KONFLIK AGRARIA, PARADOKS PEMBANGUNAN


OLEH : RIFDATUL ANAM


Presiden Joko Widodo menargetkan urusan sertifikasi tanah masyarakat di seluruh Indonesia bisa siap pada tahun depan. Guna menekan terjadinya konflik lahan yang selama ini telah terjadi. Menurutnya, sertifikat tanah sangat penting karena sebagai bukti atas  kepemilikan tanah. Hal itu diungkapkan saat pembagian sertifikat tanah di kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. (VOA, 27/12/2023).


Terkait hal tersebut sejumlah pihak menilai upaya pemerintah dengan sertifikasi tanah ini tidak akan menyelesaikan konflik lahan di tanah air. Menurut Zainal Arifin, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bidang Advokasi dan Jaringan, memgatakan sebenarnya masalahnya bukan pada konteks sertifikasi tanah, tapi hubungannya dengan konflik-konflik agraria yang masih ada ketimpangan kekuasaan yang belum terselesaikan. “Penyelesaian konflik agraria Jokowi hari ini, itu adalah reforma agraria palsu. Justru melalui UU Cipta Kerja, konflik agraria itu semakin meningkat,” pungkasnya.


Konflik lahan ini belum terselesaikan, tapi pemerintah malah mendesak Proyek Strategi Nasional (PSN) dengan peraturan baru yang telah dikeluarkan Presiden Joko Widodo Nomor 78/2023Tentang perubahan Atas Perpres Nomor 62/2018, Tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Nasional. 


Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengatakan Perpres ini adalah Produk regulasi sesat pikir yang lahir atas kegugupan dan kegagapan presiden yang akan berakhir masa kepemimpinannya. Bukan hanya untuk kepentingan proyek strategi nasional (PSN), tapi kebijakan baru ini juga untuk kepentingan proyek-proyek selain PSN yang jelas lebih menguntungkan oligarki dan korporasi.


Konflik agraria ini adalah masalah yang belum bisa terselesaikan dengan tuntas hingga kini, tapi peraturan baru yang dikeluarkan presiden malah akan lebih memudahkan jalan perampasan tanah rakyat dengan dalih pembangunan. Hal ini akan semakin menambah runyamnya konflik lahan. Karena faktanya, pembangunan tersebut bukan untuk kepentingan rakyat tapi untuk kepentingan oligarki dan korporasi. 


Sistem kapitalisme demokrasi bagaikan surga bagi oligarki dan korporasi. Mereka berlindung dibawah proyek-proyek nasional mengatasnamakan investasi, padahal dibalik itu semua menguasai lahan dan tanah rakyat menjadi tujuan terselubungnya. Dengan adanya konflik lahan, mereka yang mempunyai kekuasaan dan kekuatan pasti akan menang. Rakyat pun tak kuasa melawan karena keterbatasan dan kelemahan.


Sistem kapitalisme membuat peran negara tak berfungsi dengan baik, tak mengayomi rakyat dan mengabaikan rakyat. Berbeda dengan Islam yang kepemilikan tanah terkonsep dengan jelas. Tanah merupakan bagian dari alam yang diciptakan Allah untuk manusia agar dapat dimanfaatkan dengan baik. Negara memiliki peran penting dalam pengaturan tanah yang sesuai dengan syariat Islam, termasuk didalamnya pengaturan kepemilikan individu, umum, dan negara.


Untuk itu, hukum dan kebijakan yang ditetapkan negara hanya untuk kepentingan dan kemaslahatan rakyat guna melindungi rakyatnya. Kepemilikan tanah atas individu bukan hanya sekedar selembar sertifikat, tapi lebih ke siapa yang dapat mengelolanya dengan baik. Dan bagi yang dapat mengelola tanah mati, secara otomatis tanah itu menjadi miliknya.

Rasulallah Saw bersabda:

"Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya." (HR. At-tirmidzi dan Ahmad)


Dan pembangunan pada lahan kepemilikan umum semata berdasarkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah untuk kesejahteraan dan kemudahan rakyatnya. Negara tidak akan memaksakan kehendaknya untuk melakukan proyek pembangunan jika rakyat tidak mengizinkan. Negara hadir sebagai pelindung dan peri'ayah rakyat.

Wallahu'alam bishawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post