Khilafah Solusi Dalam Melindungi Ruang Hidup Perempuan dan Generasi


By : Ummu Nahla


Hingga saat ini, nasib warga Rempang masih belum menemui kejelasannya. Walaupun rencana relokasi Rempang tengah ditunda, masyarakat masih resah. Ini karena hak atas tanah tersebut telah diberikan negara kepada entitas perusahaan sejak 2001 dan 2002, sedangkan mereka telah menempati tanah tersebut turun-temurun sejak ratusan tahun silam.


Ruang Hidup Dirampas

Perampasan lahan atas nama PSN bukan hanya terjadi di Rempang. Telah banyak tempat di wilayah lainnya di Indonesia yang mengalami hal serupa. Demi investasi, rakyat kehilangan ruang hidupnya yang aman dan nyaman. Rakyat kian dimiskinkan dengan dalih pembangunan menuju kesejahteraan.


Nyatanya, pembangunan ala kapitalisme tidak pernah terbukti membawa rakyat pada kesejahteraan. Justru yang terjadi sebaliknya, lowongan pekerjaan yang dijanjikan terbuka lebar setelah pembangunan, nyatanya tidak bisa menyerap semua warga yang telah kehilangan mata pencariannya akibat lahannya terampas.


Jadilah kemiskinan kian menyelimuti keluarga, buruknya perekonomian keluarga memaksa ibu untuk ikut bekerja. Beban ganda telah menjadikan banyak ibu stres sehingga hidup tidak bahagia. Begitu pun para generasi, mereka kehilangan ruang bermain, kehilangan kasih sayang ayah ibu hingga kehilangan hak mendapatkan makanan bergizi. Inilah yang menyebabkan kualitas generasi kian terpuruk. Mirisnya, berbagai demonstrasi yang dilakukan warga untuk menolak proyek malah direspon represif oleh aparat.


Pembangunan Oligarki

Mengapa pemerintah seperti menutup mata terhadap perampasan lahan yang menyebabkan kesengsaraan pada rakyat? Alih-alih membela rakyat, mereka malah berdiri melindungi perusahaan.


Inilah yang disebut-sebut sebagai konsekuensi logis diterapkannya sistem politik oligarki demokrasi. Kontestasi yang sangat mahal dalam sistem politik demokrasi melahirkan politik transaksional antara penguasa dan pengusaha. Jadilah kebijakan disetir oligarki.


Adapun upaya pemerintah dalam menyelesaikan konflik perampasan lahan dengan pembentukan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) sungguh hanya tambal sulam. Sebab walaupun narasinya seolah ingin yang terbaik bagi rakyat, dengan memberi kompensasi, konsinyasi, advokasi, dll., tetapi tetap saja keuntungan oligarki yang utama dijaga.


Terlebih, kerja sama antarlembaga seperti ini sudah sering dibentuk, tetapi mandul dalam penyelesaiannya. Buktinya, konflik lahan malah kian subur. Apalagi bukan satu rahasia jika konflik sektoral selalu mewarnai perjalanan sistem pemerintahan dalam demokrasi.


Sepanjang 2023, telah terjadi perampasan ruang hidup rakyat yang telah membawa derita berkepanjangan. Perampasan ruang hidup ini paling sering terjadi di sektor pertambangan, perhutanan, pembangunan infrastruktur, pengembangan properti, lahan rakyat dan sekolah-sekolah yang digusur untuk pembangunan dan pengembangan kawasan perkotaan. 


Akibat perampasan ruang hidup ini, timbul konflik antara rakyat dan pemerintah-aparat, hingga keamanan rakyat terancam, ada yang dipenjara, bahkan ada yang terbunuh. Akibat konflik ini pula, banyak yang akhirnya terlempar dari tanahnya sendiri, kehilangan mata pencariannya, dan terpaksa menjadi tenaga kerja upah murah ataupun pekerja nonformal yang bermigrasi ke kota bahkan ke luar negeri. 


Bukan hanya pada 2023 saja, bahkan sejak 2015—2022, data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, telah terjadi 2.710 kejadian konflik agraria yang berdampak pada 5,8 juta hektare tanah dan korban terdampak mencapai 1,7 juta keluarga di seluruh wilayah Indonesia.


