Media sosial seperti tak hentinya memberitakan kasus perselingkuhan. Berbagai kalangan mulai dari rumah tangga artis, selebgram, aparat hukum, pegawai hingga rakyat biasa. Fenomena seperti ini tidak layak terjadi, terlebih di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Seperti peristiwa yang sempat menghebohkan warga di Kecamatan Ranah Ampek Hulu Tapan, Pesisir Selatan seorang pria dan wanita berinisial I (38) dan D (35) telah berkeluarga kedapatan berselingkuh. Dalam video yang beredar di sosial media, warga terlihat seperti melakukan perundungan terhadap pelaku wanita. (sumbarkita, 05/01/24)
Saat dimintai konfirmasi, Kapolsek Basa Ampek Balai, Iptu Aldius membenarkan kejadian tersebut. Peristiwa itu terjadi menurutnya pada Kamis (4/1) sore. Sementara warga yang melakukan penggerebekan merupakan keluarga dari suami D. Atas ulah pasangan bukan suami istri ini, menurut Aldius keduanya mendapatkan sanksi adat yang dinamakan 'Tacobak', berupa denda sebesar Rp 10 juta. (Detiksumut, 06/01/24)
Bagaikan fenomena gunung es, kasus perselingkuhan ini hanya satu dari sekian banyak kasus serupa yang menjadi penyebab hancur nya pernikahan. Namun memandang perselingkuhan muncul karena adanya satu faktor saja, misal kebosanan, atau ketakcocokan dengan pasangan, adalah pandangan yang dangkal. Beberapa kasus mungkin iya. Namun, banyak fakta di masyarakat bahwa pasangan yang ideal, tidak pernah diterpa isu negatif, dan terlihat mesra dan harmonis, tiba-tiba terlibat kasus perselingkuhan.
Maraknya perselingkuhan saat ini sejatinya tengah menunjukkan desakralisasi pernikahan, yakni rapuhnya ikatan pernikahan dan bangunan keluarga. Suami atau istri bisa dengan mudah melanggar komitmen yang telah mereka ucapkan. Pernikahan pun tidak lagi menjadi ikatan sakral yang harus dijaga. Bahkan, perselingkuhan dianggap “solusi” untuk kehidupan yang lebih bahagia. Inilah dampak kehidupan sekuler liberal terhadap mahligai rumah tangga.
Tak bisa dipungkiri pula bahwa ketakwaan individu yang kurang menjadi salah satu penyebab perselingkuhan. Namun, kerusakan tata nilai dan aturan yang berlaku menjadi faktor yang lebih utama. Diakui atau tidak, Indonesia saat ini sudah terjerat sistem sekularisme-liberal. Dalam sistem ini, tidak ada aturan yang mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan. Semua diserahkan kepada pribadi individu atas nama kebebasan berperilaku.
Tata aturan pergaulan juga yang tidak lagi diperhatikan dalam masyarakat. Berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram dengan alasan tugas, servis pelanggan, dan sebagainya, tidak lagi dipandang tabu. Perempuan pergi berhari-hari dengan teman kerja laki-laki tanpa disertai suami, mengobrol dan saling curhat masalah pribadi dengan teman kerja, juga dianggap hal yang biasa padahal inilah cikal bakal perselingkuhan.
Ditambah lagi sanksi pidana bagi perselingkuhan juga hampir tidak ada. Sanksi hanya bisa dijatuhkan apabila pasangan peselingkuh mengadukannya. Namun, ini jarang terjadi karena umumnya orang merasa segan untuk mempermalukan keluarga. Akhirnya, jalan yang dipilih adalah perceraian.
Adapun sanksi adat biasanya hanya berupa denda yang harus dibayar bagi pelaku yang berselingkuh. Faktanya baik sanksi pidana maupun adat yang sudah diterapkan selama ini masih tidak mampu mereda angka perselingkuhan yang menodai status pernikahan.
Padahal Islam memandang pernikahan adalah ibadah. Siapa pun yang menikah, mereka telah berjanji untuk saling memenuhi dan melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing sebagai suami istri.
Islam juga menyebut pernikahan sebagai mitsaqan ghalidza (perjanjian agung) yang tidak bisa dimain-mainkan (lihat QS An-Nisa: 21). Pernikahan dalam Islam bukan hanya mengenai meraih kesenangan jasmani antara suami istri. Lebih dari itu, pernikahan adalah tujuan mulia dan suci yang harus dijaga dalam kehidupan bermasyarakat.
