Oleh Shofi Lidinilah
Pengajar
dan Aktivis Muslimah
Krisis
air terus meluas di Negeri ini. Air merupakan SDA yang dapat diperbaharui, yang
artinya tidak akan cepat habis karena akan mengalami siklus dan reproduksi.
Namun faktanya, negeri ini mengalami kesulitan memperoleh air bersih. Di salah
satu wilayah di Indonesia terserang diare. Gejala diare ini diduga karena kekurangan air
bersih dan faktor higienitas sanitasi yang belum optimal (Republika,
13/8/23). Kemudian, banyak pula wilayah yang mengalami kekeringan
(Jabarekspres, 28/01/24).
Hal
ini menunjukan siklus dan reproduksi air tidak berjalan dengan baik.
Pengambilan air tanah yang makin meluas untuk kebutuhan industri, perusahan
minuman kemasan, pertambangan, geothermal hingga bisnis property serta tidak
dibarengi dengan penghijauan dan sanitasi yang baik. Ini membuat krisis air
bersih bagi masyarakat.
Belum
lagi perluasan kawasan permukinan sehingga diprivatisasi air oleh perusahan.
Tidak ada pembatasan secara serius untuk menangani situasi air di bawah tanah.
Kalaupun ada analisis yang dilakukan, itu hanya sebatas untuk melihat serta
menghitung, per tahun berapa kubik atau volume air bawah tanah.
Tampaknya
pemerintah belum serius mencari solusi untuk menjaga lingkungan. Terbukti
dengan tidak adanya transparansi data perizinan penggunaan air bawah tanah yang
dikeluarkan, perusahaan juga seolah "dibiarkan".
Sistem yang bercita-cita
menghidupkan masyarakat dengan air yang bersih dan sehat, tapi membuat tata
kelola yang rusak. Nilai kebebasan telah melahirkan manusia egois, abai pada
lingkungan sekitar, dan bebas melakukan apa saja yang diinginkannya.
Peran
politik juga harus hadir dalam mencegah dan menghentikan tindakan perusakan
lingkungan, walaupun atas nama pembangunan eksplorasi SDA. Tidak mudah
mengizinkan pengoperasian begitu saja.
Air dibutuhkan oleh
seluruh warga secara bersama-sama, maka sumber air tidak boleh diprivatisasi.
Negara akan mengelola mata air sehingga semua rakyat bisa menikmatinya secara
gratis. Perusahaan swasta tidak boleh menguasai sumber air sehingga menyebabkan
rakyat terhalang darinya.
Pada saat Islam berjaya,
pemerintah membangun banyak bendungan untuk mencegah krisis air. Ada seorang
khalifah bernama Fannakhusru bin Hasan (324—372 H/936—983 M), tetapi lebih
populer dengan nama Adud ad-Daulah. Beliau digelari Khalifah Pembangun
Bendungan karena begitu banyak membangun bendungan untuk menjamin ketersediaan
air.
Rasulullah saw. Bersabda, “Janganlah
memberikan kemudaratan pada diri sendiri dan jangan pula memudarati orang
lain.” (HR Ibnu Majah dan Daruquthni).
Penguasa
dalam sistem kapitalis hanya berpihak pada pengusaha. Bertolak belakang dengan
sistem Islam, semua kekayaan negara dikelola untuk kesejahteraan masyarakat
dengan pengelolaan oleh negara secara mandiri dan hasilnya dikembalikan untuk
memenuhi kebutuhan rakyat secara umum dan tidak diserahkan kepada investor
seperti dalam sistem kapitalisme.
Pada tataran negara, sistem Islam
memiliki seperangkat hukum yang apabila dijalankan akan menyelesaikan krisis
air bersih dan aman, serta jaminan terhadap kualitas kehidupan yang sehat. Seperti,
pemerintah tidak akan begitu saja mengizinkan pengoperasian proyek yang tidak
memikirkan SDA, pengaturan penuh oleh negera dalam pengelolaan air, pengadaan
sanitasi yang baik, serta penanaman pada diri masyarakan pola hidup bersih dan
sehat. Bukan hanya sebagai syarat saja, tetapi perlu ditanamkan kepada diri
bahwa ini bukan hanya hubungannya dengan manusia, tapi hubungannya dengan Allah
juga. Karena Allah mencintai hamba nya yang bersih, sehat dan tidak berbuat
zalim kepada orang lain.
Ini akan terwujud
jika aturan Islam diterapkan secara menyeluruh dan dipatuhi oleh seluruh rakyat
nya. Wallahualam bissawab
Post a Comment