Pengamat Kebijakan Publik
Angka kasus Human Immunodeficiency Virus (HIV) di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, menunjukkan tren penurunan sepanjang tahun 2023.
Dinas Kesehatan Kota (DKK) Balikpapan mencatat ada sebanyak 317 kasus positif HIV dari total 20.000 orang yang telah melakukan testing screening HIV. Sedangkan 28 kasus lainnya yang terdata diantaranya meninggal dunia.
Walaupun menurun dibanding tahun 2022 yang sebanyak 338 kasus, pihak pemerintah akan terus melakukan penanganan lebih komprehensif. Termasuk screening lebih masif pada setiap individu.
Ketua Tim Kerja Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinas Kesehatan Kota Balikpapan Dewa Gede Dony Lesmana mengatakan, kasus HIV ini didominasi hubungan sesama jenis atau kelompok man sex with man (MSM), pekerja seks komersial, kelompok transgender, dan kelompok lainnya. (Kompas[dot]com, 24/1/2024)
Senada dengan yang disampaikan oleh Dewa, seorang praktisi kesehatan, dr. Faizatul Rosyidah menyampaikan bahwa tidak bisa dinafikan kemunculan dan penularan HIV/AIDS adalah sangat erat dengan penyimpangan perilaku yang dilakukan manusia, terutama perilaku seksual bebas seperti bergonta-ganti pasangan seksual atau perilaku homoseksual. (muslimahnews[dot]net, 12/12/2022)
Untuk menuntaskan kasus ini, maka harus dicari dulu sumber masalahnya hingga ke akar-akarnya. Selama ini kebijakan dan strategi penanganan HIV/AIDS, baik di Indonesia maupun secara global menggunakan paradigma Kapitalisme sekuler. Yaitu melalui kondomisasi, subsitusi metadon, dan pembagian jarum suntik steril dan kebijakan terbaru yang sedang diujicobakan saat ini yaitu Pre-Exposure Prophylaxis (PrEP).
PrEP adalah metode untuk melindungi diri dari penularan HIV dengan mengonsumsi obat-obatan khusus setiap hari yang dianjurkan bagi orang yang berisiko tinggi terkena HIV, seperti pekerja seks, pria yang melakukan hubungan sesama jenis, orang yang memiliki pasangan pengidap HIV, serta pasangan heteroseksual dengan HIV yang ingin memiliki anak.
Ditambah lagi dengan gencarnya program testing dan screening terhadap individu rentan tertular. Semuanya adalah kebijakan yang tidak realistis dan rasional.
Sehingga penyebarannya tidak akan mampu ditangani dengan baik dan benar jika masih menggunakan paradigma sistem kapitalisme sekuler yang membolehkan hubungan sesama jenis alias LGBTQ, pekerja seks komersial (PSK), transgender, dan pergaulan bebas lainnya. Padahal faktanya penyebaran virus HIV tidak bisa dilepaskan dari pergaulan bebas yang jelas-jelas lahir dari prinsip kehidupan kapitalisme sekuler.
Kebebasan berekspresi yang diusung sekularisme akhirnya menjadi budaya yang cocok bagi berkembang biaknya pergaulan bebas di masyarakat. Tata nilai yang serba bebas menyediakan ruang bagi individu untuk mengekspresikan naluri seksualnya secara semaunya.
Apalagi, pergaulan bebas ini difasilitasi di berbagai media, baik menjadi trigger bangkitnya syahwat, maupun menjadi alat untuk menjajakan bisnis syahwat. Dalam sekali klik, manusia bisa terpapar konten vulgar yang membangkitkan nafsu. Dalam sekali klik pula, seseorang bisa terhubung dengan penyedia layanan jasa pelampiasan syahwat. Anehnya, rangkaian bisnis kotor ini begitu sangat sulit dibasmi aparat.
Oleh sebab itu, jika ingin menurunkan angka positif virus HIV AIDS, bahkan menghilangkan sampai ke akar-akarnya, maka harus ada solusi yang bersifat sistemis. Sebab masalah ini tidak sekadar muncul karena problem individu saja, melainkan muncul begitu massif sebagai dampak dari pandangan hidup dan pengaturan sistem bernegara.
Sebagai bangsa yang relijius dan mayoritas muslim, sudah selayaknya menetapkan strategi penanganan HIV AIDS ini dengan merujuk pada tuntunan syariat Islam saja, bukan yang lain. Setidaknya ada 3 langkah kebijakan yang harus dilakukan pemerintah yaitu melalui kebijakan kebijakan promotif, preventif, kuratif hingga rehabilitatif.
Pertama, kebijakan promotif yaitu dengan melakukan edukasi dan meng-install pemahaman hingga membentuk pola perilaku yang benar sesuai tuntunan Islam. Bisa disampaikan melalui pendidikan formal, yaitu dengan menerapkan sistem pendidikan Islam secara utuh. Maupun melalui sistem media yang dimiliki negara dengan memperbanyak penyebaran informasi-informasi seputar edukasi pergaulan dalam Islam.
Sehingga akan mewujudkan individu-individu yang bertakwa dan memahami pergaulan yang benar sesuai syariat Islam, sekaligus menjadi pencegah jatuhnya seseorang pada perilaku menyimpang dan beresiko tertular dan menularkan HIV/AIDS.
Kedua, kebijakan preventif yaitu dengan memutus mata rantai penularan. Bisa melalui sosialisasi massif tentang sistem sanksi Islam bagi setiap pelanggaran yang dilakukan oleh individu. Kebijakan ini akan memastikan perilaku menyimpang dan beresiko seperti praktik prostitusi, LGBTQ, dan lainnya dihentikan. Tidak lagi boleh sama sekali dilakukan. Ada pemberlakuan sistem sanksi Islam yang tegas kepada setiap individu yang melanggarnya.
Sehingga akan mewujudkan individu-individu yang takut untuk melakukan pelanggaran hukum-hukum syariat. Karena pemberlakuan hukum yang tegas dan adil akan membuat seseorang berpikir panjang kalau sampai melanggarnya. Bukan hanya sekedar bentuk ancaman belaka.
Ketiga, kebijakan kuratif/rehabilitatif yaitu upaya perawatan dan merehabilitasi bagi ODHA berdasarkan sebab penularannya. Bagi ODHA yang tertular dan sakit bukan dikarenakan melakukan penyimpangan perilaku, seperti tertular saat tranfusi darah, tertular dari suami, dan lainnya, berhak untuk mendapatkan layanan perawatan dan pengobatan terbaik, mendapatkan edukasi dan pendampingan bagaimana tetap bersemangat menjalani hidup dengan HIV secara lebih berkualitas, bebas dari stigmatisasi ODHA, tetap menebar manfaat dalam kehidupan yang dijalani, sembari melakukan strategi teknis sesuai perkembangan sainstek terkini yang dibutuhkan untuk mencegah penularan kepada orang lain.
Sedangkan bagi ODHA yang tertular dan sakit karena melakukan kemaksiatan penyimpangan perilaku, mereka akan dinasehati untuk bertobat nasuha agar berhenti dari melakukan perilaku beresikonya juga memberikan hak mereka untuk membersihkan diri dengan dijatuhi hukuman yang tegas dan menjerakan. Yaitu hukuman rajam bagi para pezina yang sudah pernah menikah. Hukum cambuk 100 kali dan diasingkan 1 tahun bagi yang belum menikah. Juga penerapan hukuman mati para pelaku gay/homoseksual, termasuk hukuman lain yang menjerakan bagi semua pihak yang terlibat dalam terjadinya penyalahgunaan narkoba. Wallahu alam
Post a Comment