Hoax Ujar Kebencian Kepada Pengungsi Rohingnya


Oleh : Sukey

Aktivis muslimah ngaji


Sekitar 1.700 pengungsi Rohingya sudah mendarat di Indonesia sejak November 2023, menurut data Kemenkopolhukam. Total pengungsi yang ada secara keseluruhan termasuk wilayah lain termasuk di Pekanbaru dan Medan adalah 2.200 orang. Deputi Bidang Koordinasi Keamanan dan Ketertiban Masyarakat Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Irjen Rudolf Alberth Rodja mengatakan dugaan perdagangan orang pengungsi Rohingya terhubung dengan Cox's Bazar di Bangladesh. 


Polresta Banda Aceh, misalnya, menangkap dan menetapkan tersangka terhadap seorang warga etnis Rohingya Muhammed Amin atau MA dalam kasus dugaan tindak pidana penyeludupan manusia ke Indonesia. Tersangka berinisial MA, umur 35 tahun, asal Myanmar; yang bersangkutan adalah pengungsi Camp 1 Blok H-88 Kutupalum, lokasi penampungan etnis Rohingya di Cox's Bazar Bangladesh. Dalam kasus tersebut, polisi telah memeriksa 12 orang saksi dari kelompok warga etnis Rohingya, yakni berinisial AH, HB, MSA, A, MK, NI, MM, AU, MSI, Y, M, dan S. MA ditetapkan sebagai tersangka pada Sabtu, 15 Desember 2024, dan ditahan di Mapolresta Banda Aceh (nasional.tempo;05/01/2024).


Stereotip-stereotip buruk tentang pengungsi Rohingya mulai naik ke permukaan belakangan ini. Pertanyaannya, seberapa yakin kita bahwa informasi yang beredar sudah teruji validitasnya ? Dari sekian banyak berita yang tersebar, justru hanya sedikit yang benar-benar fakta. Itu pun sudah dibumbui dengan kebohongan.


Rohingya meminta tanah dan hendak merebut wilayah layaknya Israel. UNHCR meminta pemerintah memberikan makan, rumah dan KTP kepada Rohingya. Rohingya menghancurkan rumah susun di Sidoarjo, Jawa Timur dan memperkosa warga lokal.


Hoax ini bermula dari sebuah video demo Rohingya di depan Kedubes Myanmar di Malaysia yang terjadi pada masa Najib Razak. Faktanya, Rohingya justru sedang menentang kekejaman otoritas Myanmar yang terus berupaya membersihkan etnis tersebut. Kerusuhan terjadi sebab sebagian bus yang ditumpangi Rohingya ditahan polisi dan akhirnya mereka mengamuk karena tidak diizinkan untuk ikut aksi.


UNHCR tidak pernah meminta demikian. Hoax ini bersumber dari puluhan akun anonim di TikTok yang secara sengaja mengganti display nama dan foto profil seolah menjadi akun resmi UNHCR, kemudian menulis komentar tersebut di konten- konten viral. Mirisnya, komentar dari akun-akun anonim ini banyak sekali di-repost dan digoreng seolah ia nyata dan benar.


Rohingya menghancurkan rumah susun di Sidoarjo, Jawa Timur. Beberapa portal berita yang meyebutkan secara spesifik etnis Rohingya sebagai pelaku penghancuran adalah Viva dan Jawa Pos, hal ini kemudian dibantah oleh Detik Jatim yang langsung melakukan klarifikasi ke Kasubsi Ketertiban 

Rudenim, Wahyu Tri Wibowo.


Bukan hendak menjustifikasi tindakan asusila, telah banyak yang mempercayai bahwa korban merupakan warga Aceh. Faktanya, korban merupakan anak di bawah umur yang juga berasal dari Rohingya. Jika narasi yang terus diulang dan sangat viral saja ternyata mengandung kebohongan di dalamnya, bayangkan sebanyak apa sebenarnya kebohongan yang telah menjadi kenyataan bagi masyarakat ?


Pengungsi Rohingya adalah tetap pengungsi. Mereka meninggalkan Myanmar karena dipersekusi dan di genosida oleh Junta militer. Tahun 1982, 2 juta etnis Myanmar dicoret dari Myanmar karena dianggap bukan etnis asli Myanmar. Di Indonesia beredar info bahwa mereka dicoret karena mereka didatangkan penjajah Inggris ke Myanmar pada abad ke-19. Yang benar, etnis Rohingya sudah ada sejak abad 7 di Myanmar, dan pada abad 15 mereka mendirikan Kerajaan Arakan di Rakhine (provinsi di Myanmar). Kerajaan Arakan yang Muslim dipimpin oleh Mrauk U. Inilah etnis Rohingya di Myanmar.


