Menyikapi Persoalan Muslim Palestina dan Rohingnya


Oleh : Nayla Shofy Arina
 (Pegiat Literasi)


Hiruk pikuk pergantian tahun baru 2024 yang dirayakan seluruh umat manusia, tak terkecuali oleh umat muslim. Perayaan menyambut tahun baru mulai dari kunjungan pada tempat wisata, menghabiskan waktu kumpul bersama menyaksikan pesta kembang api, hingga adapula yang memilih merayakannya dengan bermaksiat.


Kala pesta kembang api bergemuruh di berbagai negara, hal yang sama sekaligus memilukan tengah dialami saudara kita di Gaza. Diatas langit bukan lagi kembang api, melainkan bom rudal yang terus ditembakkan oleh Yahudi Israel hingga menghancurkan rumah warga sipil dan menelan korban.


Hampir 2,3 juta penduduk Gaza telah dipaksa keluar dari rumah mereka melalui serangan tanpa henti Israel selama 12 pekan belakangan. Bombardir tanpa ampun Israel terjadi setelah Hamas mendadak melakukan serangan pada 7 Oktober 2023. Sebagai perbandingan, angka terakhir menunjukkan 21.672 warga Palestina yang meninggal atau lebih dari 21 kali lipat jumlah korban di Israel. Ada lebih dari 56.000 warga Palestina yang mengalami luka. Ribuan lainnya dikhawatirkan sudah meninggal di bawah reruntuhan, tetapi tidak bisa terdeteksi karena keterbatasan sumber daya (CNBCIndonesia.com/31/12/2023).


Disaat yang sama, pengungsi muslim Rohingya yang terusir dari negara Myanmar mengalami diskriminasi dan penolakan dari berbagai negara yang notabene adalah negeri yang berpenduduk muslim.


Orang-orang Rohingya dari Myanmar menghadapi gelombang permusuhan dan penolakan di Indonesia, di mana komunitas-komunitas regionalnya mengatakan mereka sudah jenuh dengan lonjakan jumlah kapal yang membawa etnis minoritas yang teraniaya itu ke pantai mereka.


Lebih dari 1.200 orang Rohingya telah mendarat di Indonesia sejak bulan November, menurut data dari Badan Urusan Pengungsi PBB (UNHCR), dan setidaknya 300 orang lagi tiba pada akhir pekan lalu (VoaIndonesia.com/ 11/12/2023)


Menyikapi Persoalan Muslim Palestina dan Rohingnya


 Tidak berbeda dengan warga Palestina yang sama menderita. Inilah ujian keimanan umat Islam di dunia termasuk Indonesia. Pada satu sisi ada aspek kemanusiaan yang tidak seharusnya diabaikan, namun pada sisi lainnya ada penyebab mendasar mengapa umat muslim saat ini seakan lupa hakikat ikatan akidah Islam yang dipegangnya.


Sikap muslim terhadap saudara seiman sejatinya tidak abai dengan apa sedang mereka alami, bahkan seolah amnesia dan teralihkan dengan perayaan tahun baru. Budaya kufur ini sudah menjadi hal tabu ditengah umat muslim. Seiring waktu sikap umat yang mulai kendor dalam menyuarakan pembelaan terhadap Palestina, pemboikotan mulai longgar, hingga sikap umat muslim terhadap muslim Rohingya dengan menyebarkan ujaran kebencian dan tuduhan-tuduhan yang belum pasti kebenarannya.


Penyebab mendasarnya ialah umat muslim saat ini sedang terjebak dengan paham sekuler-liberal yang melahirkan sikap nasionalisme yang berasal dari produk pemikiran barat yang sengaja menyasar pada umat muslim, agar mereka mencukupkan diri dengan mengurusi urusan dalam negerinya masing-masing dan diperkuat dengan adanya nation state. Sehingga wajar jika pembelaan terhadap umat muslim di Palestina hanya bersifat sementara bahkan perlahan mulai menghilang. Paham sekuler liberal telah berhasil membuat umat Islam terpecah belah mengalami diskriminasi yang tak kunjung usai, hingga tergerus akidah dan akhlaknya.


Pembelaan terhadap sesama muslim baik Palestina juga Rohingya, semestinya tidak ada perbedaan, sebab kesadaran ini dibangun atas akidah Islam dan karena ikatan ukhuwah Islam, bukan hanya sekedar simpati dan empati yang hanya bersifat temporer. Sebagaimana sabda Nabi SAW. “Orang-Orang mukmin dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuhnya ikut merasakan tidak bisa tidur dan panas (turut merasakan sakitnya)” (HR Muslim No 4685).


Upaya mengirimkan bantuan kemanusiaan merupakan bagian dari solusi jangka pendek bukan menjadi solusi hakiki. Di Palestina misalnya, yang dibutuhkan adalah bantuan militer mengusir penjajah bagi wilayah yang terjajah, begitu pula muslim Rohingnya yang menjadi korban Genosida rezim Myanmar, mereka membutuhkan pertolongan, edukasi, tempat yang aman dan nyaman bagi mereka.


Tindakan tersebut tidak bisa dilakukan kecuali oleh negara. Negara yang dipimpin seorang khalifah akan menjadi perisai umat, memberikan Perlindungan hakiki kepada warga negara yakni Daulah Khilafah. 


“Sesungguhnya Imam/Khalifah adalah perisai orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya maka ia harus bertanggung jawab atasnya” (HR Muslim).


Sudah saatnya membutuhkan Khilafah untuk melindungi dan membela kaum muslimin diseluruh dunia melalui menggerakkan tentara, menjaga perbatasan, hingga menyerukan jihad fi sabilillah menghadapi musuh Islam. Dibawah kepemimpinan Khilafah sebagaimana yang tercatat dalam sejarah lebih dari 13 abad memimpin dunia, seluruh warga negara bukan hanya muslim tapi juga non muslim terjaga dari berbagai bentuk penjajahan, penindasan, kezaliman, keterpurukan apalagi Genosida.


Inilah gambaran ketika Islam diterapkan dalam naungan Daulah Khilafah yang menjamin hidup sejahtera, keamanan dan kehormatan akan terjaga. Sudah saatnya Islam Kembali memimpin peradaban. Wallahu a’lam bisshowab

Post a Comment

Previous Post Next Post