Sejak pertama kali terungkap kasus gagal ginjal akut pada anak yang diduga adanya kandungan zat kimia etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) dalam obat sirup anak, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melaporkan sudah ada 206 orang terdeteksi mengalami gangguan ginjal akut progresif atipikal atau dikenal dengan istilah penyakit gagal ginjal misterius di Indonesia hingga 18 Oktober 2022. Dari jumlah tersebut, 99 orang atau 48 persen dinyatakan meninggal dunia (Databoks, 20/10/2022).
Dalam perkembangannya, setidaknya per 5 Februari 2023, sudah terdapat 326 kasus gagal ginjal anak dan satu suspek yang tersebar di 27 provinsi di Indonesia. Dari kasus tersebut, saat itu dilaporkan total 204 anak meninggal dunia. Sisanya sembuh, tetapi dilaporkan masih terdapat sejumlah pasien yang masih menjalani perawatan di RSCM Jakarta pada awal 2023 (MonitorIndonesia).
Dari kasus ini, sejumlah keluarga korban anak gagal ginjal akut mendesak Bareskrim Polri segera menyeret pihak yang bertanggung jawab atas peredaran obat batuk sirop beracun ke pengadilan. Sebab selain produsen atau perusahaan farmasi, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) patut dianggap lalai mengawasi bahan baku obat sirop hingga diterbitkannya nomor izin edar (BBCNewsIndonesia, 21/12/2023).
Kedua kandungan kimia etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang diduga menjadi penyebab terjadinya gagal ginjal akut pada anak memang termasuk ke dalam bahan kimia berbahaya karena memiliki efek toksik (racun) apabila terkonsumsi melebih batas aman. Ambang batas aman cemaran EG dan DEG telah ditetapkan kurang dari 0,1% sedangkan ambang batas aman atau Tolerable Daily Intake (TDI) untuk cemaran EG dan DEG pada sirup obat tidak melebihi 0,5 mg/kg berat badan per hari.
Kasus kematian anak penderita gagal ginjal akut berbuntut pada tuntutan atas BPOM yang dianggap tidak sesuai standar dalam menetapkan prosedur penerbitan izin edar obat oleh BPOM. Berdasarkan SK Menkes RI No. HK.01.07/MENKES/626/2020 telah ditetapkan bahwa Farmakope Indonesia Edisi VI dijadikan sebagai standar yang harus dipenuhi dalam produksi obat dan bahan baku obat. Dengan kata lain, bahan baku yang akan dijadikan sebagai obat harus dilakukan pengujian berdasarkan standar yang telah ditentukan.
Sementara untuk mendapatkan izin edar, sebuah industry farmasi harus melakukan pengujian agar memenuhi standar yang berlaku. Namun lolosnya cemaran bahan berbahaya ini sampai berdampak pada kesehatan dan keselamatan anak akhirnya menunjukkan adanya aturan dan penerapan kebijakan yang terkesan serampangan sehingga menjadikan standar yang telah ditetapkan tidak mampu menjaga keamanan obat dan makanan yang akan menjamin keselamatan rakyat.
Ditambah lagi longgarnya pengawasan terhadap peredaran bahan berbahaya ini juga menunjukkan lalainya negara dalam menjamin keamanan obat dan makanan, termasuk upaya negara dalam mencerdaskan rakyat akan pentingnya keamanan obat dan makanan untuk mencerdaskan rakyat. Fakta ini seolah tidak bisa dibantahkan. Bahkan seringkali negara ataupun pihak yang terkait baru bertindak ketika sudah menelan banyak korban.
Kondisi ini menggambarkan betapa system kapitalisme yang dianut oleh negeri ini telah membuat banyak kekacauan dalam setiap penerapan kebijakannya. Pasalnya system yang didasari oleh paradigma pemisahan agama dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara (sekularisme) hanya menjadikan tolak ukur setiap kebijakan hanya bermuara pada keuntungan dan manfaat saja. Sehingga dalam penerapan system kesehatan, kesehatan seringkali dijadikan sebagai lahan komersialisasi untuk meraup keuntungan sepihak. Hal-hal yang membutuhkan perhatian dan pengawasan ketat seolah hanya formalitas belaka. Asal ada uang, maka urusan kelar.
Sementara negara dan penguasa tidak hadir sepenuhnya dalam menjamin status sehat, hal-hal terkait yang mendukung tercapainya derajat kesehatan atau bahkan pelayanan kesehatan yang seharusnya didapatkan oleh rakyat. Sebab dalam system kapitalisme negara hanya berperan sebatas regulator dan fasilitator. Maka wajar, dalam kasus ini pihak yang terlibat justru dengan mudahnya melalaikan apa yang menjadi kewajibannya terhadap persoalan kesehatan rakyat.
Tentu hal ini berbeda jika paradigma kebijakan pada system kesehatan diatur berdasarkan system Islam. System kesehatan di dalam Islam yang berdiri di atas landasan aqidah Islam menetapkan negara sebagai pengurus dan pelindung rakyat dalam semua aspek kehidupan termasuk keamanan makanan dan obat. Islam juga menetapkan bahwa persoalan kesehatan menjadi jaminan utuh yang diberikan oleh negara tanpa unsur komersialisasi sebagaimana system kapitalisme saat ini.
Negara akan menetapkan standar berkualitas tinggi, khususnya dalam aspek yang mendukung terjaminnya kualitas kesehatan sehingga rakyat benar-benar terlindungi. Negara juga menyiapkan SDM professional dan amanah dari berbagai hal lain yang dibutuhkan untuk menghasilkan system kewaspadaan yang cermat dan berkualitas.
Demikianlah system Islam mengatur urusan hidup manusia. Sebagai seorang muslim tentu meyakini dan memahami bahwa berbagai persoalan yang terjadi di negeri ini disebabkan karena syari’at Islam tidak diterapkan secara kaffah di dalam sebuah institusi politik bernama daulah Islamiyyah. Maka dari itu, tidakkah kita merindukan penerapan system Islam tersebut? Wallahua’lam.
Post a Comment