Korupsi semakin merajalela


Oleh : Ukhti Hilda


Setiap 9 Desember, dunia memperingati Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia). Seluruh negara berharap agar pemerintahannya terbebas dari tikus-tikus berdasi yang kian rakus mengerat uang rakyat. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas mereka, dari mulai kadar sanksi yang dinaikkan, hingga pembentukan lembaga antirasuah. Namun, alih-alih hilang, praktik korupsi malah kian subur.


Mirisnya di Indonesia, peringatan tersebut diselenggarakan tatkala Ketua KPK nonaktif Firli Bahuri baru saja ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Sungguh fakta yang memilukan.


Korupsi Pejabat Tinggi

Korupsi berasal dari Bahasa latin, “corruption” atau “corruptus” yang artinya ‘merusak atau menghancurkan’. Secara singkat, korupsi merupakan tindakan kriminal yang memiliki dampak negatif. Seluruh dunia mengakui bahwa korupsi adalah tindakan buruk yang tidak beradab sehingga harus dihilangkan demi kemajuan bangsa.


Sayangnya, tikus-tikus berdasi pun banyak yang menduduki jabatan tinggi. Mereka berkhidmat pada Hari Antikorupsi, padahal tega menerima gratifikasi. Persis seperti maling teriak maling. Lihatlah sejumlah Menteri pada Era Jokowi yang masuk jeruji, seperti Jhonny G. Plate, Juliari Batubara, Edhy Prabowo, Imam Nahrawi, Idrus Mahram, dan kini Syahrul Yasin Limpo yang sudah berstatus tersangka.


Bahkan, dua hakim agungnya pun terjerat korupsi, yakni Gazalba Saleh dan Sudrajat Dimyati. Keduanya dilantik dan berjanji untuk menjalankan amanahnya dengan baik, tetapi janji tinggallah janji, realisasi hanyalah mimpi.


Adapun sejumlah pejabat negara yang tidak terjerat kasus korupsi, tidak berarti mereka bersih. Para pengamat biasa menyebut mereka dengan sebutan “the lucky man”, tidak terciduk lantaran kuatnya “perlindungan” pada diri mereka. Oleh karena itu, memberantas tikus-tikus berdasi memang sangat sulit di sistem saat ini. Mereka ada di setiap sudut jabatan, mulai dari daerah hingga pusat.


Akar Persoalan Korupsi

Jika diteliti lebih dalam, persoalan korupsi bukan hanya berbicara perilaku individu, melainkan sistemis. Buktinya, dari mulai negara ini berdiri, praktik tersebut telah ada, bahkan keberadaannya kian banyak saja. Banyak faktor yang menjadi akar penyebab korupsi kian membudaya?


Pertama, makin tertancapnya pemahaman sekularisme. Paham ini telah menghilangkan nilai-nilai ketakwaan dari politik dan pemerintahan. Akibatnya, tidak ada kontrol internal dalam diri para pejabat. Mereka tidak takut akan dosa sebab sekularisme telah membuang ajaran agama dari kehidupan. Akhirnya, nafsu dunia menguasai mereka. Inilah penyebab perilaku korup di sistem kehidupan yang sekuler tumbuh subur.


Kedua, sistem politik demokrasi yang mahal meniscayakan adanya praktik korupsi. Butuh biaya besar untuk menjadi kepala daerah, apalagi presiden. Alhasil, politik transaksional tidak bisa dihindari, para cukong politik pun bermain, mensponsori kontestan agar bisnisnya lancar. Saat menjabat, alih-alih politisi itu fokus pada umat, mereka malah sibuk melayani para cukong politik. Belum lagi ada partai pendukung yang juga harus diberi suntikan agar mesin partai terus berjalan. Inilah demokrasi yang semakin membuka celah korupsi.


Ketiga, sanksi bagi koruptor yang tidak menciptakan efek jera. Bukan lagi satu rahasia jika penjara para koruptor “mewah”. Menurut riset Indonesia Corruption Watch (ICW), sebagian besar koruptor hanya dihukum dua tahun oleh pengadilan. Wacana hukuman mati pada koruptor kakap yang merugikan negara dan menzalimi rakyat, malah terjegal HAM. Wajar saja pada akhirnya para koruptor kian menjamur tersebab hukumannya tidak menjerakan.


Keempat, sebagian besar koruptor yang tertangkap berada dalam link kekuasaan. Ini jelas menunjukkan bahwa koruptor yang “terbabat” lebih karena tebang pilih dan tidak memiliki bargaining position politik yang cukup kuat. Misalnya megaskandal Bank Century, KTP-el, dan BLBI yang hingga kini tidak bisa terusut tuntas, bahkan menguap. Mereka hanya membabat yang “bawah” tanpa berani menyentuh yang “atas”.


Sistem sekuler demokrasi telah terbukti menjadi biang lahirnya budaya korup. Sudah saatnya kita membuangnya dan menggantinya dengan sistem Islam. 


Dasar akidah Islam akan melahirkan kesadaran penuh bahwa dirinya tengah diawasi oleh Allah Ta'ala. Penerapan akidah Islam di tengah umat akan menjadikan para politisi bertakwa dan senantiasa takut melakukan dosa. Inilah yang menjadi kontrol internal yang menyatu dalam diri pemimpin sehingga bisa mencegah dirinya untuk korupsi.


Sistem politik islam sangat sederhana, tidak mahal. Kepemimpinan Islam bersifat tunggal, pengangkatan dan pencopotan pejabat negara menjadi kewenangan Khalifah. Alhasil, tidak akan muncul persekongkolan mengembalikan modal dan keuntungan kepada cukong politik. Inilah yang mencegah adanya praktik korupsi.


Politisi dan proses politik tidak bergantung kepada parpol. Peran parpol dalam Islam adalah fokus mendakwahkan Islam, amar ma'ruf nahi mungkar dalam mengoreksi dan mengontrol penguasa.


Seluruh struktur dalam sistem Islam berada dalam satu kepemimpinan khalifah. Sistem Islam tidak mengenal pembagian atau pemisahan kekuasaan, semua atas kontrol khalifah. Inilah yang menutup celah adanya konflik kelembagaan dan mafia anggaran.


“Siapa yang kami pekerjakan atas satu pekerjaan dan kami tetapkan gajinya, apa yang diambil selain itu adalah ghulul.” (HR Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah).


Sanksi bagi pelaku akan memberikan efek pencegahan dan menjerakan. Hukum sanksi bagi koruptor berbentuk takzir, yaitu sanksi yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada ijtihad khalifah atau qodhi (hakim). Bisa disita seperti dilakukan Khalifah Umar. Bisa juga dengan tasyhir (diekspose), dipenjara, hingga hukuman mati. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menetapkan sanksi kepada koruptor dengan hukuman cambuk dan ditahan dalam waktu yang sangat lama.


Sesungguhnya, para koruptor itu tidak akan hilang selama sistem sekuler demokrasi masih diterapkan negeri ini. Karena sistem inilah yang melahirkan budaya korupsi. Oleh karena itu,menggantinya menjadi sistem Islam merupakan solusi utama dalam menyelesaikan persoalan korupsi.

 

Wallahu 'alam

Post a Comment

Previous Post Next Post