Presiden Joko Widodo kembali mengambil langkah dalam menyelesaikan permasalah agraria yaitu dengan membagikan sertifikat tanah kepada masyarakat. Beliau menargetkan urusan sertifikat tanah akan selesai tahun 2024 ini.
Namun, langkah yang diambil presiden ini dinilai tidak akan mampu menyelesaikan konflik agraria di negeri ini. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia(LBHI) Bidang Advokasi dan jaringan, Zainal Arifin mengatakan penerbitan sertifikat tanah tidak dapat menyelesaikan konflik agraria, karena justru sejumlah proyek strategis nasional(PSN) kerap merampas lahan masyarakat seperti yang terjadi di Pulau Rempang, Riau. Artinya presiden jor-joran memberi izin konsesi kepada para pengusaha lewat UU ciptaker (Voaindonesia.com, 28/12/2023).
Bukankah pembagian sertifikat tanah menjadi kewajiban negara untuk mengakui secara hukum tanah milik rakyatnya? Negara justru berkhianat kepada rakyatnya sendiri dengan memberi izin kepada para penguasa untuk melakukan usaha yang membuat tanah rakyatnya dirampas lewat undang-undang Ciptaker yang telah dilegalkan.
Tidak bisa dipungkiri, penguasa menjadi perpanjangan tangan para pemilik modal. Artinya kekuasaan hanya dimiliki oleh segelintir orang yang memiliki modal dan penguasa yang memuluskan kepentingan mereka.
Adanya narasi pembangunan Proyek Strategi Nasional (PSN) yang mengatasnamakan rakyat hanyalah omong kosong. Karena faktanya, rakyat justru tergusur dari tanah milik mereka. Ruang hidup mereka dirampas oleh para perusahaan swasta. Tidak hanya itu, masih banyak kedzoliman penguasa merampas lahan rakyat yang dilegalkan lewat UU. Misalnya, proyek pengembangan food estate, kawasan strategis pariwisata nasional (KSPN) dan masih banyak lagi. Pelakunya adalah penguasa elit yang berkolaborasi dengan para pemilik modal.
Sistem Demokrasi Kapitalisme yang diterapkan di negeri ini, melahirkan politik oligarki yang dikendalikan oleh segelintir elit politik. Sistem fasad ini membolehkan manusia membuat aturan sendiri atas nama perwakilan rakyat. Ideologi Kapitalisme menempatkan para pemilik modal bebas berkuasa. Mereka bebas membuat regulasi yang menguntungkan mereka. Maka tidak heran konflik lahan di era kapitalisme mustahil diselesaikan dengan tuntas.
Berbeda jauh dengan Islam yang memiliki konsep jelas atas kepemilikan lahan. Islam menetapkan tanah memiliki tiga status kepemilikan. Yaitu yang bisa dimiliki oleh individu. Misalnya lahan pertanian, perkebunan dan sejenisnya. Tanah ini bisa dimanfaatkan seperti dijual, dihibahkan maupun diwariskan oleh Individu yang bersangkutan. Sedangkan tanah milik umum di dalamnya terkandung harta milik umum. Seperti tanah hutan, tambang yang mengandung tambang dengan jumlah yang tidak terbatas, dan fasilitas umum seperti jalan dan rel kereta, semuanya milik umum yang tidak boleh atau haram hukumnya diserahkan atau dikuasai oleh pihak swasta seperti hari ini. Ada juga tanah milik negara.
Dalam negara Islam. UU pertanahan akan didasarkan pada prinsip-prinsip kepemilikan dan pengelolaan tanah sesuai syariat. Proyek pembangunan apa pun dalam negara Islam dilaksanakan untuk kepentingan rakyat dan negara berperan sebagai pengurusnya.
Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya."
(HR.al-Bukhari).
Wallahu'alam.
Post a Comment