di tengah kuatnya arus opini yang membela Palestina,” jelasnya.
Membela Palestina seharusnya juga membela muslim Rohingya. Bukankah mereka sama-sama muslim yang wajib kita perhatikan? Pengusiran paksa warga Rohingya oleh ratusan mahasiswa di Aceh sungguh memilukan. Bagaimana mungkin kita berdiri tegak melawan penjajahan Yahudi atas Palestina, tetapi juga turut menebarkan narasi dan ujaran kebencian atas muslim Rohingnya dengan berbagai tuduhan yang belum diketahui pasti kebenarannya? Parahnya, banyak yang menyamakan pengungsi Rohingya dengan entitas Yahudi yang akan mencaplok tanah Indonesia. Sungguh miris!
Tidak Memahami Etnis Muslim Rohingya
Muslim Rohingya merupakan etnis minoritas Myanmar yang tertindas berpuluh-puluh tahun di negerinya sendiri ini disebut oleh Medicine Sans Frontiers (MSF) sebagai “one of the ten world populations in danger of existence and survival.” Alias satu dari populasi masyarakat dunia yang terancam eksistensinya. Human Rights Watch, organisasi internasional yang bergerak di bidang HAM, secara tegas menyebut dalam laporannya pada April 2013 bahwa Myanmar telah melanggar HAM dengan melakukan kampanye pembersihan etnis Rohingya, utamanya pada tahun 2012. Sebegitu serius kasus etnis yang dikenal sebagai ‘stateless and forgotten people’ ini, namun ternyata tidak banyak warga dunia yang akrab dengan isu ini. Sama halnya dengan di Indonesia. Warga di negeri muslim terbesar di dunia ini banyak yang baru terbuka mata dan telinganya ketika mendengar dan membaca ribuan etnis Rohingya terdampar di Aceh dan Sumatera Utara sebagai manusia perahu (boat people) sejak tahun 2008. Dapat dikatakan, ‘popularitas’ Rohingya sebagai etnis tertindas kalah jauh apabila dibandingkan dengan warga terdiskriminasi lainnya seperti orang Palestina, Kurdi, Gypsy, Armenia, dan lain-lain.
Oleh karena itu, Rohingya seharusnya tidak hanya ditanggung oleh masyarakat Aceh, tetapi harus ada peran dari negara Islam yang memberikan mereka suaka secara penuh, yaitu hak kewarganegaraan, bukan sekadar bantuan setengah hati dengan menempatkan mereka sebagai pengungsi yang tinggal di kamp tanpa hak atas pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
“Inilah akar permasalahan Rohingya. Tidak ada satu pun negara muslim, baik Bangladesh, Malaysia, ataupun Indonesia yang bersedia memberi mereka status kewarganegaraan yang jelas selama hampir dua dekade, sekarang kita berhadapan dengan generasi kedua Rohingya yang lahir di kamp pengungsi yang tidak layak huni, tanpa pendidikan, guru, dan masa depan yang layak.” (Dr. Fika Komara)
Khilafah Solusi Hakiki
Sejatinya, permasalahan pengungsi Rohingya memang merupakan domain negara, bukan sekadar individu atau masyarakat. Muslim Rohingya telah dijajah oleh pemerintah Myanmar selama berpuluh-puluh tahun. Mereka mengalami genosida, baik oleh Junta Militer maupun pemerintahan pro demokrasi. Sikap kejam rezim Buddha Myanmar disebabkan oleh sentimen asabiah mereka terhadap etnis Rohingya yang muslim. Juga permainan politik antara Amerika Serikat dan Cina dalam menancapkan pengaruh di kawasan tersebut.
Ketika mengalami ancaman genosida di Myanmar, muslim Rohingya lari ke Bangladesh, tetapi rezim Hasina mengabaikan mereka. Tempat pengungsian yang disediakan untuk muslim Rohingya pun amat buruk sehingga tidak layak untuk didiami.
Sejatinya, orang Rohingya adalah muslim. Jeritan permintaan tolong mereka wajib dijawab oleh muslim di mana pun berada. Fardu kifayah bagi muslim sedunia untuk menolong muslim Rohingya. Kewajiban yang utama ada di pundak muslim yang terdekat dengan Rohingya, yakni Bangladesh. Namun, ketika Bangladesh tidak menolong Rohingya, wajib bagi negeri muslim yang lain, termasuk Indonesia, untuk menolong mereka.
Sayangnya, Nasionalisme telah membelenggu Bangladesh dari menolong muslim Rohingya secara layak. belenggu nasionalisme tadi menjadikan negeri-negeri muslim tidak mau menolong saudaranya sendiri. Alhasil, kaum muslim wajib memutus belenggu nasionalisme dari diri mereka dan kembali pada asas Islam dalam memandang muslim Rohingya.
Islam memandang umat Islam adalah bersaudara dan bagaikan satu tubuh yang tidak terpisahkan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.,
“Perumpamaan kaum mukmin dalam cinta-mencintai, sayang-menyayangi, dan bahu-membahu, seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuhnya sakit, seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga, dengan tidak bisa tidur dan demam.” (HR Bukhari no. 6011, Muslim no. 2586, dan Ahmad IV/270).
Khilafah adalah habitat sesungguhnya bagi kaum muslim, tempat mereka berlindung dan mendapatkan keamanan. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu (laksana) perisai, yang (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)nya. Jika seorang imam (khalifah) memerintahkan supaya takwa kepada Allah ’Azza wa Jalla dan berlaku adil, ia (khalifah) mendapatkan pahala karenanya. Dan jika ia memerintahkan selain itu, ia akan mendapatkan siksa.” (HR Bukhari, Muslim, An-Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad).
Di bawah kepemimpinan seorang khalifah, umat akan terjaga dari kezaliman, penindasan, penjajahan, dan keterpurukan. Dengan Khilafah, syariat Islam dapat diterapkan secara sempurna. Dengan penerapan syariat Islam secara paripurna, kehidupan Islam akan terwujud. Generasi terselamatkan dari gempuran budaya dan pemikiran kufur, masyarakat hidup teratur sesuai Islam, dan pemimpinnya amanah karena melaksanakan aturan Islam dalam ketaatan, bukan berdasar kepentingan. Bukan hanya bagi muslim, warga nonmuslim pun pasti akan merasa aman hidup di bawah naungan Khilafah.
Fakta ini sudah teruji secara empiris maupun historis. Bahkan, Khilafah memperlakukan masyarakat nonmuslim dengan sebaik-baik perlakuan terhadap sesama manusia. Lebih dari 13 abad Khilafah memimpin dunia, tidak ada penjajahan, penindasan, pemaksaan, apalagi genosida.
Kini, saatnya umat bangkit dengan ikut memperjuangkan tegaknya Khilafah sebagai perisai hakiki. Mari menatap optimis bahwa sinar Khilafah akan menerangi dunia pada masa depan. Sudah saatnya Islam kembali memimpin peradaban. Dengan begitu, gelar sebagai umat terbaik di muka bumi akan mewujud. Insyaallah. (Sumber: Berbagai sumber)
Wallahu a’lam bishowab
Post a Comment