Standar kebahagiaan seorang muslim adalah rida Allah Taala, bukan materi semata. Walhasil, suami istri akan berlomba-lomba memenuhi hak pasangannya dengan melaksanakan kewajiban yang telah Allah tetapkan pada mereka. Sang istri akan taat pada suami dan optimal dalam pelayanannya; sang suami pun akan gigih bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan menjadi pelindung bagi mereka.
Kehidupan berumah tangga yang dibangun berlandaskan agama akan menghadirkan pernikahan yang samara (sakinah, mawadah, rahmah). Sakinah adalah ketenteraman, ketenangan dan kebahagiaan. Mawadah menurut Ibnu Katsir adalah al-mahabbah (rasa cinta) yang tulus dari suami dan istri. Rahmah adalah kasih sayang. Semua itu akan terhimpun dalam bangunan keluarga muslim. Wajar jika dalam Islam, sangat jarang, bahkan tidak akan ditemukan fenomena perselingkuhan yang marak seperti saat ini.
Begitu pula kelas ekonominya, tidak menjadi masalah dalam berumah tangga sebab setiap pasangan yakin Allah telah menetapkan rezeki bagi hamba-Nya. Bukankah ini yang akan mendatangkan kuatnya ikatan pernikahan?
Sistem kehidupan sekuler menciptakan fenomena perselingkuhan, sedangkan sistem kehidupan Islam akan menjaga keutuhan keluarga sekaligus mengukuhkan bangunannya.
Islam tidak hanya mewajibkan para pasangan untuk menjaga keberlangsungan pernikahan, melainkan juga mewajibkan masyarakat, bahkan negara, untuk turut menjaga ikatan pernikahan.
Masyarakat akan menjadi alat kontrol efektif dalam menjaga ikatan pernikahan. Mereka tidak akan tinggal diam jika ada perempuan dan laki-laki yang berkhalwat. Mereka pun akan bertindak (amar makruf nahi mungkar) pada mereka yang tidak sempurna menutup aurat sebab hal demikian bisa merangsang jinsiah lawan jenisnya.
Sebagai pelindung umat, negara wajib menjadi pihak terdepan dalam menjaga keutuhan rumah tangga. Negara akan dengan ketat memberlakukan sistem sosial yang sesuai syariat. Kehidupan laki-laki dan perempuan yang pada dasarnya infishal (terpisah) sehingga interaksi mereka akan terbatas pada hal tertentu, seperti kesehatan, peradilan, jual beli, dll.
Negara pun akan benar-benar memperhatikan media agar yang sampai pada umat adalah kebaikan, bukan yang membangkitkan syahwat. Inilah yang juga menjaga suasana keimanan masyarakat.
Sistem pendidikan yang berlandaskan akidah Islam akan menciptakan individu-individu yang bersyahsiah Islam. Tidak akan ada yang nekat merusak rumah tangga orang lain, menjadi PSK ataupun sugar baby sebab semua itu melanggar syariat. Sang istri akan menjalankan fungsinya sebagai ummun warabbatul baiti, sang suami akan menjalankan fungsi qawwamah-nya.
Sedangkan sistem sanksi oleh negara akan sangat tegas, termasuk bagi para pezina baik yang sudah menikah maupun belum. Hukuman bagi pezina yang sudah menikah yaitu dirajam, bahkan hingga mati. Sedangkan bagi buang belum menikah dicambuk seratus kali dan diasingkan. Bukankah semua ini membuat jera dan masyarakat takut melanggar syariat sehingga akan mengantarkan pada masyarakat yang bermartabat?
Oleh karena itu hanya sistem Islam yang mampu secara hakiki melindungi keutuhan rumah tangga. Fenomena perselingkuhan ini pun hanya terjadi dalam masyarakat sekuler yang mendesakralisasi pernikahan. Pasangan suami istri, masyarakat, dan negara akan berusaha untuk menjaga keutuhan keluarga. Ini karena dari keluarga yang samaralah akan dan terlahir generasi yang siap membangun peradaban mulia. Wallahu a'lambish-shawwab[]
Post a Comment