Menggantang Asap Pemberantasan Korupsi


Oleh : Suaibah S.Pd.I.

(Pemerhati Masalah Umat) 


Adalah menjadi sebuah impian semua negara memiliki pemerintahan yang berdaulat, maju dan bersih dari berbagai aktivitas yang merongrong negara. Korupsi adalah tindakan kriminal yang banyak merugikan negara, menyengsarakan rakyat dan menghambat pembangunan. Olehnya itu banyak pihak yang berkomitmen untuk memberantas tindakan kriminal ini . Lantas, mampukah sistem saat ini merealisasikannya?


Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) merupakan bentuk komitmen masyarakat dunia melawan korupsi yang diperingati setiap tahun pada tanggal 9 Desember. Tujuan diadakan Peringatan ini adalah karena bermanfaat bagi peningkatan kesadaran masyarakat terhadap korupsi dan peran konvensi dalam memerangi dan mencegahnya. Hari Anti Korupsi Sedunia berlaku sejak Desember 2005.


Sebagaimana yang diberitakan JAKARTA, KOMPAS.com  bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bakal menghadiri peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) yang akan digelar 12-13 Desember. Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Informasi dan Data KPK Eko Marjono mengatakan, pihaknya telah mendapatkan konfirmasi dari istana terkait kehadiran Jokowi. "Alhamdulillah kemarin kita sudah dapat konfirmasi dari Sekretariat Kepresidenan bahwa Presiden RI Pak Joko Widodo bakal hadir dalam acara ini," ujar Eko kepada wartawan, Minggu (10/12/2023).


Eko mengatakan, Hakordia sebenarnya jatuh pada 9 Desember. Namun, karena bertepatan dengan akhir pekan, KPK menggeser pelaksanaan acara ke tanggal 12-13 Desember. Menurut Eko, ada tiga event dalam peringatan Hakordia. Acara utama dilaksanakan pada 12 Desember, salah satunya mengenai pemaparan penyelenggaraan pemerintahan berbasis elektronik. Eko menyebutkan, peringatan Hakordia 2023 mengusung tema Sinergi Berantas Korupsi untuk Indonesia Maju, diselaraskan dengan tema Peringatan Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus lalu.


Mirisnya di Indonesia, penyenggaraan peringatan tersebut tatkala Ketua KPK nonaktif Firli Bahuri baru saja ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Sungguh realitas yang memprihatinkan. Ketua KPK yang seharusnya terdepan dalam aksi pemberantasan korupsi, kini malah ada di balik jeruji besi akibat kasus korupsi. Lantas, kepada siapakah rakyat harus menaruh harapan?


Akar Persoalan Korupsi 


Jika dianalisa lebih mendalam, persoalan korupsi tidak saja berbicara tentang perilaku individu, melainkan sistemis. Buktinya, dari mulai negara ini berdiri, praktik tersebut telah ada, bahkan keberadaannya kian beragam. Apa saja faktor yang menjadi akar penyebab korupsi kian membudaya?


Pertama, akibat tertancapnya pemahaman sekuler. Paham ini telah menjauhkan individu dari norma agama sehingga menjadikan ia tak takut melakukan dosa termasuk tindakan korupsi. Akibat jauh dari norma agama menjadikan tidak ada kontrol internal dalam diri para pejabat. Inilah penyebab perilaku korup di sistem kehidupan yang sekuler tumbuh subur.


Kedua,  biaya sistem politik demokrasi yang mahal meniscayakan adanya praktik korupsi. Untuk menjadi kepala daerah saja butuh dana besar, apalagi presiden. Alhasil, politik transaksional tidak bisa dihindari, para pemilik modalpun pun bermain, mensponsori kontestan agar bisnisnya lancar. Saat menjabat, alih-alih politisi itu fokus pada umat, mereka malah sibuk melayani pihak yang mensponsori politiknya. Belum lagi ada partai pendukung yang juga harus diberi suntikan agar mesin partai terus berjalan. Inilah demokrasi yang semakin membuka celah korupsi.


Ketiga, sanksi bagi koruptor yang tidak memberikan efek jera. Bukan rahasia umum lagi jika penjara para koruptor “mewah”. Menurut riset Indonesia Corruption Watch (ICW), sebagian besar koruptor hanya dihukum dua tahun oleh pengadilan. Wacana hukuman mati pada koruptor kelas kakap yang merugikan negara dan menzalimi rakyat, malah terjegal HAM. Wajar saja pada akhirnya para koruptor kian menjamur tersebab hukumannya tidak memberikan efek jera.

Ketiga faktor di atas sesungguhnya telah membuktikan pada kita bahwa budaya korup memang diciptakan dari sistem sekuler yang diterapkan hari ini, sistem politik demokrasi yang transaksional, juga sistem sanksi yang buruk dan tidak menjerakan. Oleh karena itu, agar terbebas dari budaya korupsi, kita harus mererevolusi sistem hari ini.


Bebas dari Korupsi Niscaya dalam Islam


Sistem sekuler demokrasi telah terbukti gagal membabat tindakan korupsi. Sudah saatnya kita meninggalkannya dan menggantinya dengan sistem Islam. Islam adalah agama sekaligus pandangan hidup yang mampu menyelesaikan seluruh persoalan manusia termasuk korupsi.


Untuk memberantas tindakan korupsi di butuhkan 3 sinergis yakni: individu, masyarakat dan negara.


Pertama, individu yang bertaqwa akan terjaga dari korupsi karena senantiasa memiliki kesadaran hubungan dengan Allah. Ia menyadari bahwa apapun yang dilakukan akan dimintai pertanggungjawaban, olehnya itu ia akan selalu mawas diri. Ketaqwaan individu inilah yang akan menjauhkan diri dari perbuatan dosa termasuk korupsi.


Kedua, Adanya amar Makruf nahi mungkar di tengah-tengah umat akan menjadikan seseorang senantiasa terjaga dari perbuatan dosa termasuk masalah korupsi.


Ketiga, sistem sanksi yang diterapkan oleh negara akan memberikan efek jera kepada pelaku sehingga orang akan takut untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang semisalnya.


Olehnya itu jika ketiga elemen ini berjalan maka akan dengan mudah membabat korupsi hingga ke akarnya. Selain itu dalam Islam pemilihan pemimpin sangat sederhana, efektif dan efisien sehingga tidak membutuhkan dana besar sebagaimana dalam sistem demokrasi.


Wallahu a'lamubishawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post