Dibalik Gagasan KUPI


Oleh : Martinah


Pasca-Konferensi Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), muncul gagasan pembentukan Majelis Ulama Perempuan Global (internasional). Bahkan, Wakil Presiden Ma’ruf Amin mendukung pembentukan majelis tersebut.


Keberadaan majelis itu dimaksudkan sebagai upaya memberikan ruang bagi kaum perempuan menggali potensi untuk berkontribusi dalam isu-isu global, serta mendukung kesetaraan gender yang “sesuai” dengan syariat Islam. Hal ini disampaikan Wapres saat menerima cendekiawan perempuan Mesir Nahla el-Sabry di kediaman resmi Wapres. 


Nahla Sabry el-Saidy, penggagas Majelis Ulama Perempuan Global, terpilih sebagai salah satu dari 50 wanita paling berpengaruh di Mesir. Ia dinilai telah banyak berkontribusi dalam pengembangan proses belajar mahasiswa Al-Azhar. Ia termasuk wanita pertama dalam sejarah Mesir yang ditunjuk Al-Azhar untuk jabatan Wakil Dekan Fakultas Studi Islam dan Dekan Fakultas Ilmu Islam untuk pelajar asing di Nasr City pada Januari 2019.


Saat ini, ia menjabat sebagai Direktur Markaz Tathwir (Pusat Pengembangan Pelajar dan Mahasiswa Asing Al-Azhar). Dalam berbagai forum internasional, termasuk di Indonesia, ia menyerukan pemikirannya tentang perlunya pembentukan Majelis Ulama Perempuan Global.


Dikutip dari siaran pers BPMI Setwapres, ia berpendapat bahwa di Pakistan sudah dibentuk majelis seperti ini dan berharap agar di semua negara yang berpenduduk muslim seperti di Indonesia juga bisa dibentuk. Ia menilai meski saat ini sudah banyak perempuan menempati posisi penting, masih banyak yang belum memahami konsep sesungguhnya tentang “perempuan dalam Islam”.


Oleh karenanya, ia berharap adanya forum yang mendukung kesetaraan gender yang tidak bias dan tidak zalim. Majelis Ulama Perempuan Global inilah yang menurutnya akan memetakan dan merumuskan cara berpikir muslimah yang sesuai dengan Islam.


Semangat pembentukan Majelis Ulama Perempuan Global sama dengan KUPI di Indonesia. Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II diselenggarakan pada 23–26 November 2022, di UIN Walisongo Semarang dan Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri, Jepara, Jawa Tengah. Kongres ini menggandeng berbagai perguruan tinggi dan pesantren.


Lembaga pengusung KUPI adalah lembaga yang juga mengusung liberalisasi agama dan kesetaraan gender yang dikenal sebagai feminis muslim, yakni Rahima, Fahmina, Alimat, AMAN Indonesia, dan Gusdurian. Acara tersebut dihadiri kurang lebih 1.500 peserta yang berasal dari 31 delegasi luar negeri, yakni Burundi, Kanada, Mesir, Finlandia, Prancis, Jerman, Hongkong, Hungaria, India, Kenya, Indonesia, Malaysia, Maroko, Pakistan, Philipina, Suriah, Sri Langka, Thailand, Belanda, Tunisia, Turki, United Kingdom, dan Amerika.


Menurut Ruhah Masrurach selaku panitia, KUPI II selanjutnya bertujuan menjadi ruang refleksi ulama perempuan, sekaligus ajang konsolidasi pengetahuan ulama perempuan Indonesia dan seluruh dunia selama lima tahun terakhir. (Suara Mubalighah, 6-12-2022).


Sebelumnya, KUPI I digelar di Cirebon pada 25 April 2017. Dalam seminar yang merupakan bagian dari acara KUPI menampilkan penuturan ulama perempuan dari Pakistan, Nigeria, dan Kenya, yang notabene para feminis muslimah. Mereka menuturkan upaya menghadapi masalah radikalisme di negaranya.


Menurut ulama perempuan asal Pakistan bernama Bushra Qadeem, di negaranya, perempuan sering kali menjadi sasaran dakwah yang mengandung paham radikal. Oleh karenanya, ia menganggap para ulama perempuan mampu untuk menjadi agen perubahan. Ia pun meyakinkan kaum ibu agar menjadi agen perubahan sehingga anak-anak mereka tidak terlibat radikalisme.


“Institusi kami membangun pandangan yang melawan bias dari masyarakat terhadap perempuan. Menganggap pesantren, kelompok kajian Islam, sebagai tempat yang rawan paham radikal,” ujarnya.


