Banjir menjadi sebuah fenomena yang dianggap biasa terjadi bahkan semakin parah setiap tahunnya. Sayangnya, walaupun Indonesia sudah berulang kali menghadapi banjir, namun masalah banjir ini tak kunjung usai dan belum teratasi hingga kini.
Dikutib dari media CNN Indonesia, menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau mencatat sedikitnya 6.000 orang dari sejumlah daerah di provinsi tersebut mengungsi akibat rumah, lahan dan tempat usaha mereka terdampak banjir sejak beberapa pekan terakhir ini. Mirisnya banjir tersebut telah mengakibatkan empat warga meninggal dunia. Mereka yang mengungsi berasal dari Kabupaten Rokan Hilir, Kepulauan Meranti dan Kota Dumai. BPBD mencatat jumlah pengungsi terbanyak adalah warga Kabupaten Rokan Hilir, yakni sebanyak 3.992 orang lantaran rumah mereka terendam banjir. Banjir menggenangi ribuan rumah dan fasilitas umum, seperti jalan, masjid dan sekolah. Sebanyak 29 SMA sederajat di Riau meliburkan siswa mereka, karena ruang kelas terendam, begitu juga untuk sekolah dasar. Banjir di Riau bukan pertama kali terjadi, hampir setiap tahun banjir melanda provinsi ini.
Disusul dari media Tempo, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau menilai bencana banjir yang berkepanjangan melanda Riau diakibatkan maraknya alih fungsi lahan di bagian hulu aliran sungai kampar dan Limapuluh Kota Sumatera Barat. Catatan Akhir Tahun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) region Sumatera menunjukkan Riau mengalami deforestasi hutan hingga 20.698 hektar sepanjang 2023. Direktur Eksekutif Walhi Riau Boy Jerry Even Sembiring mengungkapkan setidaknya kurang lebih 57 persen daratan Riau telah dikuasai investasi. Dari total tersebut, pemerintah memberikan izin kepada 273 perusahaan kelapa sawit, 55 Hutan Tanaman Industri (HTI), 2 Hak Pengusahaan Hutan (HPH), dan 19 pertambangan.
Sungguh bencana banjir yang terus terjadi di negeri ini seharusnya menjadi peringatan keras, bahwa ada salah tata kelola lingkungan dan alam yang dilakukan manusia. Sebab hujan diturunkan oleh Allah sebagai anugrah bagi manusia untuk menghidupan bukan sebagai musibah atau bencana. Meskipun disaat yang sama orang beriman akan memandang banjir sebagai bagian dari qadha Allah yang tidak bisa ditolak. Kesabaran dan keridhaan pun menjadi dua sikap yang harus dipilih dalam menghadapi musibah ini. Sikap demikian akan menghantarkan pada terhapusnya dosa.
Selain itu bagi orang yang beriman musibah banjir tentu semakin menyadarkan mereka bahwa betapa lemah manusia di dunia ini, hingga tidak mampu menolak ketentua-Nya. Dan betapa manusia butuh terhadap pertolongan Allah kapanpun dan dimanapun. Tidak ada yang layak disombongkan oleh manusia di dunia ini, namun sikap sabar dan ridha harus dibarengi dengan tindakan dan aksi ke depan demi membangun kehidupan yang lebih baik termasuk mengurangi potensi terjadinya bencana dan meminimalkan atau meringankan dampaknya.
Allah Swt. berfirman "Musibah apa saja yang menimpah kalian itu adalah akibat perbuatan kalian sendiri. Allah memaafkan sebagian besar (dosa-dosa kalian),"(Q.S.asy-Syura[42]:30).
Hal itu terlihat jelas dalam kasus musibah banjir. Banjir disebabkan oleh naiknya neraca air permukaan. Neraca air ditentukan empat faktor, yaitu curah hujan, air limpahan dari wilayah sekitar, air yang diserap tanah dan ditampung oleh penampung air, dan air yang dapat dibuang atau dilimpahkan keluar. Dari ke empat hal tersebut, hanya curah hujan yang tidak bisa dikendalikan. Tiga faktor lainya sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia, termasuk kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa. Sebagaimana disampaikan Walhi kebijakan deforestasi yang boleh dilakukan oleh pihak korporasi secara masif telah menjadi penyebab utama berkurangnya daerah resapan air hingga berdampak mudahnya terjadi banjir saat musim hujan. Kebijakan yang sejatinya menguntungkan pemilik modal dan merugikan rakyat tersebut adalah buah dari penerapan sistem Kapitalisme-sekuler di negeri ini.
Negara dalam sistem ini hanya bertindak sebagai regulator yang pro oligarki, bukan pengurus dan pelindung rakyat. Berbagai produk regulasi yang dihasilkan seperti undang-undang Omnibus law, cipta kerja misalnya. Nyata telah merusak alam dan merampas ruang hidup masyarakat.
Oleh karena itu kunci untuk mengakhiri segala musibah, termasuk banjir tidak lain dengan beralih dari ideologi dan sistem sekularisme-Kapitalisme menuju ke sistem yang diridhai Allah yaitu sistem Islam. Penerapan sistem Islam dalam seluruh aspek kehidupan hanya terwujud dalam institusi khilafah islamiyah. Khilafah akan melakukan pengelolaan tanah/lahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup sesuai dengan syariat Islam. Khilafah dalam Islam berfungsi sebagai junnah atau pelindung.
Oleh karena itu, khilafah akan melakukan upaya preventif dalam mengatasi bencana banjir. Demikian pula upaya kuratif dan rehabilitatif terbaik jika musibah banjir terjadi. Upaya preventif dilakukan khilafah dengan menetapkan kebijakan pembangunan yang ramah lingkungan. Khilafah akan memprioritaskan pembangunan infrastruktur dalam mencegah bencana seperti bendungan, kanal, pecah ombak, tanggul, reboisasi, atau penanaman kembali.
Pemanfaatan SDA dalam khilafah tidak akan diserahkan kepada korporasi, tetapi dikelola negara untuk kemaslahatan umat. Khilafah juga menetapkan daerah-daerah tertentu sebagai cagar alam, hutan lindung dan kawasan himma. Kawasan himma tidak boleh dimanfaatkan oleh siapa pun. Dalam hal pengelolaan tanah atau lahan, Islam juga mendorong kaum Muslimin untuk menghidupkan tanah mati. Hal ini akan menjadi buffer lingkungan yang kokoh. Khilafah juga akan memberlakukan sistem sanksi tegas pada siapun yang mencemari dan berupaya merusak lingkungan.
Penerapan aturan Islam kaffah adalah solusi terbaik mencegah terjadinya bencana banjir, yang merupakan buah dari penerapan sistem Kapitalisme-sekuler.
Post a Comment