Konflik ini nyatanya “wajar” terjadi di dalam sistem politik sekuler demokrasi. Sedangkan sistem yang merupakan sistem buatan manusia ini digadang-gadang dapat menjadi sistem politik yang akan mengantarkan kepada kesejahteraan kehidupan manusia karena sistem ini dibuat oleh rakyat, dari rakyat, dan untuk rakyat.


Nyatanya pula, sistem ini justru membawa derita bagi manusia akibat konflik berkepanjangan yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat. Bahkan, seiring berjalannya waktu, tersebab sistem ini lahir dari akal manusia yang sangat lemah dan terbatas, sistem demokrasi ini mudah sekali dipermainkan dan mengalami pergeseran yang signifikan, yaitu menjadi sistem pemerintahan yang dikuasai oleh sekelompok elitis yang disebutnya sebagai “oligarki”.


Politik oligarki yang berkelindan dengan kapitalisme menjadikan oligarki sebagai pengendali kekuasaan. Sementara itu, negara hanya berfungsi sebagai fasilitator yang berpihak pada kepentingan oligarki. 


Politik oligarki juga melegalkan perampasan hak tanah dan lahan rakyat atas nama pembangunan. Kepentingan para investor diutamakan, sedangkan kewajiban memenuhi kebutuhan rakyatnya diabaikan. 


Atas nama pembangunan untuk pertumbuhan ekonomi, investasi swasta lokal maupun asing diutamakan, sedangkan nasib rakyat digadaikan. Nasib perempuan dan anak menjadi taruhan.


Perampasan ruang hidup yang dilegalkan politik oligarki ini kemudian memberikan dampak langsung yang sangat merugikan kehidupan rakyat. Perempuan dan anak sebagai kelompok rentan harus turut menanggung segala penderitaan. Mereka mengalami tekanan mental, ketakutan, hingga tidak memiliki harapan hidup karena lahan dan ruang hidup mereka dirampas. 


Bukan ini saja, akibat perampasan ruang hidup—yang berdalih pembangunan kota, perubahan tata ruang wilayah perkotaan berujung pada tidak terkendalinya banjir dan hilangnya ruang hidup berupa pemukiman, menyebabkan terganggunya kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat.


Tentu saja semua ini menambah beban keluarga yang sebelumnya sudah didera kemiskinan. Ini hanya sekelumit gambaran penderitaan perempuan dan anak akibat terampasnya ruang hidup mereka, yang boleh jadi penderitaan yang mereka alami jauh lebih banyak dari yang dipaparkan ini. Demikianlah, politik oligarki telah nyata membawa kesengsaraan bagi perempuan dan anak.


Perempuan Pembentuk Peradaban

Posisi perempuan sebagai pembentuk peradaban, tidak lepas dari peran yang telah Allah gariskan bagi mereka dalam ajaran Islam, yakni sebagai ibu dan istri, serta berkiprah membangun umat melalui kerja sama dengan laki-laki.


Sebagai ibu, ia adalah pendidik utama dan pertama bagi para buah hatinya. Ibu adalah peletak dasar jiwa kepemimpinan pada anak dan mempersiapkannya menjadi generasi pejuang. Ibulah yang pertama kali mengajarkan anak tentang Tuhannya, pada siapa ia harus takut, tunduk, dan patuh. 


Hasilnya, lahir para pemimpin masa depan yang takut kepada Allah Taala hingga ketika memimpin ia akan benar-benar taat pada-Nya, menjalankan seluruh aturan-Nya, serta amanah mengurus rakyat hanya dengan syariat-Nya. Pemimpin yang mampu membuat perubahan hakiki serta membangun peradaban Islam yang gemilang.


Sebagai istri, perempuan menjadi pendorong dan pemberi inspirasi bagi para suami. Mereka meringankan beban suami, melayani suami, dan memberikan ketenangan dan ketenteraman. Hal ini membuat para suami bisa berkonsentrasi penuh menjalankan berbagai kewajibannya dalam mencari nafkah, dakwah, dan berjuang di jalan Allah. Hal ini bukanlah suatu peran yang remeh. Betapa banyak para pemimpin yang terilhami oleh sang istri, dan betapa banyak pemimpin yang terjerumus kezaliman juga karena istri.


