Kecelakaan Kerja Marak, Bukti Sistem Negara Rusak

 



Oleh Sumiyah Umi Hanifah

Pendidik Generasi



Keselamatan dan keamanan merupakan hal yang paling penting dalam kehidupan, termasuk dalam urusan pekerjaan. Namun apa jadinya jika faktor penting tersebut diabaikan oleh manusia? jawabannya, tentu akan memunculkan kebahayaan. Faktor "kelalaian" menjadi salah satu penyebab terjadinya kasus kecelakaan kerja, di samping ada pula yang terjadi karena kesengajaan.


Meledaknya smelter (tungku pengolahan nikel) di sebuah perusahaan di kawasan Indonesia Morowali lndustrial Park (IMIP) menambah panjang daftar jumlah kecelakaan kerja di Indonesia. Menurut Presiden Partai Buruh, Sa'id Iqbal, ledakan yang terjadi pada hari Ahad, tgl 24 Desember 2023 tersebut bermula ketika karyawan Pero Silicone PT ITTS tengah melakukan perbaikan tungku. Namun saat mereka tengah memasang plat pada tungku pengolahan tersebut, tiba-tiba tungku meledak dan menyambar tabung oksigen di sekitarnya. Kebakaran pun tak dapat dihindari. Dalam insiden tersebut tercatat ada 12 orang meninggal dunia, sedangkan yang lainnya dalam kondisi kritis, luka berat dan ringan. (cnnindonesia, Ahad, 24/12/2023).


Presiden Partai Buruh, Said mengungkapkan bahwa kebakaran di PT ITSS di Morowali Sulawesi Tengah, merupakan dampak dari diabaikannya Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) terhadap pekerja lokal. Selain itu juga merupakan dampak dari investasi Cina yang menyebabkan upah karyawan lokal menjadi murah. Tambahnya, kasus yang sering terjadi ini bukan hanya karena kelalaian tapi juga karena faktor pembiaran. Beliau berharap pemerintah segera membentuk tim pencari fakta dari kemenaker RI dan berbagai instansi terkait, untuk turun ke lapangan melakukan penyelidikan.


Kecelakaan di tempat kerja yang terus terulang di negeri ini, mengindikasikan adanya kelalaian perusahaan dalam menjamin keselamatan pekerja. Hal ini memperkuat bahwasanya banyak perusahaan yang hanya mengutamakan keuntungan semata, tetapi abai akan tanggung jawabnya terhadap keselamatan pekerjanya. 


Salah satu sebab mengapa kasus kecelakaan kerja di negeri ini tidak kunjung rampung adalah karena sanksi negara terhadap perusahaan tidak tegas. Beberapa kasus yang menyeruak ke permukaan, kecelakaan kerja disinyalir karena adanya unsur kesengajaan atau pembiaran. Hal ini disampaikan oleh salah seorang Anggota Komisi VII DPR, Mulyanto yang menyebutkan bahwa smelter Cina sering meledak, sehingga beliau meminta kepada pemerintah untuk mengaudit kembali dan meminta pemerintah menghentikan sementara operasional smelter asal Cina di Indonesia. Sebagaimana telah ramai diberitakan di media, bahwa sebelumnya kasus serupa terjadi di PT GNI. Beliau mengatakan, "Jangan sampai karena ada pertimbangan politik pemerintah mengabaikan aspek keamanan dan keselamatan kerja di perusahaan."


Seharusnya pemerintah berani bertindak tegas terhadap perusahaan-perusahaan asing dan lokal yang mengabaikan K3. Dalam Islam, perbuatan yang dinilai dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain sangat dilarang.


Dari Sa'id Sa'ad bin Malik bin Sinan Al-Khudri, Rasulullah saw. bersabda:


"Tidak boleh melakukan sesuatu yang berbahaya dan menimbulkan bahaya bagi orang lain." (HR. Ibnu Majah dan Ad-Daruquthni).


