Hak dan Kewajiban Pemimpin Menurut Al-Qur'an


Oleh Rikeu Indah Mardiani


Setiap individu masyarakat tentu mengharapkan pemimpin yang mampu memberikan kesejahteraan, keadilan dan yang paling penting menjadi jalan keselamatan dunia akhirat.


Al-Quran sebagai _Kalamullah_ dan petunjuk bagi seluruh kaum muslim telah memberikan panduan dalam memilih pemimpin ini, mentaati serta menasehatinya. Di antaranya:


Pertama, pemimpin yang taat kepada Allah dan rasul-Nya. Allah Swt. telah berfirman dalam Al-Qur'an surah  An-nisa ayat 59 yang artinya:

"_Wahai orang-orang yang beriman taatlah kalian kepada Allah dan rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian_."


Imam Abu Zahrah telah nenyatakan, sebagian ulama berpendapat bahwa ulil amri adalah para ulama ahli fikih yang mampu menggali hukum. Adapun menurut mayoritas ulama, yang dimaksud ulil amri adalah para penguasa (al-hukkam) dan _ahlul halli wa 'aqdi_, dengan catatan mereka mukmin dan  mereka taat kepada Allah dan rasul-Nya yang ditandai dengan menegakkan keadilan dan tidak melanggar hukum-hukum Allah.


Kedua, hak dan kewajiban pemimpin. Hak bagi penguasa atau pemimpin adalah ditaati oleh rakyatnya sebagaimana tafsir QS. an-Nisa ayat 59 di atas. Namun demikian, pemimpin juga memiliki kewajiban yaitu wajib memimpin rakyatnya dengan adil sebagaimana firman Allah dalam surah an-Nisa: 58,

" _Sungguh Allah memerintah kalian agar menyerahkan amanah kepada yang berhak menerima amanah tersebut, juga (memerintah kalian) jika kalian memutuskan hukum di tengah-tengah manusia agar kalian berlaku adil_ ."


Seorang pemimpin yang terkategori pemimpin yang adil adalah jika dia memimpin berdasarkan _Kitabullah_ (al-Quran) dan Sunnah rasul-Nya. Jika tidak, maka pemimpin tersebut termasuk zalim dan fasik (lihat QS. an-Nisa ayat 45 dan 47).


Dengan arahan ayat-ayat Al-Qur'an di atas, maka ketaatan kepada pemimpin atau penguasa sesungguhnya tidaklah mutlak. Artinya, tetap ada batasan yakni  selama pemimpin atau penguasa tersebut menjalankan hukum-hukum Allah Swt. 


Ketiga, Pemimpin yang mau menerima nasehat. Selain nasehat adalah bagian yang tak terpisahkan dari para pemimpin muslim di masa lalu, bahkan telah menjadi santapan sehari-hari mereka dan juga kebutuhan, penguasa pun senantiasa dekat dengan para ulama. Maka tak heran di masa peradaban Islam tegak, banyak para ulama rela menghabiskan waktunya untuk mengobrol, mengawasi, menasehati, mengkritik sekaligus meluruskan para penguasa yang menyimpang tanpa kenal lelah, khawatir atau rasa takut. Sebut saja salah satunya kisah Khalifah Harun Ar-Rasyid yang dinasehati seorang ulama yang bernama Fudhail bin Iyadh saat ia berkunjung ke rumahnya


Ketika khalifah menyalami tangan tuan rumah, seketika Fudhail bin Iyadh berkata: "Api nerakalah untuk tangan halus ini jika ia tidak selamat dari azab-Nya pada hari Kiamat.  Bersiap-siaplah engkau untuk menjawab pertanyaan Allah kelak. Sungguh Allah akan menghadapkan dirimu kepada setiap muslim atas kebijakanmu terhadap masing-masing dari mereka."


Mendengar ucapan Fudhail tersebut, Khalifah Harun ar-Rasyid menangis sejadi-jadinya sambil menundukkan kepala di dadanya.


Demikianlah kedekatan penguasa dengan ulama di masa Islam diterapkan. Para ulama selalu siap memberikan nasehatnya kapanpun dan dimanapun. Diminta atau tidak diminta, nasehat dan kritik akan disampaikan terlebih jika penguasa itu zalim dan enggan menerapkan syariat Islam, sebab seorang ulama tidak boleh bermanis muka, menyembunyikan kebenaran, apalagi menjadi penjilat penguasa. Karena dengan cara inilah keadilan akan tetap kokoh, penguasa tetap lurus dan sistem Islam akan tetap tegak di muka bumi. Wallahualam bishawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post