Konflik Agraria, Menyengsarakan Rakyat



Oleh Neneng Hermawati

Pendidikan Generasi Cemerlang


Deretan kasus agraria terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut laporan akhir tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), selama periode tahun 2009 sampai 2022, setidaknya ada 4.107 kasus konflik agraria di Indonesia, yang berdampak pada sekitar 2,25 juta keluarga.(katadata.co.id 12/01/2024).


Konflik agraria sering terjadi pada lahan yang sudah ditempati masyarakat selama puluhan tahun lamanya. Di tempat inilah, masyarakat membangun kehidupannya. Mereka memiliki rumah, sekolah, sumber penghidupan baik sebagai petani, nelayan ataupun yang lainnya. Namun seiring waktu, tempat mereka pun digusur dan dialihfungsikan untuk pembangunan proyek baik itu atas nama kepentingan umum ataupun perusahaan yang memiliki kepentingan atas lahan tersebut. Suara-suara masyarakat yang menentang pembangunan proyek itu pun terus bergema. Mereka menganggap bahwa pembangunan tersebut merugikan, seperti tidak ada kepastian tempat tinggal yang layak, jauhnya akses transportasi, ganti rugi yang tidak sesuai, hilangnya mata pencaharian, dan yang lebih menyedihkan lagi mereka menerima tekanan-tekanan baik secara fisik maupun psikologis supaya mereka meninggalkan lahannya.


Miris sekali melihat kondisi rakyat yang tidak bisa memiliki hak untuk menempati lahan di negeri yang sangat luas daratannya ini. Di manakah rakyat harus tinggal? Kalaulah atas nama kepentingan umum, kepentingan umum siapa?

Seharusnya rakyatlah yang menjadi  kepentingan umum, mengutamakan aspirasi mereka, memenuhi kebutuhan mereka.

Hal ini menjadi bukti bahwa pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk mengurusi rakyatnya. Jelas sekali  negara ini berpihak bukan pada rakyat. Begitulah wajah asli dari negara yang menerapkan sistem demokrasi kapitalis. Dimana kepemilikan hanya diakui pada negara dan individu yang memiliki modal (para oligarki). Buktinya adalah  banyaknya konflik agraria ini tidak terjadi begitu saja. Masalah tersebut lahir akibat kesalahan dalam tata kelola agraria. Kebebasan yang dilegalkan membuat siapa saja yang bermodal bisa menghalalkan berbagai cara termasuk dalam pengurusan agraria. 


Kasus Rempang menunjukkan demikian. Rakyat yang puluhan tahun menempati pulau tersebut tetapi tidak mampu menunjukkan sertifikat kepemilikan, status tanahnya pun menjadi milik negara. Dengan begitu negara boleh memberikan hak guna lahan kepada siapa saja yang menginginkan. Negara tidak peduli wilayah itu berpenghuni atau tidak.


Berbeda dengan Islam, Islam sebagai agama yang rahmatan lil 'alamiin pasti memberikan kebaikan untuk manusia. Aturan sempurna yang diterapkan dalam segala aspek kehidupannya mampu menjawab dan menyelesaikan secara tuntas berbagai permasalahan, termasuk solusi atas konflik agraria. Konflik agraria  bermula karena ketidakjelasan terhadap kepemilikan. Islam mempunyai aturan jelas terhadap sektor kepemilikan, di antaranya: 

 

Pertama, kepemilikan umum, yaitu terkait dengan sumber Daya Alam (SDA) baik padang gembala, air dan api (minyak bumi dan gas alam), tidak boleh dikuasai individu, dan negara hanya berhak untuk mengelolanya sedangkan hasilnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat. 


Kedua, kepentingan individu. Negara akan melindungi setiap individu yang memiliki sesuatu atas sebab-sebab menurut apa di bolehkan oleh syara, seperti jual beli, waris, hadiah, pemberian tanah oleh negara, menghidupkan tanah mati, dan memagari tanah mati.


Ketiga, kepemilikan negara, yaitu yang terkait dengan lahan yang tidak ada pemiliknya, tanah kharaj, dan tanah yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun.

 

Kepemimpinan dalam Islam sangat jelas yaitu untuk mengatur urusan umat, yang meliputi pemenuhan secara individu, seperti sandang, pangan dan sandang, maupun pemenuhan secara kolektif seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan. 

Pemimpin dalam Islam ibarat perisai bagi rakyatnya. Sabda Rasulullah saw. "Sesungguhnya imam atau khalifah adalah perisai (junnah). Orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung..." (HR. Muslim)


Penguasa akan sangat berhati-hati dan takut jika kepemimpinannya menjadi sebab penderitaan rakyat. Mereka akan  memastikan setiap kebijakan yang diambilnya akan memberi kebaikan bagi rakyatnya. 

Kehidupan seperti ini akan terjadi jika kaum muslimin saat ini mau menerapkan Islam secara kafah dalam sistem yang tepat sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah saw. yaitu kekhilafahan Islam.


Wallahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post