KEK Solusi Kesejahteraan, Benarkah?


Oleh: Nashila Mumtazah


Indonesia hingga akhir 2023 tercatat memiliki 20 kawasan ekonomi khusus (KEK) yang fokus pada manufaktur dan pariwisata. Dari 20 KEK ini, 10 KEK fokus di pariwisata dan 10 sisanya di manufaktur. Adapun, KEK manufaktur a.l. KEK Kendal, KEK Gresik, KEK Nongsa dan KEK Galang Batang. Sementara itu, KEK pariwisata mencakup KEK Tanjung Lesung, KEK Lido, KEK Sanur, KEK Kura-kura Bali dan KEK Tanjung Keyalang.


Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Usaha BUMN, Riset dan Inovasi Elen Setiadi mengungkapkan investasi di KEK manufaktur tercatat lebih tinggi, yakni Rp 133 triliun sepanjang 2023. Kemudian, KEK pariwisata mencapai Rp 9 triliun.


Namun, dari sisi serapan tenaga kerja, KEK pariwisata ini ternyata menyerap lebih banyak tenaga kerja, yakni 36.000 pekerja pada 2023 dan KEK sektor manufaktur, penyerapan tenaga kerjanya mencapai 33.000 pekerja tahun ini.(CNBC Indonesia.co, 13/12/2023)


KEK adalah salah satu program nasional yang dianggap meningkatkan investasi dan lapangan  kerja untuk rakyat.  Namun pada faktanya pekerjaan yang didapatkan rakyat bukanlah pekerjaan yang layak, sementara pekerjaan yang layak didapatkan oleh pihak-pihak asing dengan dalih lebih berpengalaman dan berkompeten. 


Di sisi lain, hadirnya KEK justru ada yang  menghilangkan mata pencaharian mayarakat lokal. Banyak tanahnya tergusur dan ruang hidupnya terganggu akibat pembangunan proyek atas nama negara. Imbasnya, pola kehidupan masyarakat di sekitar kawasan jelas berubah seiring bergantinya wilayah mereka menjadi proyek KEK. Misalnya, para nelayan yang tidak lagi bisa leluasa melaut karena laut sudah menjadi destinasi wisata KEK. Sama halnya para petani tidak bisa bertani karena tanahnya di rampas demi destinasi wisata KEK. 

Lantas pertanyaannya, apakah benar KEK ini memberikan peluang sejahtera untuk rakyat dari segi lapangan pekerjaan? Tentu tidak, nyatanya rakyat masih terjerat dengan tingginya angka pengangguran. 


Di tambah lagi KEK dijadikan alat untuk menarik investor asing, padahal keberadaan investor asing memberikan bahaya tersendiri. Mulai dari arus liberalisasi ekonomi, eksploitasi lingkungan demi raup keuntungan sampai pada kebijakan yang semena-mena dan tidak pro rakyat ditetapkan. 


Sehingga terlihat jelas bahwa KEK ini hanya akan menyejahterakan segilintir orang dalam hal ini para pemilik modal, sementara rakyat masih terjerat kemiskinan dan tetap hidup menderita.


Beginilah penampakan dari wajah asli demokrasi kapitalistik, pembanguna-pembangunan yang senantiasa dibangun untuk mengisi kantong-kantong kapitalis. Sumber Daya Alam (SDA) hanya dinikmati para oligarki sedangkan rakyat menjadi babu di negeri sendiri. 


Ide kebebasan yang selalu dipelihara termasuk kebebasan berkepemilikan, membuat para oligarki semakin leluasa menjarah negeri dengan sampul KEK. Apatah lagi dilegitimasi oleh Undang-Undang Cipta Kerja sehingga melahirkan banyak kerusakan-kerusakan tatanan kehidupan. 


Pertanyaannya, bagaimana mengatasi persoalan sistemik ini? Tentu persoalan ini bisa diatasi hanya dengan Islam, bukan yang lain. Islam merupakan agama yang memiliki tatanan aturan yang universal dan detail, terbukti segala aturannya memberikan kemaslahatan di seluruh penjuru sendi dan negeri. Ini tercatat selama 13 abad lamanya ketika Islam menguasai 2/3 dunia. 


Islam tidak menafikan pembangunan, justru pembangunan terbaik dengan arsitek terbaik itu datangnya dari Islam. Lantas bagaimana Islam memandang pembangunan? 


Islam memandang pembangunan sebagai kebutuhan rakyat, otomatis pembangunan hanya untuk kepentingan rakyat bukan kepentingan yang lain. 


Dalam Islam, pembangunan haruslah memberikan dampak positif yang besar bagi kehidupan masyarakat. Ini karena salah satu kewajiban negara adalah menyediakan infrastruktur publik yang dapat diakses masyarakat luas.


Pada masa kekhalifahan Islam, pembangunan infrastruktur berjalan pesat. Jalan-jalan di Kota Baghdad, Irak (pada abad ke-8) saat itu sudah terlapisi aspal. Pembangunan jalan beraspal itu terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Al-Mansur pada 762 M, sedangkan Eropa baru membangun jalan pada abad ke-18.


Khalifah Umar bin Khaththab juga pernah mendanai pembangunan infrastruktur melalui anggaran khusus di Baitul Mal. Islam tidak akan mengalokasikan pembiayaan infrastruktur dengan jalan utang atau investasi asing. Negara akan memodali secara penuh pembiayaan pembangunan infrastruktur. 


Ini menunjukkan bahwa pembangunan dalam Islam tidak akan merepotkan rakyat dan tidak akan menjadikan pariwisata sebagai sumber devisa. Sebab devisanya negara berasal dari kas Baitul Mal yang terdiri dari harta fai, ganimah, anfal, usyur, khumus, rikaz, zakat, jizyah, kharaj, serta pengelolaan barang tambang. 


Destinasi wisata dalam Islam bertujuan untuk syiar dakwah dalam rangka mengenalkan Islam dan meningkatkan keimanan atas keagungan Allah Taala, sang Pencipta alam. 


Inilah kehebatan Islam tatkala diterapkan dalam kehidupan. Bukan hanya berdampak positif bagi manusia, tetapi juga alam dan lingkungan sekitarnya.


Wallahualam.

Post a Comment

Previous Post Next Post