Ironi Indeks Pembangunan Gender sebagai Indikator Kesejahteraan Perempuan

by : Dinda Kusuma WT


Isu kesetaraan gender telah digaungkan sejak berabad-abad lalu. Muncul dari ketidakpuasan wanita-wanita Barat terhadap diskriminasi yang sering mereka alami. Tak heran, sebab negara-negara Barat tidak memiliki patokan yang jelas dalam memenuhi hak-hak perempuan. Undang-undang yang mereka terapkan adalah interpretasi pemikiran manusia yang pastinya menimbulkan kekacauan dan ketimpangan.


Isu kesetaraan gender akhirnya menjadi propaganda yang disebarluaskan ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Propaganda ini digencarkan sedemikian rupa sebenarnya tidak lain untuk meliberalisasi kehidupan dunia. Indonesia sebagai negara yang bergantung kepada Barat tentu sangat mudah dimasuki oleh isu ini. Bahkan pemerintah Indonesia menyambut baik propaganda kesetaraan gender dengan berbagai program dan kebijakan yang dipaksakan kepada masyarakat Indonesia. Faktanya, tujuan utama dibalik slogan kesetaraan gender lagi-lagi bermuara pada keuntungan materi bagi kaum kapitalis. Dengan dalih kesetaraan dan feminisme, perempuan dijadikan komoditi ekonomi. Perempuan dipaksa keluar dari rumah-rumah mereka untuk melakukan peran yang harusnya dilakukan oleh laki-laki.


Salah satu langkah yang dilakukan pemerintah untuk mendukung propaganda kesetaraan gender adalah meluncurkan IDG (Indeks Pemberdayaan Gender) dan IPG (Indeks Pembangunan Gender). IDG dikatakan sebagai angka yang digunakan untuk mengukur terlaksananya keadilan dan kesetaraan gender berdasakan partisipasi politik dan ekonomi. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) diukur melalui tiga dimensi, yaitu keterwakilan di parlemen, pengambilan keputusan, dan distribusi pendapatan. Sedangkan IPG adalah indeks yang menggambarkan kesenjangan pencapaian pembangunan antara perempuan dan laki-laki. Jadi untuk IPG, semakin kecil angkanya maka dianggap semakin baik.


Dilansir dari republika.co.id, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyatakan bahwa selama 2023, perempuan semakin berdaya yang ditunjukkan dengan membaiknya IPG dan IDG. Deputi Bidang Kesetaraan Gender KemenPPPA Lenny N Rosalin dalam keterangan di Jakarta, Sabtu (6/1/2024) mengatakan, "Perempuan semakin berdaya, mampu memberikan sumbangan pendapatan signifikan bagi keluarga, menduduki posisi strategis di tempat kerja, dan terlibat dalam politik pembangunan dengan meningkatnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Ini ditunjukkan dengan meningkatnya Indeks Pemberdayaan Gender," (republika.co.id, 06/01/2024).


Apabila kita cermati, tampak jelas kesalahkaprahan berfikir dalam propaganda kesetaraan gender. Tampak dari pernyataan yang dilontarkan Lenny N Rosalin, dimana beliau memuji para wanita yang mampu memberikan sumbangsih pemikiran dan pendapatan materi, baik bagi keluarga maupun negara. Bukankah artinya, perempuan dipaksa melakukan berbagai peran termasuk bekerja, padahal tanggung jawab tersebut harusnya berada dipundak laki-laki. Bagaimana mungkin, perlakuan seperti ini dianggap mensejahterakan perempuan. 


Menoleh kepada realitas yang ada, akhir-akhir ini begitu banyak kasus kriminal dan kekerasan terhadap perempuan seperti KDRT, pelecehan, kekerasan seksual dan lain-lain. Perempuan sering menjadi tulang punggung keluarga meskipun bukan keinginannya sendiri. Tekanan ekonomi, memaksa para ibu bekerja diluar rumah padahal hati nuraninya ingin membersamai tumbuh kembang anak-anaknya. Belum lagi persoalan generasi yang semakin parah. Banyak kasus bullying, kekerasan yang pelaku maupun korbannya adalah anak-anak. Semua itu, bukan tidak mungkin disebabkan oleh tergesernya peran ibu. Banyaknya pendapatan materi yang diperoleh wanita tidak sebanding dengan konsekuensi yang harus ditanggung oleh dirinya, keluarganya, bahkan bangsa dan negara.


Ironis, IPG dan IDG yang katanya semakin membaik, justru merupakan indikator sekaligus alarm bahwa negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Juga Indikator bahwa ekonomi semakin anjlok sehingga para perempuan harus turun tangan menopang perekonomian. Propaganda kesetaraan gender sejatinya semakin mengekploitasi perempuan bukan mensejahterakan mereka.


Kesengsaraan perempuan sejatinya berakar dari sistem kapitalisme yang diterapkan di seluruh dunia. Kapitalisme memandang segala sesuatu sebagai aset yang harus mendatangkan keuntungan materi, termasuk perempuan. Sebab itulah, propaganda kesetaraan gender subur dalam sistem ini. Kapitalisme harus dicabut hingga akarnya dan diganti oleh sistem lain yang lebih sempurna yaitu islam.


Islam adalah agama ideologis yang memancarkan aturan lengkap. Islam adalah yang terdepan dalam memuliakan perempuan. Bahkan sejak awal kemunculannya, yang pertama kali dilakukan oleh Islam adalah melarang tradisi menguburkan bayi perempuan hidup-hidup yang kala itu sering dilakukan masyarakat Arab jahiliah. Islam mewajibkan laki-laki menafkahi keluarganya, namun tidak melarang wanita bekerja dengan syarat-syarat syar'i agar tetap menjaga kehormatan dirinya serta tidak menelantarkan kewajibannya sebagai istri dan ibu. Bagi perempuan-perempuan yang tidak memiliki wali, negara bertanggung jawab atas kehidupan mereka sehingga perempuan tidak harus terpaksa bekerja mencari nafkah sendiri. Demikianlah hanya dalam Islam kesejahteraan perempuan dan seluruh umat manusia akan bisa diwujudkan. Wallahu a'lam bisshawab.


Penulis : Dinda Kusuma W T

Post a Comment

Previous Post Next Post