Ibu dan pengelola rumah merupakan peran utama kaum perempuan. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan dengan tegas tanpa keraguan dalam memosisikan perempuan. Beliau berkata di dalam kitab Nizhamul Ijtima’i fil Islam Bab “Muqaddimah Dustur”, “Hukum asal seorang perempuan dalam Islam adalah ummun wa babbatu al-bayt (seorang ibu bagi anak-anak dan pengelola rumah suaminya) karena ia adalah kehormatan yang wajib dijaga.”


Beliau juga berkata, “Atas dasar ini, maka harus menjadi jelas bahwa bagaimanapun aktivitas yang disandarkan pada perempuan, bagaimanapun taklif yang dibebankan padanya, maka aktivitas utamanya harus tetap berupa aspek keibuan dan mendidik serta membesarkan anak.”


Dari sini jelaslah bahwa aktivitas pokok perempuan adalah di rumah. Alhasil, rumah merupakan

kebutuhan mendasar bagi perempuan dalam mewujudkan perannya sebagai pembangun peradaban.


Konsep Rumah dalam Pengembangan Keluarga Muslim

Bagi keluarga muslim, rumah tidak hanya tempat tinggal dan beristirahat. Ketika menikah, seorang muslim seharusnya sudah memiliki konsep tentang rumah yang hendak dibangunnya. Bukan sekadar fisik, tetapi lebih pada pengembangan keluarganya.


Pada awalnya, rumah tangga adalah salah satu bentuk penunaian naluri melestarikan keturunan. Namun, konsep berikutnya yang harus dikembangkan dari keturunan adalah konsep yang khas, berbeda dari konsep lain. 


Banyak orang yang memandang keturunan sebagai aset pribadi untuk hari tua atau semata penyejuk pandangan. Islam berbeda. Islam memandang bahwa keturunan adalah aset umat dan aset akhirat. Dengan demikian, keluarga muslim akan berusaha membentuk anaknya agar berperan di tengah umat. Membentuk mereka menjadi generasi pemimpin dan pejuang umat. Mendidik mereka menjadi generasi saleh-salihah yang bisa diajak masuk surga bersama.


Walhasil, keluarga muslim akan menjadikan rumah sebagai sarana penggemblengan dan pembentukan kepribadian anak. Di rumah, anak diajarkan mengenal Tuhannya, dilatih untuk taat kepada-Nya, serta dikenalkan dengan makna perjuangan, keadilan, dan tanggung jawab. Anak juga diajarkan Al-Qur’an dan keterikatan terhadap hukum-hukum-Nya, serta dikenalkan pada nabi-Nya dan kewajiban untuk meneladannya.


Dengan konsep pengembangan keluarga yang sedemikian rupa, rumah bagi muslim memiliki fungsi yang sangat penting. Bahkan, rumah inilah yang menjadi benteng pertahanan terakhir bagi keluarga muslim saat hukum Islam tidak lagi diterapkan.


Sudah semestinya persoalan rumah mendapat perhatian besar dari negara. Selama kebutuhan akan rumah yang layak tidak dapat terpenuhi, selama itu pula sulit untuk melahirkan SDM yang berkualitas darinya.


Tanggung Jawab Negara dalam Pengadaan Rumah bagi Rakyat

Dalam sistem Islam, negara (Khilafah) berkewajiban memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya, termasuk perumahan. Ini sebagaimana Rasulullah saw. sampaikan, “Imam (khalifah) itu pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang ia urus.” (HR Bukhari dan Ahmad).


Kehidupan perempuan di dalam rumahnya merupakan kehidupan khusus, yaitu kehidupan yang membutuhkan rida atau izin dari pemiliknya saat orang asing ingin memasukinya. Islam mengatur kehidupan khusus ini karena Islam hendak memastikan ketenangan dan kenyamanan penghuni rumah. Tanpa ketenangan dan kenyamanan di dalam rumahnya, sulit bagi perempuan untuk menjalankan perannya dengan baik.


Berkaitan dengan gambaran kehidupan khusus perempuan (muslimah), Syekh Taqiyuddin an-Nabhani telah menjelaskannya di dalam kitab Nizhamul Ijtima’i fil Islam Bab “Kehidupan Khusus”. Dijelaskan bahwa kehidupan khusus merupakan keadaan manusia hidup di dalam rumahnya bersama dengan anggota keluarga lainnya.


Di antara hal yang menonjol dalam pengaturan kehidupan khusus adalah dijadikannya pengaturan kehidupan tersebut sepenuhnya ada di tangan pemiliknya. Siapa pun dilarang memasukinya, kecuali telah mendapatkan izin dari pemilik rumah tersebut.