Maraknya kasus kecelakaan kerja di negeri ini disebabkan karena sistem yang diterapkan oleh negara adalah sistem demokrasi-kapitalisme. Sebuah sistem yang ditegakkan berlandaskan asas manfaat. Adapun ciri negara kapitalis adalah negara dikuasai oleh konglomerat yang dengan hartanya mampu 'membeli' dan merubah kebijakan penguasa. 


Sistem demokrasi menempatkan kekuasaan di tangan rakyat, sehingga mudah terjadi praktik hubungan simbiosis 'mutualisme' antara pengusaha dan penguasa. Sudah menjadi rahasia umum bahwa calon penguasa yang akan mencalonkan diri sebagai pejabat negara, membutuhkan modal besar untuk meraup suara. Modal besar ini diperoleh dari pengusaha atau konglomerat berkantong tebal. Setelah berhasil dan sukses menjadi pejabat, maka para cukong mendapatkan konsensi berupa proyek dari penguasa. Tak heran pengusaha mampu menguasai bisnis, yakni melalui koneksi politik. Inilah yang disebut simbiosis mutualisme. Penguasa dalam kapitalis tidak ada yang merdeka alias berdiri di kaki sendiri. Mereka 'dinaikkan' oleh para cukong dan bisa juga dijatuhkan oleh cukong tersebut. Penguasa dalam sistem kapitalis seperti boneka dipermainkan oleh para cukong, sehingga kebijakan yang dikeluarkan merupakan pesanan sang oligarki.


Dalam demokrasi-kapitalis negara hanya berfungsi sebagai regulator, bukan sebagai pengurus urusan rakyat. Mereka akan memanfaatkan suara rakyat, demi tetap duduk di atas tahta kekuasaan. Suara rakyat sangat dibutuhkan ketika pesta rakyat atau pemilihan umum tiba. Akan tetapi suara rakyat akan dicampakkan ketika hajat mereka telah terkabul. Dalam sistem yang sekuler ini, urusan rakyat tidak menjadi prioritas. Demikian pula yang terkait dengan hak-hak mereka sebagai pekerja. Yang ada justru penguasa membela pengusaha. Penguasa seringkali tidak memiliki wibawa di mata masyarakat, sebab faktanya penguasa lebih pro kepada pengusaha dari pada kepada rakyatnya.


Inilah wujud asli sistem demokrasi-kapitalis. Slogan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat adalah dusta belaka. Berbeda halnya dengan sistem pemerintahan Islam. Dalam Islam, pemimpin negara (khalifah) betul-betul berkuasa penuh, tidak dipengaruhi oleh pihak manapun. Kekuasaannya tidak terbagi-bagi, dan tidak mengenal istilah konsep Trias Politika Montesquieu, yakni kekuasaan yang terbagi tiga; kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Namun semua kebijakan berada di tangan khalifah, yang mana disandarkan pada penerapan hukum Islam.


Khalifah memimpin berdasarkan asas Islam, tolok ukur dalam kehidupan adalah halal dan haram. Sang khalifah akan memperlakukan semua warna negara secara adil. Baik itu rakyat kecil maupun petinggi negara, semua diperlakukan sama. Siapapun yang terbukti bersalah (melanggar hukum), maka ia akan mendapatkan sanksi atau hukuman. Dengan demikian, akan terwujud keadilan dan keamanan di tengah-tengah masyarakat. Tidak ada lagi perusahaan yang berlaku sewenang-wenang terhadap para pekerjanya. Karena dalam Islam, hubungan pengusaha dan pekerja adalah termasuk dalam urusan 'muamalah' yang didasari oleh asas Islam. Saling memberikan keuntungan, tidak boleh ada satu pihak yang dizalimi atau menzalimi. Dengan penerapan syari'at Islam secara menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan, akan terwujud negara yang 'baldatun thoyyibatun warabbun ghafur'. 


Wallahualam bissawab

Post a Comment

Previous Post Next Post