Pembentukan Majelis Ulama Perempuan Global Mengukuhkan Gerakan Feminis dan Kesetaraan Gender secara Global

Mencermati fakta dan tujuan pembentukan Majelis Ulama Perempuan Global tersebut, sangat terbaca jelas bahayanya bahkan cenderung merusak nilai-nilai Islam. Mereka mendukung kesetaraan gender dan menaruh curiga kepada tempat-tempat kajian Islam. Melalui forum majelis ulama perempuan, mereka akan memetakan dan merumuskan cara berpikir muslimah dengan pola pikir feminisme.


Para feminis pun getol menyerukan penerapan konsep gender secara global. Namun, pada saat yang sama, mereka sebetulnya merasakan penindasan dan penghinaan di seluruh dunia di bawah payung keuntungan dari tatanan dunia hari ini, yakni tidak terjaminnya hak-hak perempuan dan anak perempuan, termasuk hak menjalankan syariat Islam. Bahkan, hingga kini, mereka berdiam diri terhadap kekerasan yang menimpa perempuan di Rohingya, Palestina, Suriah, dan sebagainya.


Tujuan pembentukan majelis itu pun terkesan memaksakan ide-ide feminisme dengan memberikan ruang bagi perempuan untuk berekspresi sesuai kehendak perempuan dan mengesampingkan batasan-batasan syariat Islam. Mereka memandang para perempuan yang tidak terlibat di ruang publik, yang taat pada suami karena posisi suami sebagai qawwam, yang menutup aurat sesuai syariat, adalah terbelakang dan dianggap salah memahami ajaran Islam.


Begitu pula fenomena KUPI, yang dalam pelaksanaannya menggandeng perguruan tinggi dan pesantren, tetapi pada saat yang sama mereka malah memfitnah pesantren dan rumah ibadah sebagai tempat yang rawan paham radikal.


Seperti fakta yang terjadi di Pakistan tadi, mereka menilai pesantren dan tempat kajian rawan paham radikal sehingga mereka bersikap untuk memberikan ide-ide feminisme yang justru akan mengeksploitasi perempuan. Semua ide ini nyatanya malah makin memperkukuh gerakan feminisme dan kesetaraan gender.


Upaya pembentukan Majelis Ulama Perempuan Global untuk menggali potensi para perempuan—dalam hal ini muslimah—agar bisa berkontribusi dalam isu-isu global dan kesetaraan gender pun justru akan menjauhkan agama dari kehidupan. Juga menghapus otoritas agama dalam kehidupan pribadi dan sosial, khususnya masalah perkawinan, perwalian, dan waris.


Mereka berupaya menyesuaikan perspektif syariat Islam dengan perspektif konsep kesetaraan gender, serta menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang terkait aturan perempuan sesuai keinginan mereka. Mereka bahkan memandang ayat-ayat Al-Qur’an sering menghambat konsep persamaan dan kesamaan laki-laki dan perempuan.


Dengan demikian, berdasarkan analisis fakta dan tujuannya, pembentukan majelis tersebut terbukti mengukuhkan gerakan feminisme dan kesetaraan gender. Di majelis itu, para feminis dan pengusung kesetaraan gender berkumpul dalam satu forum dengan tujuan yang sama, yakni untuk mengubah cara-cara berkehidupan menjadi tidak alami, bahkan melawan aturan yang sahih.


Istilah “ulama perempuan” yang mereka pakai sebagai nama forumnya pun ternyata tidak terbatas pada ulama berjenis kelamin perempuan, melainkan seluruh ulama yang memiliki perspektif gender perempuan.


Faqihuddin selaku Sekretaris SC di forum KUPI II menerangkan bahwa istilah “keulamaan” yang ia maksudkan tidak hanya merujuk pada mereka yang menguasai ilmu agama, melainkan juga pada mereka yang menguasai seluruh ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, siapa pun yang memiliki keilmuan dan pengalaman, tidak harus merujuk pada penguasaan ilmu agama dalam hal ini Al-Qur’an dan Hadis. Dengan demikian, tidak salah lagi kalau dikatakan gerakan ulama perempuan ini merupakan gerakan feminisme atau kesetaraan gender.


Kesetaraan Terbukti Merusak Kehidupan Perempuan, Keluarga, dan Generasi

Feminisme membentuk perspektif tentang definisi kesuksesan perempuan, yaitu mandiri finansial, sukses berkarier, serta berbagi tugas dan peran dengan laki-laki dalam kehidupan pernikahan, keluarga, dan masyarakat. Perempuan punya hak sama dalam pembagian upah, kontrol reproduksi, juga aborsi. Bahkan, seluruh dunia pun dipaksa merayakan Hari Perempuan dan mengejar kesetaraan gender sampai ke target Planet 50:50 pada 2030 mendatang.


