Konflik Menjelang Pemilu, Wajah Buruk Sistem Demokrasi


Oleh Wilda Yani


Pemilu tinggal hitung hari, namun masalah terkait pesta demokrasi itu kian hari kian bertambah. Belum selesai satu problem, sudah muncul problem lainnya. Berbagai spekulasi muncul hingga membuat gaduh agenda Pemilu 2024 mendatang. 


Dilansir dari CNN Indonesia (25/11/2023), tokoh masyarakat sekaligus relawan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka ditembak orang tak dikenal (OTK) di Sampang, Madura. Konflik keamanan menjelang pemilu memang sudah diprediksi oleh Ketua Bawaslu Rahmat Bagja, mengingat hal semacam ini tidak hanya terjadi sekali saja. Ia mengusulkan agar Pilkada 2024 dapat ditunda. Wacana penundaan ini dianggap merupakan upaya mengantisipasi munculnya berbagai konflik keamanan dan masalah lainnya. Berbagai pro kontra pun muncul, bahkan Mahfud MD menilai usulan itu sebagai sesuatu yang tidak relevan.


Realitas kampanye, dianggap  rawan  di masyarakat. Pasalnya, tidak terlepas dari perselisihan dan konflik antara pendukung salah satu kontestan dengan pendukung kontestan yang lain. Bisa terjadi gontok-gontokan antar warga yang memiliki perbedaan pilihan politik. Maupun konflik lisan dan  konflik secara fisik.


Tak hanya itu, masa kampanye pun  diisi dengan persaingan dan pencintraan  para kontestan pemilu untuk mendapatkan dukungan rakyat. Para kontestan pemilu akan melakukan berbagai macam cara untuk mendapatkan hati rakyat.  Mereka mempromosikan visi, misi dan program kerjanya jika terpilih. Berbagai janji politik ditebar seperti kesejahteraan, lapangan kerja, subsidi, penurunan harga bahan pokok, bantuan sosial, pembangunan infrastruktur, dll. Meski, banyak yang tidak realistis. Mirisnya,  realisasi ketika mereka terpilih  pun sangat jauh dari ekspektasi. 


Sejatinya, sejak dahulu penyelenggaran pemilu selalu memunculkan berbagai masalah.  Akibat  rasa fanatisme terhadap kontestan yang mereka dukung, mereka tidak rela kontestan yang didukung dihina, direndahkan bahkan difitnah oleh pendukung kontestan lain.


Apalagi , ketidakpahaman umat bahwa realitas parpol dalam demokrasi kebanyakan bersifat dan bersikap pragmatis ketimbang idealis. Bukan idealisme yang menjadi pertimbangan setiap kebijakan parpol, melainkan lebih pada manfaat yang bisa diambil parpol dari setiap keputusan politik yang mereka buat. 


Fenomena pindah kubu pun menjadi  hal biasa dalam politik demokrasi. Pandangan parpol tentang politik memang lebih cenderung pada meraih kekuasaan setinggi-tingginya, baik saat pilkada, pileg, ataupun pilpres. Jika masyarakat mencermati, koalisi yang dibangun dalam setiap kontestasi pemilu pasti berwajah dinamis. Ada kalanya di satu wilayah bersaing, ternyata di wilayah lain bersatu. Artinya, dukung mendukung paslon hanya dinilai dari seberapa besar peluang mereka menang dan keuntungan yang akan mereka dapatkan. Prinsip tidak ada kawan dan lawan abadi seolah harga mati bagi parpol demokrasi.


Jadi, sangat merugi jika kita sebagai masyarakat terlalu mengedepankan fanatisme terhadap golongan atau partai. Apalagi hingga terjadi bentrokan yang mengakibatkan rusaknya persaudaraan dan persatuan. Oleh karenanya, umat harus menyadari realitas politik demokrasi dan menyadari banyak pihak-pihak yang memanfaatkan suara rakyat demi meraih dukungan sebanyak-banyaknya dengan beraneka cara. Sehingga  tidak terjebak polarisasi yang memunculkan perselisihan.


