Konflik Lahan, Paradoks Pembangunan


Oleh: Apriani


Presiden Joko Widodo kembali membagikan sertifikat tanah kepada masyarakat. Namun, sejumlah pihak menilai  upaya pemerintah tersebut tidak akan menyelesaikan konflik agraria di tanah air. Sebagai kepala negara, ia menargetkan urusan sertifikasi tanah masyarakat di seluruh tanah air bisa selesai pada tahun depan. Hal tersebut disampaikannya ketika membagikan sertifikat tanah di kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu (27/12).


 Dilansir dari Voa Indonesia Jokowi mengatakan, "sejak 2015 ada 126 juta lahan di di berbagai penjuru tanah tanah air yang harus disertifikatkan. Namun, pada saat itu, baru 46 juta lahan yang memiliki sertifikat mengingat Badan Pertanahan Nasional (BPN) hanya mengeluarkan sertifikat tanah sebanyak 500 ribu sertifikat per tahun." Artinya masih 80 juta yang belum bersertifikat sehingga konflik di negara kita banyak gara-gara lahannya, tanahnya belum bersertifikat. Ada yang dengan tetangganya, saudara dengan saudaranya, antar masyarakat dengan pemerintah, masyarakat dengan perusahaan swasta, di mana-mana,” paparnya.


Namun, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bidang Advokasi dan Jaringan Zainal Arifin mengatakan penerbitan sertifikat tanah masyarakat tidak dapat menyelesaikan konflik agraria yang sampai detik ini masih membelenggu Indonesia. Menurutnya, pembagian sertifikat tanah kepada masyarakat memang menjadi kewajiban pemerintah untuk mengakui secara hukum hubungan antara masyarakat dengan tanah yang dimilikinya. 


Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2023 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2018 Tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Nasional (Perpres 7/8/2023)


Konflik lahan nyata menjadi salah satu persoalan yang dihadapai banyak rakyat. Namun faktanya negara justru membuat aturan yang memudahkan perampasan tanah rakyat dengan dalih pembangunan. Padahal nyatanya bukan untuk kepentingan rakyat ataupun menguntungkan rakyat. Konflik lahan adalah satu keniscayaan dalam sistem kapitalisme demokrasi yang melahirkan politik oligarki. 


Konflik agraria di negeri ini didominasi akibat dari pengembangan proyek strategis nasional (PSN).  Dilansir dari surabayapagi Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menyatakan konflik agraria itu terjadi di seluruh sektor pembangunan, mulai dari pertanian, tambang, hingga pembangunan properti. Proyek-proyek itu diantaranya adalah pembangunan sirkuit Mandalika Nusa Tenggara Barat (NTB), Bendungan Bulango Ulu Gorontalo, pembangunan tol Padang-Pekanbaru, dan proyek kawasan ekonomi khusus di Gresik, pembangunan PLTA di Pinrang.


Selain itu juga ada penambangan Wadas untuk Bendungan Bener, proyek Movieland MNC Lido City Sukabumi, proyek lumbung pangan atau food estate di Sumatera Utara, pembangunan Bolaang Mongondow di Sulawesi Utara. Kemudian, Bandara Kayong Utara di Kalimantan Barat, Bendungan Karalloe di Goa, Waduk Lambo di Nusa Tenggara Timur, tol Serang-Panimbang, tol Balikpapan dan Samarinda, pembangunan PLTU Muna, serta proyek cetak sawah baru di Pulau Pisang Kalimantan. Termasuk juga, pembangunan Waduk Sepaku Semoi yang jadi infrastruktur penunjang ibu kota negara di Kalimantan Timur, pembangunan bandara dan kilang minyak di Air Bangis Sumatera Barat, proyek tambang pasir Royal Boskalis, serta pengadaan tanah bagi infrastruktur penunjang Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Pulau Komodo dengan menggusur Hutan Bowosie oleh badan otorita Labuan Bajo.


"Itulah proyek-proyek strategis nasional yang sepanjang 3 tahun terakhir telah menyebabkan perampasan tanah dan letusan konflik agraria di berbagai wilayah tanah air," jelas Dewi dalam diskusi Peringatan Hari Tani Nasional 2023, Minggu (24/9/2023).


Dan yang terbaru peristiwa di Pulau Rempang, Batam, terjadi konflik agraria juga akibat proyek strategis nasional. Bentrokan tak terelakan di Pulau Rempang, Batam, setelah warga menolak relokasi untuk pembangunan kawasan Rempang Eco-City. Proyek yang digarap oleh PT Makmur Elok Graha (MEG). Berdasarkan Peraturan Menko Perekonomian No 7/2023, pengembangan Kawasan Rempang Eco-City masuk dalam daftar program strategis nasional ke-13. Proyek yang meliputi kawasan industri, perdagangan, dan pariwisata itu bakal dibangun di lahan seluas 7.572 hektar atau sekitar 45,89 persen dari total luas pulau tersebut yang memiliki yang memiliki luas sebesar 16.500 hektare. Untuk pembangunan ini pula, pemerintah setempat akan menggusur 1.835 bangunan di daerah itu. Meski sejatinya warga tak setuju dipindahkan karena telah mendiami wilayah tersebut sejak dulu secara turun temurun. 