Setelah dipersekusi, kampungnya dibakar, sekitar 13 ribu dibunuh, mereka mengungsi. Pengungsi Rohingya tersebar di berbagai negara, ada di Arab Saudi (sekitar 200 rb), Malaysia (150rb-an), dan Bangladesh yang paling banyak, sekarang mencapai hampir 1 juta jiwa pengungsi ada di Bangladesh. Mereka tetap PENGUNGSI yang tidak punya kewarganegaraan, bukan warga Bangladesh. Mereka dikelola oleh PBB melalui UNHCR.


Di Bangladesh, mereka ditampung di sebuah tempat yang luas, namun rawan longsor, yaitu Cox's Bazar. Kawasan Cox's Bazar ini sangat kumuh, sanitasi buruk, dan kondisi keamanan sangat buruk pula. Banyak kejahatan, pembunuhan dan sebagainya. Karena inilah, maka PBB bekerjasama dengan pemerintah Bangladesh membangun camp di Pulau Bhasan Char. Di Pulau ini, ada 1000 rumah yang kondisi lumayan, tapi ... akan digunakan untuk menampung sekitar 100 ribu pengungsi. Terbayang ya, 1 rumah akan dijejali 100 pengungsi. Mirip kamp konsentrasi.


Indonesia tentu sangat dilematik menghadapi hal ini. Indonesia belum meratifikasi konvensi pengungsi 1951 dan protokol 1967 dikarenakan alasan politik domestik, jadi tidak ada kewajiban menampung pengungsi. Prosesnya, ketika ada pengungsi datang, harus menampung sementara, memberikan bantuan kemanusiaan, lalu bekerjasama dengan PBB (UNHCR). Karena tidak merafitikasi konvensi pengungsi 1951 dan protokol 1967, seluruh dana penanganan pengungsi di Indonesia, harus disediakan oleh UNCHR. Dan inilah yang terjadi di Indonesia selama ini. Dana tidak diambil dari APBN, tapi dari UNHCR. Tentu saja pemerintah pusat maupun daerah tetap membantu, tapi bukan penyandang dana utama.


Dalam regulasinya, semua pengungsi seharusnya tidak bercampur dengan warga lokal. Mereka berada di kamp yang terawasi, dan pengungsi tidak boleh berkeliaran di luar. Mereka juga tidak boleh bekerja. Karena itu, mereka mendapatkan jatah hidup sekadar untuk makan dan kebutuhan primer.


Repatriasi adalah kembalinya suatu warga negara dari negara asing yang pernah menjadi tempat tinggal menuju tanah asal kewarganegaraannya. Tetapi, saat ini, Myanmar tengah bergolak dan dilanda perang. Maka, sampai kondisi aman, pemerintah Indonesia punya tanggung jawab moral untuk membantu pengungsi dengan bekerjasama dengan PBB.


Mengapa terjadi arus kebencian terhadap Rohingya yang sangat kuat? Menurut penelusuran Tempo, BBC, Narasi, Drone Emprit dan berbagai lembaga independen: secara massif dan terstruktur, banyak sekali konten hoax yang disebar secara serempak di masyarakat bersumber dari media sosial. Sekitar 80an akun UNHCR palsu juga muncul di berbagai media sosial dengan menyebarkan konten yang provokatif.


Para netizen banyak berkomentar pedas, semakin banyak kaum muslim rohingya yang tidak selamat atau minimal tambah teraniaya karenanya, sungguh miris memang, pola pikir kaum muslim saat ini. Nasionalisme yang dibuat barat benar benar berhasil untuk memecah belah kaum muslimin, mereka tak perlu menggunakan tangannya untuk memperunyam masalah, karena sudah cukup dengan tangan dan lisan kaum muslimin yang sudah dipecah belah itu. Di sisi lain mereka membela saudaranya di Palestina, sementara ketika di hadapannya ada muslim yang jelas- jelas membutuhkan bantuan, lari dari genosida Budha Myanmar, justru dikomentari buruk dengan sedemikian rupa, padahal tidak semua orang Rohingya melakukan tindakan kesalahan, tapi seolah-olah mereka salah semua.


Kemanusiaan adalah barang langka bagi para pengungsi yang tidak jelas warga negaranya! Nelayan Aceh, adalah cermin kerinduan bagi para pengungsi Rohingya yang hampir selalu ditolak dimana pun untuk berlabuh, atas nama nasionalisme. Kerinduan mereka akan ikatan hakiki, ukhuwah Islamiyah. Kerinduan munculnya seorang pemimpin umat yang tidak tunduk pada kesepakatan dan sistem yang dibuat orang-orang kafir. Kerinduan mereka akan harapan kehidupan yang lebih baik, nyata-nyata tidak akan pernah mampu dihadirkan oleh dunia kapitalisme saat ini. 


