Kehilangan Harta Akibat Banjir


Oleh Nazwa Hasna Humaira

Aktivis Dakwah


Beberapa waktu lalu, wilayah Kabupaten Bandung mengalami bencana banjir besar, sekitar dua ribu unit rumah pun terkena dampaknya. Hal ini terjadi di kecamatan Dayeuhkolot, Baleendah, Bojongsoang, dan beberapa wilayah lainnya.

 

Walaupun saat ini banjir sudah surut, akan tetapi masyarakat perlu waspada akan terjadinya hujan lebat secara tiba-tiba, sehingga musibah serupa tidak terulang kembali. Menyikapi hal ini, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyalurkan sebanyak 350 juta untuk mendukung upaya penanganannya. (rri.co.id, 12/01/24 dan rejabar, 15/01/24)


Seolah menjadi tradisi ketika musim hujan, beberapa kondisi wilayah Indonesia mengalami musibah banjir, bahkan di kawasan-kawasan tertentu telah menjadi langganan. Tentu saja, dampak yang ditimbulkan sangat besar bagi masyarakat karena harus kehilangan harta bendanya.

 

Jika ditelusuri, berulangnya musibah tersebut disebabkan oleh adanya pembangunan wilayah yang tidak direncanakan secara komprehensif dan mendalam, hingga akhirnya berpengaruh besar terhadap lingkungan masyarakat. Seperti di daerah Bandung bagian utara yang semestinya menjadi daerah serapan, kini penuh dengan pemukiman. 


Sayangnya, penanganan saat terjadinya bencana pun dinilai lamban. Kebijakan akan tanggap darurat masih belum mampu memberi solusi. Alih-alih membantu untuk mencegah, yang ada justru membiarkan masyarakat merasakan kerugian dan kerusakan yang besar.


Seperti kasus di Dayeuhkolot, dan daerah lainnya, di mana tindakan tanggap darurat baru bisa terlaksana setelah dua hari bencana. Seharusnya, saat memasuki musim penghujan, berbagai persiapan telah dilakukan di wilayah yang dikenal rawan banjir. Sayangnya, hal itu urung dilakukan.


Setiap negara pasti akan melakukan pembangunan, dan pelaksanaannya tentu memerlukan perencanaan yang matang agar bermanfaat bagi masyarakat bukan madarat. Jangan sampai masyarakat dirugikan.


Akan tetapi, dalam sebuah negara yang menerapkan aturan kapitalis seperti saat ini, pembangunan yang dilakukan lebih mengedepankan kepentingan segolongan orang dan abai terhadap dampak yang dialami masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Yang penting pundi-pundi rupiah yang dihasilkan bisa dinikmati oleh para pemilik modal dan ada masukan bagi negara. 


Demikianlah kapitalis, segala sesuatu didasarkan pada pertimbangan untung dan rugi, serta ditujukan bagi mereka yang telah berinvestasi menanamkan modalnya di negara ini. Tidak heran jika berbagai kebijakan dibuat sedemikian rupa agar tidak merugikan pihak investor. Tidak dipertimbangkan apakah rakyat terzalimi, yang terpenting hanyalah keuntungan materi. Merasa sudah melakukan upaya dengan menyalurkan bantuan bagi penanganan dan korban bencana. Solusi tidak diarahkan pada akar masalah. Maka wajar banjir terus berulang.


Berbeda dengan Islam yang menempatkan kepentingan umat di atas segalanya. Seluruh permasalahan akan disolusikan menurut sudut pandang syariat, termasuk penanganan masalah banjir. Sistem ini memandang berbagai bencana yang terjadi di tengah masyarakat  disebabkan oleh ulah tangan manusia  Mereka  mengubah tatanan alam menjadi pembangunan industri tanpa memperhatikan dampak yang ditimbulkannya.  Allah Swt. Berfirman:


“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)...” (Q.S Ar-Rum:41)


Keserakahan manusia tersebut membuatnya abai dalam menjaga kelestarian alam sekitar. Padahal dalam Islam, dibukanya sebuah lahan baik pertanian, perkebunan, ataupun pemukiman harus disertai dengan aturan dalam penataannya. Misalnya, wilayah resapan air tidak boleh digunakan untuk pemukiman dan ladang.  Pengaturan ini seharusnya dilakukan negara secara sungguh-sungguh. Negara tidak diperbolehkan  memberikan perizinan pembukaan lahan besar-besaran  yang ditujukan untuk kepentingan pemilik modal. Seorang penguasa akan memprioritaskan kelestarian lingkungan agar tetap terjaga. Sehingga, meminimalisir terjadinya  banjir atau bencana lainnya.


Di dalam Islam juga terdapat aturan mengenai  kepemilikan  umum, seperti halnya hutan, laut, dan lainnya. Di mana hal tersebut tidak bisa dikelola oleh individu atau pun oleh pihak swasta. SehIngga, jika seseorang menginginkan membuka lahan sebesar-besarnya untuk kepentingan pribadi mereka, tentu saja tak akan diperbolehkan.


Seorang pemimpin, akan  menjalankan tugasnya atas dasar iman kepada Allah Swt. Beratnya amanah yang ia tanggung akan membuatnya bersungguh-sungguh dalam melaksanakannya. Sebab, setiap langkahnya akan menjadi saksi di akhirat nanti.


Demikianlah, kehidupan umat akan tertata dan meraih ketenangan hanya dalam naungan Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Dengan begitu, saatnya kini umat menyebarkan dakwah hingga ke penjuru negara, sehingga suatu saat nanti sistem Islam akan tegak kembali.


Wallahu’alam bi ash-Shawwab

Post a Comment

Previous Post Next Post