Masih banyak konflik agraria yang belum terselesaikan. Penyelesaian konflik agraria pada pemerintahan hari ini hanyalah reforma agraria palsu. Banyak UU yang dibuat Justru hanya menguntungkan para pemilik modal dan merugikan masyarakat. Konflik agraria di Indonesia sulit dihentikan karena terdapat sejumlah aturan yang justru memperparah. Beberapa aturan itu di antaranya Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) dan Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN).


Sistem kapitalisme yang ada pada saat ini membuka peluang terjadinya konflik agraria yang sangat kompleks dan meluas. Hal ini disebabkan karena ketakjelasan status kepemilikan lahan yang ada. Adanya mafia-mafia tanah yang tidak tersentuh hukum makin membuat ketimpangan penguasaan lahan yang makin tajam. Siapa yang bermodal, berduit, dan memiliki akses kepada kekuasaan, bisa menguasai lahan dengan leluasa. 


Solusi untuk Konflik Agraria

Dalam situasi seperti ini, negara selayaknya segera menyelesaikan konflik agraria secara adil dan tidak memihak korporasi yang menjadi lawan masyarakat dalam kasus sengketa/konflik agraria. Dalam hal ini, Islam telah memberikan solusinya. Sebagaimana dalam Islam, pemimpin adalah pelayan umat. Rasulullah Saw. bersabda; “Imam [kepala negara] itu laksana penggembala, dan dialah penanggung jawab rakyat yang digembalakannya.”


Negara wajib memastikan terwujudnya kemaslahatan di tengah rakyat. Penguasalah yang berkewajiban menanggung amanah dan tanggung jawab untuk mewujudkan kemaslahatan itu. Allah Swt. akan meminta pertanggungjawaban mereka mengurusi rakyat. Sementara Allah mengharamkan surga bagi penguasa yang lalai, apalagi sampai menzalimi rakyatnya.


Hadis Ma’qil bin Yasar, dari Hasan, bahwa Ubaidillah bin Yazid mengunjungi Ma’qal bin Yasar ketika sedang sakit yang menyebabkan kematiannya, Ma’qal berkata kepada Ubaidillah “Aku akan menyampaikan kepadamu sebuah hadis yang telah aku dengar dari Rasulullah saw., bahwa beliau saw. bersabda, ‘Tiada seorang hamba yang diberi amanat rakyat oleh Allah, lalu ia tidak memeliharanya dengan baik, melainkan Allah tidak akan merasakan padanya harumnya surga (melainkan tidak mendapat bau surga, pen.)’” (HR Bukhari dalam Kitab Hukum-Hukum Bab “Orang yang Diberi Amanat Kepemimpinan”).


Negara dan aparat pemerintahan wajib berpihak pada syariat Islam dan tidak mengambil untung dari proses melayani rakyat. Untuk menyelesaikan kasus ini, negara bisa menanyakan kepada masyarakat setempat dan juga kepada korporasi terkait tentang luas lahan yang mampu mereka garap, lalu memberikannya pada mereka. 


Negara akan mencegah salah satu pihak menzalimi pihak lain. Negara akan menindak apabila terjadi pelanggaran hukum berupa kekerasan. Pada lahan yang tidak (mampu) dikelola/digarap kedua belah pihak, negara bisa menyerahkannya kepada pihak lain karena termasuk tanah mati.


Tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh seorang pun. Sedangkan yang dimaksud dengan menghidupkan tanah mati (ihya al-mawat) adalah mengolahnya, menanaminya, atau mendirikan bangunan di atasnya. Dengan kata lain, menghidupkan tanah mati adalah memanfaatkannya dengan cara apa pun yang bisa menjadikan tanah tersebut hidup.


Ini berlaku secara umum dan mencakup semua bentuk tanah-tanah di Negara Islam ataupun tanah Negara Kufur, baik tanah tersebut berstatus usyriyah (dikuasai negara Islam tanpa melalui peperangan) ataupun kharajiyah (ditaklukkan Negara Islam melalui peperangan).


Namun, kepemilikan atas tanah tersebut memiliki syarat, yakni harus dikelola selama tiga tahun sejak tanah tersebut dibuka dan terus-menerus dihidupkan dengan cara digarap atau dimanfaatkan. Apabila tanah tersebut belum pernah dikelola selama tiga tahun sejak tanah tersebut dibuka atau setelah dibuka, malah dibiarkan selama tiga tahun berturut-turut, maka hak kepemilikan orang yang bersangkutan atas tanah tersebut telah hilang.


