Konflik Agraria di Negara Kapitalis Menyisahkan Luka bagi Rakyat


Oleh : Kurniawati, S.Pd.


Banyak orang yang  bilang tanah Indonesia tanah syurga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Sepertinya slogan  itu hanyalah sebuah ilusi karena kenyataanya banyak masyarakat tidak bisa menikmati hidup yang nyaman di tanah airnya sendiri.


Salah satu contohnya adalah selama periode 2009-2022, setidaknya ada 4.107 kasus konflik agraria di Indonesia, yang berdampak pada sekitar 2,25 juta Kepala Keluarga (KK). Banyaknya kasus itu diiiringi dengan tingginya jumlah korban. Pada 2017, masyarakat yang berdampak konflik agraria mencapai 652 ribu Kepala Keluarga (KK). Berdasarkan laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), terdapat 212 konflik agraria yang terjadi di Indonesia sepanjang 2022. Konflik yang paling banyak terjadi di sektor perkebunan, yakni 99 kasus, dengan luas wilayah konflik 377,19 ribu ha dan korban terdampak 141.001 KK. Kemudian konflik agraria di sektor pembangunan infrastruktur, yaitu 32 kasus. Luas lahan konfliknya mencapai 102,75 ribu ha yang berdampak pada 28.795 KK. Konflik di sektor infrastruktur berasal dari proyek pembangunan pariwisata, bendungan, jalan tol, pembangkit listrik, hingga fasilitas umum. 


Berikutnya ada 26 kasus konflik agraria di sektor properti, dengan luas konflik 4,57 ribu ha dan 15.957 KK yang terdampak. Konflik di sektor ini didominasi oleh klaim aset pemerintah di tanah dan pemukiman masyarakat. Ada pula kasus agraria yang terjadi di sektor pertambangan (21 kasus), kehutanan (20 kasus), fasilitas militer (6 kasus), pertanian (4 kasus), serta pesisir dan pulau-pulau kecil (4 kasus). (katadata.co.id ,12/01/2024).


Banyaknya konflik agraria berimplikasi terampasnya hak hidup masyarakat yang dilakukan oleh penguasa yang berkerjasama dengan pengusaha. Satu pengusaha bisa menguasai jutaan hektar tanah, sedangkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup, untuk memiliki sepetak tanah saja sangat kesulitan.


Kemudian ketidaktahuan mereka terhadap legalitas tanah yang mereka tempati dimanfaatkan oleh korporasi dan penguasa untuk mengklaim tanah itu tidak memiliki sertifikat dan berhak diambil alih. Padahal masyarakat sudah hidup dan menggarapnya bertahun-tahun. Masyarakat di daerah itu tidak meminta lebih, mereka hanya meminta agar bisa  bertahan hidup dari hari ke hari, bisa mencari nafkah, menyekolahkan anak-anak mereka, beribadah dll. Jika di era sekarang saja konflik sudah sedemikian rupa, lalu  bagaimana ke depannya nanti  jika hal ini terus berlangsung?


Sebenarnya akar permasalahannya adalah hak kepemilikan tanah oleh korporasi yang diberikan kebebasan oleh pemerintah untuk dimiliki; selama tanah dan lahan tersebut bisa menjadi alat produksi yang menguntungkan bagi korporasi. Dalam hal ini tentunya pemerintah ikut andil dalam memuluskan perizinan dan masalah administrasi lainnya. 


Hal ini terjadi karena Indonesia sendiri mengadopsi sistem pemerintahan yang bercorak Kapitalis. Sistem dimana kebesasan kepemilikan lahan boleh dimilki oleh siapa pun yang memiliki banyak uang.  Sungguh, kapitalisme yang diterapkan penguasa saat ini tidak akan bisa menjamin hak hidup yang nyaman bagi masyarakatnya. Pemerintah tetap membuka peluang investasi asing dalam segala bidang.


Kita tidak boleh tinggal diam  melihat penindasan dan kezaliman ini. Perubahan harus diusahakan dan diupayakan demi tercapainya ketentraman hidup, kita hanya punya satu pilihan yaitu kembali kepada aturan Allah SWT. yang menciptakan manusia dan seluruh alam yaitu Islam. 


Dalam Islam kepemilikan ada tiga yaitu kepemilikan atas individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Individu boleh memiliki tanah, rumah, kebun, sawah. Ini berkaitan dengan kepemilikan individu, negara melarang setiap orang melakukan tindakan sewenang-wenang seperti merebut hak milik atau merebut paksa tanah milik orang lain. Lahan yang menjadi milik individu akan dilindungi dan dijamin keamanannya sehingga tidak ada seorang pun yang berani merampasnya.


Adapun dalam kepemilikan umum, individu atau swasta tidak boleh menguasai dan mengelolanya. Negara wajib mengelola segala harta dan lahan milik umum untuk kemaslahatan rakyat. Sistem  Islam (Khilafah)  menjadikan proyek pembangunan dilaksanakan untuk kepentingan rakyat, yaitu mewujudkan kesejahteraan rakyat semata bukan untuk kepentingan segelintir pengusaha. 


Pada dasarnya tujuan kepemimpinan dalam Islam adalah mengurusi urusan umat dengan syariat Islam. Kepemimpinan ini sejatinya sebagai bentuk keimanan dan ketaatan kepada Allah yang kelak di hari kiamat akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Sebagaimana hadis Nabi “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Jadi, masihkah kita mau berharap pada sistem Kapitalisme?


Wallahu 'alam bi ashawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post