Presiden Joko Widodo menargetkan urusan sertifikasi tanah masyarakat diseluruh tanah air bisa selesai pada tahun depan. Hal tersebut disampaikannya ketika membagi sertifikat tanah kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur(27/12).
Beliau mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 78 tahun 2023 Tentang Perubahan atas peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2018 Tentang penanganan dampak sosial kemasyarakatan Dalam rangka Penyediaan Tanah untuk pembangunan Nasional (PerPres) 78/2023. Produk regulasi sesat pikir tersebut diduga lahir atas kegugupan dan kegagapan Jokowi terkait kelanjutan ambisi proyek Nasional pada tahun terakhir masa kepemimpinannya.
Konflik agraria adalah konflik yang berhubungan dengan urusan Pertanahan. Konflik agraria merupakan konflik yang timbul akibat adanya ketidakserasian/kesengajaan terkait sumber- sumber agraria berupa sumber daya Alam (SDA). Salah satu penyebab konflik agraria adalah penguasaan dan perebutan sumber daya alam. Secara umum, konflik agraria merupakan konflik yang kompleks. Konflik agraria mencerminkan keadaan tidak sepenuhnya rasa keadilan bagi kelompok masyarakat yang mengandalkan hidupnya dari tanah dan kekayaan alam lain, seperti kaum tani, nelayan, dan masyarakat adat. Bagi mereka, penguasaan atas tanah adalah syarat keselamatan dan keinginan hidup. Namun, gara-gara konflik agraria, prasyarat hidup itu porak poranda.
Sumber daya alam diposisikan sebagai basis komoditas industri yang "tanaman yang menguntungkan" seperti perkebunan dan pertambangan yang dianggap sebagai jalan keluar untuk mengeluarkan masyarakat dari kemiskinan karena industri perkebunan dianggap memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan mampu menyerap banyak tenaga kerja.
Disisi lain, pola-pola industri ini bersifat destruktif karena pengelolahan yang hiruk justru memunculkan masalah baru yang saling berkelindan seperti hilangnya hak atas tanah dan pendapatan, kerusakan lingkungan dan marginalisasi masyarakat lokal menimbulkan konflik yang melibatkan korporasi dan masyarakat.
Peningkatan Konflik sepanjang tahun 2022
Peningkatan kasus konflik agraria terlampir dalam catatan akhir tahun 2022 oleh konsorsium Pembaruan Agraria(KPA)( 9/1/2023). Catatan akhir tahun ini menyoroti tentang konflik agraria yang dialami masyarakat, khususnya petani kecil hingga berbagai langkah yang telah dilakukan Pemerintah sepanjang tahun 2022. Berdasarkan catatan KPA, sebanyak 212 konflik agraria terjadi sepanjang tahun 2022 atau meningkat 4 kasus dibandingkan tahun 2021 dengan jumlah 207 konflik, kasus konflik agraria tertinggi berasal dari sektor perkebunan 99, infrastruktur 32, Properti 26, pertambangan 21, kehutanan 20, fasilitas militer 6, pertanian agrobisnis 4, serta pesisir dan pulau-pulau kecil 4. Sedangkan jika dilihat dari wilayah terjadinya kasus agraria, terdapat 5 propinsi dengan konflik agraria tertinggi adalah Jawa Barat (25), Sumatera Utara(22), Jawa Timur 13, Kalimantan Barat 13 dan Sulawesi Selatan 12. Sumatera Utara juga menjadi wilayah dengan konflik agraria sepanjang 2022 menyebabkan peningkatan drastis dari sisi luasan wilayah terdampak. Luas konflik. agraria tahun 2022 yang terjadi di 33 propinsi ini mencapai 1.03 juta hektar dan berdampak terhadap lebih dari 346.000 keluarga. Sementara itu konflik agraria pada tahun 1021 mencakup luas 500.000 hektar.
Konflik agraria bisa terjadi dimana saja tidak hanya Indonesia, namun juga dinegara- negara lainnya. Umumnya konflik ini melibatkan banyak pihak dan banyak aturan yang kompleks. Kasus penyelesaian lahan dan perebutan lahan sebenarnya sudah terjadi diIndonesia sejak masa lampau. Kasus konflik agraria muncul karena adanya hambatan atau ada perbedaan keputusan oleh dua pihak atau lebih yang terlibat dalam pengurusan tanah.
Dan mengapa terus Terjadi,,, ?
Jika terus kita cermati, sesungguhnya manusia kondisi ini dikembalikan pada satu sebab mendasar, yakni penerapan sistem Kapitalisme dinegeri ini, sungguh sangat nyata spirit Kapitalisme mengedepankan pencapaian keuntungan sebesar- besarnya dengan modal sekecil-kecilnya, meskipun rakyat yang akhirnya menjadi korban. Yang terjadi adalah kongkali kong antara pengusaha dan penguasa. Bahkan dampak yang membahayakan rakyat dan lingkungan pun mereka tidak peduli. Tempat hidup rakyat yang seharusnya nyaman, bersih, sehat dan mendukung untuk menjalankan kehidupan sesuai misi penciptaan, akhirnya menjadi tempat yang tidak layak huni karena rawan bagi keselamatan para penghuninya. Bahkan, tanah yang telah sangat lama ditinggali oleh warga pun hendak dirampas dan diambil alih.
Demikian potret buram kehidupan dalam sistem Kapitalisme, mereka harus rela menerima keputusan untuk digusur dari tempat tinggalnya atas nama kepentingan rakyat, sebagaimana yang terjadi di Wadas atau Rempang dan sebagainya.
