Oleh Atik Kurniawati
Aktivis Muslimah
Dalam sejarahnya, Kawasan Ekonomi Khusus merupakan pengembangan dari berbagai jenis kawasan ekonomi yang ada pada periode sebelumnya. Pada 1970, mulai dikenal adanya pengembangan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Kemudian selanjutnya, pada 1972 muncul pengembangan Kawasan Berikat. Berlanjut pada 1989 muncul Kawasan Industri, lalu pada 1996 dikembangkan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), dan terakhir sejak 2009 dimulai pengembangan KEK.
KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geo-ekonomi dan geostrategi serta berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki ekonomi tinggi dan daya saing internasional.
Kawasan Ekonomi Khusus merupakan salah satu dari berbagai transformasi kebijakan pemerintah setelah diterbitkannya Undang-Undang No 6 Tahun 2023 tentang penetapan Perpu Cipta Kerja menjadi Undang-Undang untuk menjadi sumber sumber pertumbuhan ekonomi baru di daerah.
Dalam pelaksanaannya, pemerintah memberikan kebebasan untuk memilih lokasi dan sektor yang akan dikembangkan berikut sederet fasilitas dan kemudahan kepada para pelaku usaha yang membuka ladang bisnisnya di KEK baik itu berupa fasilitas fiskal seperti tax holiday/tax allowance, PPN tidak dipungut, kepabeanan dan cukai, penangguhan bea masuk dan lainnya. Serta fasilitas nonfiskal seperti kemudahan perijinan, peraturan khusus di bidang ketenagakerjaan, keimigrasian, pertanahan dan tata ruang dan sebagainya.
KEK, Benarkah Jalan Menuju Sejahtera?
Hingga tahun 2023 ada 20 KEK yang tersebar di Indonesia. 10 diantaranya bergerak di bidang industri dan sisanya bergerak di bidang pariwisata. Dalam implementasinya KEK telah menimbulkan beberapa dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat, diantaranya ;
1. Menguntungkan Asing dan Pemodal Besar
Tujuan dari pembangunan KEK adalah memang untuk menarik para pemodal besar baik dari dalam maupun luar negeri dengan memberikan berbagai fasilitas infrastruktur yang lengkap dan modern serta insentif fiskal yang menarik sehingga pasti memberikan keuntungan yang memikat.
2. Lokasi Eksploitasi Sumber Daya Alam
Dengan berbagai fasilitas yang diberikan,salah satunya seperti letak yang strategis pada jalur perdagangan atau pelayaran internasional ,maka akan berpotensi bukan hanya terkeruknya sumber daya alam Indonesia namun juga tidak terkontrolnya aktivitas penanaman modal oleh investor.
3. Menghancurkan Industri Nasional
Dengan fasilitas pembebasan pajak dan bea masuk justru dimanfaatkan untuk oleh para eksportir dan importir , seperti yang terjadi di Batam, yang dijadikan tempat transit barang yang kemudian di re-ekspor ke luar negeri justru merembes terbawa ke pulau Jawa, hingga berkontribusi pada hancurnya industri garmen di Jawa.
4. Membebani Anggaran Negara dan Utang Luar Negeri
Pembangunan KEK membutuhkan anggaran yang besar bukan hanya dari APBD namun juga dari APBN .Di tengah kondisi defisit anggaran maka pembangunan KEK dijadikan sebagai alasan untuk mengajukan pinjaman ke luar negeri, lagi.
5. Tidak Signifikan dalam Menyerap Pengangguran dan Mengancam Hak-Hak Buruh
Argumen yang disampaikan pemerintah pada pembangunan KEK adalah menyerap pengangguran sehingga mengurangi angka kemiskinan. Namun faktanya upah yang diterima buruh tidak sebanding dengan kebutuhan hidup layak. Begitupun berbagai serikat pekerja yang ada justru dimaksudkan untuk meredam gejolak buruh dan memudahkan perusahaan dalam mengawasi aktivitas buruh.
6. Fasilitas Fiskal yang Terlalu Banyak
Biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk penyediaan fasilitas tidak sebanding dengan penerimaan yang didapat dari pajak.
7. Mengurangi Pendapatan Daerah
Pembebasan pajak dan retribusi daerah berpotensi mengurangi pendapatan daerah hingga akan mempersulit daerah dalam membiayai dan memelihara infrastruktur KEK.
8. Sumber Konflik Agraria
Kebutuhan lahan yang sangat luas untuk pembangunan KEK menjadi sumber konflik agraria.
9. Mengancam Lingkungan
Selain merusak ruang hidup manusia, KEK berpotensi merusak ekosistem pada saat pembangunannya maupun setelah beroperasi akibat limbah yang dihasilkan.
Melihat beberapa hal di atas, sepertinya sulit dikatakan bahwa KEK, yang lahir dari sistem sekularisme liberalis, yang menjadikan penguasanya hanya sebagai regulator dan fasilitator pemilik modal, akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat.
Sistem Islam Sempurna Menyejahterakan
Pembangunan lahan yang diserahkan kepada penguasa pro kapitalis, pasti akan berbuah eksploitasi. Berbeda dalam sistem Islam, penguasa adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyatnya.
Sebagaimana Rasulullah bersabda, "Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)
Dalam hadis tersebut jelas bahwa para khalifah, sebagai para pemimpin yang diserahi wewenang untuk mengurus kemaslahatan rakyat, akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah Swt. kelak pada hari kiamat, apakah mereka telah mengurusnya dengan baik atau tidak.
Maka pembangunan ekonomi dalam Islam orientasinya bukan pertumbuhan, tapi pemerataan kesejahteraan. Tidak menimbulkan dharar atau bencana, apalagi mudah berhutang yang berpotensi membuka jalan penjajahan. Semoga sistem Islam segera diterapkan dalam bingkai Daulah Khilafah.
Wallaahualam bissawab
Post a Comment