Barat saja belum bisa mencapai kesetaraan gender, apalagi negara yang masih mengadopsi ide-ide Barat. Konsep kesetaraan gender yang dianut juga memusuhi dan menyerang Islam dan menganggap Islam sebagai penghalang besar bagi peluang keuntungan besar yang bakal diterima korporasi global.


Begitu nyata sistem kapitalisme mereduksi nilai perempuan yang dianggap berharga apabila mandiri secara finansial. Kapitalisasi ini mengatasnamakan kesetaraan gender. Tenaga kerja perempuan dianggap punya keunggulan komparatif sehingga mereka menebarkan propaganda demi memobilisasi keterlibatan perempuan secara ekonomi.


Selain itu, isu-isu gerakan feminisme melahirkan beraneka respons dari berbagai pihak di dunia Islam, di antaranya makin banyaknya para propagandis feminisme, baik individual maupun kelompok, lembaga pemerintah maupun LSM.


Feminisme sendiri merupakan derivasi sekularisme atau sosialisme yang akhirnya menginfiltrasi ke dunia Islam. Dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh gerakan feminisme atau kesetaraan gender ini benar-benar merusak kehidupan perempuan dan generasi muda yang menjadi target utamanya.


Sungguh, kemaslahatan perempuan, keluarga, dan generasi tidak akan pernah ada jika berjuang di ranah politik kapitalisme. Sekalipun perempuan yang menjadi penentu kebijakan, tetap saja nasibnya tidak akan berubah karena persoalan mendasarnya bukan pada siapa yang mengatur, melainkan pada apa yang menjadi sistem aturan untuk mengatur kehidupan masyarakat yang terdiri dari perempuan, keluarga, dan generasi.


Menurut K.H. M. Shiddiq al-Jawi, feminisme sebagai spirit gerakan perempuan diartikan sebagai suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut.


Adapun seorang feminis muslim menurut Yunahar Ilyas, selain kriteria tersebut adalah memiliki kesadaran akan ketakadilan gender (gender inequalities) yang menjadi benang merah pengikat semua feminisme adalah haruslah beragama Islam dan mempersoalkan Islam. Tidak heran ketika kehidupan perempuan, keluarga, dan generasi makin rusak karena ide gerakan feminisme atau kesetaraan gender ini dipaksakan diterima dan memang menyalahi fitrah manusia.


Melalui pembentukan Majelis Ulama Perempuan Global inilah kaum feminis melakukan gerakan untuk melanggengkan ide busuknya. Menjadikan istilah “ulama perempuan” sebagai tolok ukur pembenaran yang akan menjadi rujukannya.


Solusi Islam Kafah Memuliakan Perempuan

Benarkah kesetaraan gender yang diusung oleh Majelis Ulama Perempuan dapat menyelesaikan masalah perempuan? Ternyata, setelah mengkaji lebih mendalam, sama sekali jauh dari kata solusi, bahkan tidak layak diterima sebagai solusi. Kesetaraan gender terbukti berbahaya karena kaum feminis berjuang untuk mewujudkan ambisinya berperan di ruang publik dan merombak struktur sosial, bahkan mengesampingkan syariat Islam yang merupakan aturan yang sahih.


Ide dan konsep kesetaraan gender bertolak belakang dengan nilai-nilai Islam. Alhasil, yang layak menjadi solusi atas semua persoalan perempuan, keluarga, dan generasi adalah Islam kafah. Aturan Islam kafah yang telah memuliakan perempuan, sedangkan ide dan konsep kesetaraan gender absurd dan wajib ditolak.


Umat Islam tidak butuh kesetaraan gender mengingat Islam dengan segala kesempurnaannya sebagai ideologi atau asas hidup. Justru kapitalismelah sumber munculnya berbagai persoalan perempuan.


Walhasil, jika ingin solusi tuntas, segeralah pilih sistem Islam yang menjadikan Al-Qur’an dan Hadis sebagai petunjuk dan rahmat. Firman-Nya, “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi kaum muslim.” (QS An-Nahl: 89).


Tuntutan kesetaraan gender juga bukan berasal dari Islam. Islam memberikan status mulia bagi perempuan yang mau taat dan rida menjadikan Islam sebagai pedoman hidupnya. Firman-Nya, “Dan tidaklah pantas bagi laki-laki mukmin dan perempuan mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan yang lain bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh ia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.”

Post a Comment

Previous Post Next Post