Konflik semacam ini tentu membuat kita prihatin, banyak konflik lahan yang alot diselesaikan karena bagaimanapun tanah memiliki nilai tidak bisa dianggap remeh. Bagi negara dan Penguasa, tanah adalah aset utama investasi dan akumulasi modal. Sedangkan masyarakat, tanah adalah tempat, aset ekonomi, simbol sosial budaya dan warisan. Itulah sebab ketika terjadi persengketaan berkaitan dengan tanah atau lahan, siapapun akan dengan sekuat tenaga mempertahankannya hingga titik darah penghabisan.
Realitasnya, kian hari ketimpangan penguasaan lahan ini kian lebar, kalangan berduit akan lebih banyak mengusai lahan. Industrialisasi dan pembangunan yang masif dilakukan, membuat pemilikan lahan termasuk yang diklaim milik negara, dengan mudah beralih kepada pemilik modal. Adapun rakyat yang lemah, cenderung tidak punya pilihan. Seberapa pun keras melakukan perlawanan, mereka akan kalah telak oleh kekuatan uang dan kekuasaan.
- Islam Mengatur Kepemilikan lahan dan Haram Merampasnya,,,!
Syariat Islam mengatur Kepemilikan lahan dengan sangat adil dan terperinci. Setiap Warga berhak untuk memiliki lahan, baik dengan membelinya maupun pemberian. Seperti hadiah, hibah atau warisan. Islam juga membolehkan khilafah membagikan tanah kepada warganya secara cuma- cuma.
Sedangkan berkaitan dengan tanah tak bertuan, syariat Islam menetapkan bahwa warga bisa memilikinya dengan cara mengelolanya.
Rasulullah Saw bersabda "Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim( yang menyerobot tanah orang lain).
(HR At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad).
Selain itu, syariat Islam juga mengingatkan pemilik lahan agar menelantarkannya karena penelantaran selama tiga tahun menyebabkan gugurnya hak kepemilikan atas lahan tersebut. Selanjutnya lahan itu akan diambil paksa oleh Negara dan diberi kepada pihak yang sanggup mengelolah lahan tersebut. Ketetapan ini berdasarkan ijmak sahabat.
Sungguh, Islam telah memberikan aturan yang sangat terperinci dan adil bagi para pemilik lahan. Kepemilikan lahan tidak bisa dibatalkan atau diambil alih oleh siapa saja, bahkan Negara sekalipun, hanya karena tidak bersertifikat. Ketika sertifikat menjadi satu-satunya bukti keabsahan kepemilikan lahan, ini justru membuka celah terjadinya perampasan lahan. Pasalnya, ada segelintir orang yang mempunyai akses mengurus sertifikat lahan, sebaliknya, warga yang tidak mempunyai akses mengurus lahan, status kepemilikannya malah terancam. Bahkan akibat tidak ada sertifikat, Negara seolah bisa semena-mena mengambil alih lahan milik warga, sungguh miris,,,!
Tentang Perampasan tanah, Nabi Saw telah mengancam para pelakunya dengan siksaan yang keras.
Beliau bersabda" Siapa saja yang mengambil sejengkal tanah secara zalim. Allah akan mengalungkan tujuh bumi kepada dirinya."
(HR Muttafaq alayh).
Juga dalam hadis lain Nabi Saw bersabda: Barangsiapa mengambil sejengkal tanah saudaranya dengan zalim, niscaya Allah SWT akan menghimpitnya dengan tujuh lapis bumi pada hari kiamat.
(HR Muslim).
Dalam sistem Kapitalisme, Negara bisa semena-mena merampas lahan milik rakyat sehingga kehidupan yang penuh kedamaian dan keadilan tidak mungkin terwujud. Hal ini terjadi karena Kepemimpinan hanya menjadi alat melayani kepentingan segelintir orang.
Berbeda dengan Islam, Islam Din yang sempurna Islam mewajibkan Negara melindungi kepemilikan rakyatnya, termasuk tanah. Kepemimpinan dalam islam merupakan manifestasi keimanan sehingga realisasinya akan berujung keberkahan. Dalam Islam, penguasa adalah penggembala rakyatnya. Imam itu adalah laksana penggembala dan ia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya yang digembalakannya
(HR Imam Bukhari dan Imam Ahmad). Selain itu Negara adalah perisai bagi rakyatnya. Rasulullah Saw bersabda" Sesungguhnya imam atau khilafah adalah perisai (junnah). Orang-orang yang berperang dibelakangnya dan menjadikannya pelindung.
Oleh karenanya, penguasa dalam sistem Islam akan berhati-hati dan takut jika kepemimpinannya menjadi sebab penderitaan rakyat. Mereka akan memastikan setiap kebijakan yang diambilnya akan memberi kebaikan bagi rakyatnya baik laki-laki maupun perempuan, dewasa maupun anak-anak. Juga akan memastikan akan terpenuhinya semua hak dan kebutuhan setiap individu rakyatnya.
Tidak hanya itu, Khalifah pun akan menyelesaikan konflik lahan yang terjadi di negaranya dengan penyelesaian yang adil. Ini sebagaimana pernah terjadi pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab.
Nyata, bahwa hanya sistem Islam lah yang memiliki solusi tuntas bagi setiap permasalahan yang dialami rakyat dengan aturan aturannya yang sempurna dan lengkap. Ketika Sistem Islam diterapkan Khalifah dan para aparatnya akan bertindak adil, tidak ada satupun pihak yang dirugikan. Maka dengan demikianlah hanya sistem Islam pastinya akan membawa keberkahan dan rahmat, yakni mendatangkan kemaslahatan dan mencegah mafsadat bagi manusia. Dan tugas kita semua sebagai ummat Muslim adalah bertanggungjawab dan bersegera mewujudkan penerapan Islam dan Syariahnya.
Wallahu a'lam bi shawwab
Post a Comment