Abu Yusuf dalam Al-Kharaj menuturkan riwayat dari Sa’id bin Al-Musayyab. Disebutkan bahwa Khalifah Umar bin Khaththab pernah berkata, “Orang yang memagari tanah (lalu membiarkan begitu saja tanahnya) tidak memiliki hak atas tanah itu setelah tiga tahun.”


Di dalam Sunan Al-Bayhaqi, dari penuturan Amr bin Syu’aib, juga terdapat riwayat bahwa Umar telah menjadikan masa pemagaran (penguasaan tanah) oleh seseorang adalah selama tiga tahun. Jika tanah itu dibiarkan hingga habis masa tiga tahun, lalu tanah itu dihidupkan oleh orang lain, orang yang terakhir ini lebih berhak atas tanah tersebut.


Umar ra. menyatakan sekaligus melaksanakan tindakan semacam itu dengan disaksikan dan didengar oleh para sahabat. Mereka tidak mengingkarinya. Dengan demikian ketetapan ini menjadi ijmak sahabat.


Dalam Islam, segala sesuatu yang ada di langit dan bumi termasuk tanah hakikatnya adalah milik Allah Swt. semata. Firman Allah Swt., “Dan kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allahlah kembali (semua makhluk).” (QS An-Nuur [24]: 42)


Allah Swt. juga berfirman, “Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS Al-Hadid [57]: 2)


Adapun tentang kepemilikan tanah dalam syariat Islam adalah hak yang ditetapkan oleh Allah Swt. bagi manusia untuk memanfaatkan tanah.


Menurut Abdurrahman al-Maliki, tanah dapat dimiliki dengan 6 (enam) cara menurut hukum Islam, yaitu melalui (1) jual beli, (2) waris, (3) hibah, (4) ihya’ul mawat (menghidupkan tanah mati), (5) tahjir (membuat batas pada tanah mati), (6) iqtha’ (pemberian negara kepada rakyat). (Al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mustla, hlm. 51).


Seorang pemilik tanah boleh menanami tanahnya dengan alat benih, hewan, dan para pekerjanya. Ia juga boleh mempekerjakan para pekerja yang ia sewa untuk menanaminya. Jika ia tidak mampu untuk mengusahakannya, ia akan dibantu negara dengan dana dari kas negara (Baitulmal).


Akan tetapi, jika tanah tersebut tidak ditanami oleh pemiliknya, tanah tersebut akan diberikan kepada orang lain untuk ia garap sebagai pemberian cuma-cuma dari negara tanpa kompensasi apa pun.  Apabila pemiliknya tidak menggarapnya dan tetap menguasainya, ia dibiarkan selama tiga tahun. Apabila setelah tiga tahun tersebut tanah tersebut tetap dibiarkan atau ditelantarkan, negara akan mengambil tanah tersebut dari pemiliknya dan memberikannya kepada yang lain.


Yunus menuturkan riwayat dari Muhammad bin Ishaq, dari Abdullah bin Abu Bakar yang berkata, “Bilal bin al-Harits al-Muzni pernah datang kepada Rasulullah saw. lalu ia meminta sebidang tanah kepada beliau. Beliau kemudian memberikan tanah yang berukuran luas kepadanya. Ketika pemerintahan dipimpin oleh Khalifah Umar, beliau berkata kepadanya, ‘Bilal, Engkau telah meminta sebidang tanah yang luas kepada Rasulullah Saw., lalu beliau memberikannya kepadamu. Rasulullah Saw. tidak pernah menolak sama sekali untuk diminta, sementara Engkau tidak mampu menggarap tanah yang ada di tanganmu.’ Bilal menjawab, ‘Benar.’ Khalifah Umar berkata, ‘Karena itu, lihatlah mana di antara tanah itu yang mampu kamu garap lalu milikilah. Mana yang tidak mampu kamu garap, serahkanlah kepada kami dan kami akan membagikannya kepada kaum muslim.’ Bilal berkata, ‘Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan apa yang telah Rasulullah berikan kepadaku.’ Khalifah Umar kembali berkata, ‘Demi Allah, kalau begitu Engkau harus benar-benar menggarapnya.’ Kemudian Umar mengambil tanah yang tidak mampu ia garap dari Bilal lalu membagikannya kepada kaum muslim.” (HR Yahya bin Adam dalam Al-Kharaj). 


Dengan demikian, hanya Islam jawaban untuk menyolusi segala konflik agraria dan hanya bisa berlaku dalam negara yang menerapkan Islam, bukan kapitalisme. Wallahualam.

Post a Comment

Previous Post Next Post