ÙŠَا Ø£َÙŠُّÙ‡َا الَّØ°ِينَ آمَÙ†ُوا Ù„َا تَدْØ®ُÙ„ُوا بُÙŠُوتًا غَÙŠْرَ بُÙŠُوتِÙƒُÙ…ْ Ø­َتَّÙ‰ٰ تَسْتَØ£ْÙ†ِسُوا ÙˆَتُسَÙ„ِّÙ…ُوا عَÙ„َÙ‰ٰ Ø£َÙ‡ْÙ„ِÙ‡َا ۚ Ø°َٰÙ„ِÙƒُÙ…ْ Ø®َÙŠْرٌ Ù„َÙƒُÙ…ْ Ù„َعَÙ„َّÙƒُÙ…ْ تَØ°َÙƒَّرُونَ


“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (QS An-Nuur [24]: 27).


Para ulama terdahulu telah menuturkan kebijakan Khilafah tentang pembangunan rumah tempat tinggal dengan memperhatikan prinsip-prinsip syariat. Sebut saja, kitab Al-Qismah wa Ushul al-Aradhin, karya Abu Bakar al-Farfattha’i, ulama abad ke-5 H. Juga kitab Al-I’lan bi Ahkam al-Bunyan karya Ibnu Rumi, ulama abad ke-8 H. 


Kitab-kitab ini menjelaskan aturan-aturan Islam dalam pembangunan rumah seperti pemilihan lokasi, ketinggian rumah, jumlah kamar, teras, pagar hingga posisi ventilasi. Semua diatur dalam menjaga kehormatan dan ketenangan para penghuninya.[1]


Urgensi Khilafah

Oleh karena itu, pembangunan ala politik oligarki dan sistem ekonomi kapitalisme hanya akan menyebabkan kesengsaraan pada umat. Sudah selayaknya dibuang dan digantikan dengan sistem Khilafah Islamiah yang telah terbukti mampu menyejahterakan rakyatnya dan melindungi ruang hidup rakyatnya dengan sebaik-baik pengurusan dan perlindungan.


Adapun empat pilar penegak Khilafah, yaitu pertama, sistem Khilafah menjadikan kedaulatan di tangan syariat. Inilah jaminan untuk negara tidak menetapkan regulasi yang perpihak pada pemilik modal.


“Apa pun yang kamu perselisihkan, keputusannya (diserahkan) kepada Allah. (Yang memiliki sifat-sifat demikian) itulah Allah Tuhanku. Hanya kepada-Nya aku bertawakal dan hanya kepada-Nya aku kembali.” (QS Asy-Syura: 10).


Kedua, kekuasaan berada di tangan umat, ini bermaksud bahwa umatlah yang berhak memilih pemimpin mereka. Hal tersebut dapat dipahami dari hadis, “Kami telah membaiat Rasulullah saw. untuk setia mendengarkan dan menaati perintahnya, baik dalam keadaan yang kami senangi ataupun tidak kami senangi.” (Sahih Bukhari no. 7199).


Ketiga, wajib mengangkat satu Khalifah saja agar menjaga kesinambungan kepemimpinan. “Apabila dibaiat dua orang khalifah, bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR Imam Muslim, no. 1853)


Keempat, fungsi legislasi di tangan Khalifah. Khalifah memiliki hak khusus dalam melegalisasi hukum syarak menjadi undang-undang yang berlaku umum dan bersifat mengikat. Hal ini didasarkan pada ijmak sahabat yang melahirkan kaidah syariat yang termasyhur, “Lil Imam anyuhditsa minal aqdhiyati bi qadri maa yahdutsu min musykilat.” (Imam (khalifah) berhak menetapkan keputusan baru sejalan dengan persoalan-persoalan baru yang terjadi).


Khatimah

Sesungguhnya, Islam telah terbukti dapat menyejahterakan umat sekaligus menjamin ruang hidup yang aman, bersih, nyaman. Oleh karena itu, memperjuangkannya untuk bisa tegak adalah perkara yang sangat urgen, demi terciptanya kehidupan umat yang sejahtera dan terwujudnya ruang hidup yang layak khususnya bagi perempuan dan anak.

Post a Comment

Previous Post Next Post