Oleh : Nina Kania
Kasat Reskrim polres Metro jakarta selatan AKBP bintoro mengatakan, panca darmansyah (41) mengaku membunuh keempat anak kandungnya di dalam rumah kontrakan di wilayah jagakarsa, Jakarta selatan, ahad (3-12-2023). Dari barang bukti yang di temukan, yakni ponsel dan laptop, diketahui bahwa tersangka membunuh mereka secara bergantian sambil di rekam.
Atas kasus ini, pakar psikologi forensik Reza indragiri Amriel menilainya sebagai pembunuhan berencana terhadap anak. Ia mengatakan, jika pelaku tidak mengalami masalah gangguan mental atau waras, pelaku sebaiknya di jatuhi hukuman mati. Terlebih dalam kejadian ini sudah tidak cukup lagi di sebut sebagai kasus KDRT.
Beruntunnya kasus KDRT di penghujung tahun ini tentu tersebab banyak faktor. Bagaimanapun dalam hidup sekularisme telah menjadi lahan subur bagi masyarakat untuk berbuat tanpa terikat aturan Allah taala. Ini tidak perlu di bantah lagi.
Di samping itu, di rumah tidak lagi tercipta suasana hidup yang penuh persahabatan dan kasih sayang di antara sesama anggota keluarga. Di satu sisi, perasaan mereka tertekan, tetapi di sisi lain tereksploitasi tanpa memperoleh pengungkapan dan penyaluran yang shahih. Pada akhirnya munculah perbuatan perbuatan di luar nalar, bahkan menyalahi fitrah penciptaan.
Bayangkan saja, bagaimana mungkin seorang suami tega melukai istri bahkan membunuh semua anaknya? Sudah matikah nuraninya?
Ironisnya, efek samping hal ini tidak berhenti begitu saja. Rapuhnya sistem keamanan jelas membuat warga terancam. Apalagi untuk perempuan dan anak sebagai kalangan lemah yang semestinya memperoleh perlindungan ekstra dalam hal keamanan dan hak hidup. Coba kita cerna, bagaimana jika ternyata pelaku tindak kejahatan itu orang terdekat kita sendiri? Cepat atau lambat kita juga akan menjadi korban bukan?
Memang benar, tindak kriminal kepada sesama anggota keluarga bisa saja berawal dari buruknya pola interaksi di antara mereka. Mereka mungkin tidak dekat satu sama lain, meski bisa juga justru karena interaksinya sangat/terlalu dekat.
Namun satu hal yang pasti, interaksi tersebut tidak bisa berpijak sebatas pada landasan perasaan maupun interaksi kemanusiaan. Interaksi tersebut haruslah berlandaskan kesadaran akan hubungan dengan Sang Khalik, Allah Taala.
Allah Taala berfirman, "perumpamaan orang orang yang mengambil pelindung pelindung selain Allah adalah seperti laba laba yang membuat rumah. Dan sesenguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba laba kalau mereka mengetahui." (Qs Al-Ankabut(29):41)
Demikianlah semestinya prinsip interaksi di tengah anggota keluarga, yakni dalam rangka mewujudkan interaksi yang sahih berdasarkan aturan islam. Tidak semestinya hubungan antar anggota keluarga dibangun atas landasan manfaat ataupun materi. Interaksi seperti ini tidak akan bertahan lama, tetapi cepat atau lambat malah bisa merenggangkan hubungan keluarga.
Langkah berikutnya yang paling efektif tentu dengan tegaknya negara yang menerapkan aturan Islam kaffah, sebagaimana Khilafah Islamiah. Disini, khilafah berwenang menjamin sistem keamanan warga, juga melindungi hak hidup mereka, sehingga meminimalkan terjadinya tindak kriminalitas di tengah masyarakat.
Khilafah berperan penting untuk menjaga suasana hidup masyarakat yang ideal dan kondusif berdasarkan syariat Islam sehingga membuahkan ketakwaan dan ketaatan. Wallahu'alam
Post a Comment