Pernah terjadi di banyak negara.
Kasus gagal ginjal akut pada anak mengalami lonjakan, Kementerian Kesehatan melaporkan setidaknya 255 kasusnya tersebar di 26 provinsi Indonesia, dengan jumlah kematian 143 anak.
Kasus ini diduga berkaitan dengan tingginya cemaran dari pelarut obat sirup yang menyebabkan pembentukan kristal tajam di dalam ginjal.
Zat cemaran dari pelarut itu adalah etilon glikol (EG), dietilen glikol (DEG) dan etilen glikol butil ether (EGBE). Ketiga zat ini sudah pasti muncul, akan tetapi kadarnya tak boleh melebihi ketentuan.
BPOM menyatakan kadar tiga senyawa ini tak boleh dikonsumsi melebihi 0,5mg per kilogram berat badan per hari karena akan menjadi racun.
Orang yang mengkonsumsi melebihi ketentuan ini berisiko mengalami gangguan ginjal, karena ketiga senyawa tersebut memicu asam oksalat dalam tubuh dan selanjutnya membentuk kristal tajam di dalam ginjal.
Tapi kenyataannya, obat-obat sirup dengan cemaran melampaui ambang batas ini beredar di apotik, puskesmas, rumah sakit, toko-toko, meski telah memiliki stempel BPOM—yang menjelaskan obat ini aman dikonsumsi. Akibatnya ratusan anak meninggal akibat gagal ginjal setelah mengonsumsinya.
Associate Professor di Departemen Kimia, Universiti Putra Malaysia, Profesor Bimo Ario Tejo menengarai kematian gagal ginjal pada anak belakangan ini disebabkan “penggunaan bahan baku sub-standar”.
Menurutnya, pandemi Covid-19 membuat bahan baku pelarut obat ini mengalami kelangkaan di pasaran, sementara permintaannya tinggi. Demi menekan biaya produksi, kata dia, industri farmasi menggunakan bahan baku di bawah standar.
“Hal ini membuka kemungkinan beredarnya bahan baku obat yang tidak sesuai standar untuk memenuhi permintaan pabrik obat.
Jadi betul, pandemi menjadi sebab tragedi ini,” tambahnya.
Bimo melanjutkan bahan baku pelarut obat sirup di bawah standar yang berasal dari China atau India bisa masuk ke suatu negara disebabkan pengawasan yang longgar. “Sebagai contoh kasus keracunan obat di Gambia baru-baru ini, sumbernya ada di pabrik obat di India,” katanya.
Kepala Pusat Riset Vaksin dan Obat BRIN, Masteria Yunovilsa Putra ikut menimpali.
Menurutnya ada kemungkinan “produsen nakal” mencampur bahan pelarut obat sirup dengan dietilen glikol agar bisa untung banyak.
*BNC News Indonesia*
Kendati demikian harusnya BPOM membuat aturan yg menyeluruh dan menerapkan standar mutu yg tinggi untuk menjaga keamanan obat dan makanan yg akan menjamin keselamatan rakyat. Hal ini juga menunjukkan lalainya negara dalam menjamin keamanan obat dan makanan termasuk upaya negara dalam mencerdaskan rakyat akan pentingnya keamanan juga kehalalan obat dan makanan.
Buah dari sistem sekulerisme menghasilkan kehidupan yg sekuler, penuh kepentingan, tidak amanah pada profesinya, orang tidak perduli lagi apa kah itu halal atau haram, apakah itu membahayakan nyawa orang lain atau tidak, yang ia pikirkan yang penting untung tidak perduli lagi itu berbahaya, merugikan bahkan menghilang kan nyawa orang lain.
Islam menetapkan negara sebagai pengurus dan pelindung rakyat dalam semua aspek kehidupan termasuk keamanan dan kehalalan obat dan makanan. Negara akan menetapkan standar berkualitas tinggi sehingga rakyat benar benar terlindungi dari produk berbahaya apa lagi sampai beracun. Keselamatan dan keamanan menjadi hal yang sangat penting, nyawa manusia bukan main main seperti sekarang ini bahkan tak berharga.
Negara juga akan menyiapkan SDM profesional, jujur dan amanah, meng update penelitian dan juga riset penemuan terhadap ilmu pengetahuan dan sains serta hal lain yg dibutuhkan untuk menghasilkan sistem kewaspadaan yang cermat dan berkualitas terhadap keamanan produk obat dan makanan yang akan di edarkan di masyarakat. Sehingga Rahmat lilalamin itu benar benar menyelimuti umat manusia.
Mari kembali pada aturan hidup islam.
Allahu a'lam bishawwab
Post a Comment