Adapun, negara semestinya menjadi pelindung bagi rakyatnya agar tidak terjadi konflik antar pendukung kontestan pemilu. Termasuk para kontestan akan melakukan cara sehat pada masa kampanye. Negara juga harus  mampu mengontrol rakyatnya agar pemilu dapat berjalan dengan baik dan aman. Namun, alih-alih negara menjalankan fungsinya, negara justru abai dengan urusan rakyatnya. Negara  sibuk dan bekerja sama dengan elit politik dalam mempersiapkan pesta demokrasi. 


Inilah potret buruk pemilu dalam demokrasi.Dalam demokrasi, kekuasaan hanya dijadikan untuk eksistensi diri dan mengejar materi.  Kendati demikian, wajar terjadi dalam pesta demokrasi karena setiap kompetitor memang berkompetisi meraih kemenangan. Mereka akan melakukan segala cara untuk dapat meraih kekuasaan.


Sementara itu, masyarakat hanya menjadi alat dalam tawar menawar politik. Karena itu, untuk memiliki peminpin yang adil hanya akan menjadi utopis.Adapun  ketika pemilu usai,yang terjadi justru melakukan koalisi dengan membagi-bagi kepeminpinan.


Berbeda dengan Islam. Islam sebagai agama sekaligus ideology yang bersifat universal dengan mengatur sedemikian rupa termaksuk cara berpolitik. Politik dalam Islam berarti mengurusi urusan umat. Penguasa akan menjadi pelindung dan pelayan untuk rakyat sesuai apa yang diperintahkan dalam al-Qur’an dan sunah.

Sebagaimana dalam sabda Rasul, bahwa : 

“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).


Pada dasarnya, hukum  pemilu yang menjadi uslub untuk mencari wakil dan pemimpin adalah boleh. Hanya saja, kebolehan itu tidak berarti abai terhadap hukum syara.  

Di dalam sistem pemerintahan islam, akan menjadikan aqidah Islam sebagai asas, sehingga pelaksanaan pemilihan pemimpin akan berjalan tertib, lancar, dan penuh kebaikan, termasuk dalam interaksi warga. Tidak ada konflik maupun perpecahan antarpendukung calon penguasa. Dengan demikian, pemilihan pemimpin dalam Islam akan mewujudkan keberkahan, yaitu bertambahnya kebaikan bagi umat.Pun dengan  politikus Islam akan mengharapkan rida Allah Taala ketika mengurusi urusan rakyat. Mereka paham ketika menjadi pemimpin dan wakil rakyat, tanggung jawabnya sangatlah besar. Tidak hanya di dunia, mereka juga akan diminta pertanggungjawaban di akhirat. Oleh karena itu, mereka tidak akan berlomba-lomba meraih kekuasaan karena nafsu.


Dalam upaya memilih pemimpin, Islam akan memilih cara yang simpel, murah, dan mudah. Adapun ada pemilu, Islam akan membuat cara itu dilakukan secara sederhana, mudah, dan murah. Para panitianya pun akan menjalankan amanah itu sebagai dorongan keimanan, bukan keuntungan. Dengan demikian, pemilu akan berjalan dengan jujur dan damai karena siapa pun yang menang akan amanah. 


Selain itu, Islam juga mengajarkan kepeminpinan untuk mewujudkan kepengurusan perlindungan terbaik umat dan pemenuhan kemaslahatan umat. Terbukti dalam sejarah, Islam mampu melahirkan sosok peminpin seperti Umar Bin Khattab yang benar-benar mengurusi urusan rakyatnnya, khalifah Harun Ar-rasyid yang terkenal dalam kesejahteraan rakyatnya dan pengembangan ilmu pengetahuan.


Akan tetapi, kepemimpinan dan mekanisme pemilihan umum seperti ini hanya bisa dilaksanakan, apabila diterapkan Islam secara Kaffah dalam Institusi negara yakni khilafah.Bukan dengan sistem kapitalisme atau sosialisme yang hanya memberikan banyak kerusakan.


Wallahu A'lam Bisawwab

Post a Comment

Previous Post Next Post