Inilah bukti kegagalan ide nasionalisme yang lahir dari sistem sekularisme yang telah menciptakan jurang pemisah antar sesama muslim yang seharusnya bersaudara, ketiadaan Amirul Mukminin telah membuat umat Islam bercerai berai layaknya anak ayam kehilangan induknya, sehingga sejumlah muslim minoritas hidup tanpa keadilan dan kebebasan, bahkan kehilangan hak untuk menginjak kakinya di sebidang tanah di rumah sang saudara. Karena ide nasionalisme inilah muslim di dunia terhambat untuk menolong saudara muslimnya yang tertindas di hadapan dunia, ada pun solidaritas dan rasa kemanusiaan yang lahir dari nasionalisme tidak mampu memberikan hak-hak ke warga negaraan kepada pengungsi, sehingga di manapun etnis Rohingya ditampung tak akan mampu menjamin ke warga negaraan yang sah untuk mereka. 


Inilah bahayanya nasionalisme jika dijadikan sebagai ikatan yang mengikat manusia, ikatan ini sangat rapuh karena dibangun berdasarkan kepentingan kelompok dan emosi yang spontan yang bersifat temporal. Saat kepentingan dan rasa empati hilang, maka ikatan ini pun lenyap. Karenanya nasionalisme tidak layak dijadikan sebagai landasan kebangkitan dan kemajuan, pada praktiknya nasionalisme telah merusak ikatan akidah dan ukhuwah islamiah dan memecah belah persatuan umat muslim di dunia. Umat yang tadinya satu akidah dan satu ukhuwah harus tercerai-berai, ditindas dan di genosida oleh kafir harbi fi'lan tanpa ada pemimpin yang mampu menolongnya. 


Hanya khilafah yang mampu menyelesaikannya


Islam memiliki aturan ketat terkait pentingnya menjaga ukhuwah islamiah, sebagai sesama muslim ada hak dan kewajiban terhadap sesama yang wajib kita tunaikan. Khususnya terhadap kaum seiman yang terzalimi, menolong mereka adalah hal yang paling utama. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya;


“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. Nasai 3987 dan dishahihkan al-Albani).


Kita mengetahui bersama bagaimana pemerintahan Myanmar telah menindas dan menggenosida muslim Rohingya yang merupakan suku asli di tanah kelahiran mereka sendiri. Mereka diusir, lalu menetap di kamp-kamp pengungsian dan terpaksa terpisah dengan keluarga karena kapasitas kamp-kamp yang terbatas dan di lokasi yang berbeda-beda. 


Karena itu Islam menetapkan agar persaudaraan sesama muslim wajib dibangun atas dasar akidah dan ukhuwah, bukan sentimen golongan atau rasa simpati yang temporal. Islam telah menyiapkan segudang aturan agar setiap muslim mampu mencintai saudara seiman layaknya mencintai diri sendiri dengan berbagai hukum yang mengatur hak-hak individu dan jema'ah yang di mana pelaksananya adalah negara yang berdiri atas asas Islam, yang bernama Khilafah Islamiah. 


Alih-alih membangun ikatan rendah nasionalisme, Khilafah Islam justru akan mendorong umat bersatu di bawah akidah dan ukhuwah Islam. 

Hal ini sebagaimana perintah  Rasulullah yang menggambarkan kaum muslim layaknya sebuah bangunan yang wajib saling menopang (tolong-menolong) satu sama lain :


Ø¥ِÙ†َّ الْÙ…ُؤْÙ…ِÙ†َ Ù„ِÙ„ْÙ…ُؤْÙ…ِÙ†ِ ÙƒَالْبُÙ†ْÙŠَانِ ÙŠَØ´ُدُّ بَعْضُÙ‡ُ بَعْضًا


"Sungguh kaum Mukmin itu seperti satu bangunan yang saling menguatkan satu sama lain." (HR. al-Bukhari, Muslim, an-Nasai, at-Tirmidzi dan Ahmad).


Maka jelas, untuk mengakhiri penindasan muslim  Rohingnya kita butuh kepemimpinan Islam untuk mengangkat beban mereka. Khilafah Islamiah mampu mewujudkan keimanan jema'ah yang ditopang oleh ikatan akidah dan ukhuwah, Khilafah menetapkan kebijakan politik luar negeri berlandaskan dakwah dan jihad fisabilillah. Dengan metode jihad dan militer pemerintahan Islam yang berdaulat mampu menghapus segala bentuk kezaliman di muka bumi sampai ke akarnya dan melindungi hak-hak rakyat, yakni akal, jiwa, harta, darah dan akidahnya.

Post a Comment

Previous Post Next Post