SebPolitikagai bentuk komitmen menyukseskan pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) serentak di Sumsel tahun 2024, Pejabat (Pj) Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel), Agus Fatoni, bersama Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sumsel secara resmi menandatangani Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) di Auditorium Bina Praja, Kamis (9/11/2023) terkait dana Pilkada. Pj Gubernur Sumsel, pimpinan DPRD dan dari hasil pembicaraan politik hingga teknis administrasi dengan DPRD sudah menyepakati untuk pemilihan gubernur di Sumsel anggaran yang disediakan sekitar Rp234 M dan dibagi dua porsi.
Melansir dari rri.co.id (10/11), dimana dalam anggaran tersebut, porsi pertama 40% tahun 2023 atau sekitar Rp 93 miliar dan nanti di tahun 2024 senilai Rp 140 miliar yaitu 60%. Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia (RI), Hasyim Asy'ari menjelaskan untuk total pemilihan gubernur, bupati, walikota se Sumsel berdasarkan kontribusi APBD provinsi dan kabupaten atau kota totalnya sekitar Rp 1 triliun lebih sekian miliar.
Melalui anggaran ini, gubernur Sumsel berharap jalannya Pilkada serentak 2024 di Sumsel berlangsung sukses, agar bangsa dan daerah menjadi jauh lebih baik lagi. Terlebih, disebut dengan pesta demokrasi. Namanya juga pesta, harus dilakukan dengan gembira jangan menjadi beban
Sesungguhnya, rakyak menyayangkan dana yang cukup fantastis dikeluarkan sekadar untuk pesta demokrasi. Mengingat, ada urgensitas yang lebih penting lagi yakni mengentaskan kemiskinan dan kelaparan, khususnya di wilayah Sumsel. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Selatan, tingkat kemiskinan ekstrem di wilayah Sumsel berada pada angka 1,29 persen per bulan Maret tahun 2023.
Meskipun secara data, angka kemiskinan tersebut mengalami penurunan dari 3,19 persen pada Maret 2022 menjadi 1,29 persen pada Maret 2023. Tapi secara fakta, Sumsel masih dihantui bayang-bayang kemiskinan. Seperti maraknya kasus kriminalitas sebanyak 4.364 pada 2023, bunuh diri akibat terlilit utang, dan kekerasan dalam keluarga yang dipicu masalah ekonomi.
Berbiaya Mahal
Telah jamak diketahui jika demokrasi berbiaya mahal. Mahalnya biaya politik ini datang dari prinsip demokrasi kapitalisme, yakni kekuasaan di tangan korporat. Walaupun dengan jargon 'dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat'. Kepemimpinan terpilih dari besarnya partisipasi dalam pemilihan yang dilakukan oleh rakyat. Faktanya, para oligarkilah yang berkuasa.
Bukan hanya saat masa pemilihan, saat pencalonan pun uang yang dikeluarkan tak sedikit. Menurut Lembaga Pers Mahasiswa (LPM), Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Indonesia (UI), modal menjadi caleg cukup variatif. Calon anggota DPR RI mencapai Rp 1,15 miliar - Rp 4,6 miliar. Sementara untuk calon anggota DPRD Provinsi Rp 250 juta - Rp 500 juta (CNBCIndonesia.com, 24/8). Fantastis bukan!
Sementara skala nasional, melansir cimahikota.bawaslu (28/12),
dalam Pemilu Serentak Tahun 2024, negara telah menyiapkan anggaran sebesar Rp76,6 triliun yang bersumber dari APBN dan Rp26,2 triliun yang bersumber dari APBD untuk Pilkada serentak tahun 2024. Sehingga total anggaran untuk pesta demokrasi tersebut menelan biaya sebesar Rp102,8 triliun. Mencengangkan!
Namun sayang, di tengah krisis ekonomi dan kesulitan di mana-mana, amat sayang rasanya dana tersebut digunakan tidak sesuai fungsinya. Pemimpin yang dihasilkannya pun masih sama. Yakni, pemimpin yang melanjutkan sistem kufur buatan manusia, yakni demokrasi.
Demokrasi adalah sistem warisan penjajah yang semakin nyata kerusakannya. Tidak mampu menjamin kesejahteraan rakyat. Tak jarang, para elite politik yang sedang 'bertarung' itu tak memahami urgensi kepemimpinan yang sebenarnya.
Politik ala Islam
Di dalam Islam, politik adalah ri'ayah suunil ummah atau mengurusi urusan umat. Artinya, negara tidak hanya sibuk berdiri di atas kekuasaannya tapi juga setiap urusan dalam kepengurusannya. Posisi utama negara adalah sebagai penanggung jawab urusan rakyat, dan memecahkan problematik kehidupan rakyat.
Alhasil, keberadaan pemimpin dalam Islam amatlah penting. Karena dia sebagai pengatur dan pengurus kebijakan untuk rakyatnya. Sistem kepemimpinan dalam Islam disebut Khilafah. Khilafah adalah sistem yang berasal dari Allah Swt. sebagai Rabb Semesta alam.
Pemilihan pemimpin dalam Islam tidak berbiaya mahal seperti halnya demokrasi. Metode mengangkat pemimpin adalah dengan bai'at. Bai'at adalah perjanjian untuk taat agar pemimpin Islam menerapkan al-Qur'an dan As-Sunah dalam kehidupan bernegara. Pemilihan dilakukan oleh sebagian umat, hingga diperoleh seorang calon untuk menempati jabatan kepala negara dan suara terbanyak yang akan menjadi Khalifah.
Pemimpin yang dipilih bukanlah pemimpin yang hanya bermodal materi besar. Karena harus memenuhi syarat-syarat khusus. Ada syarat-syarat in’iqad, yakni muslim, laki-laki, balig, orang yang berakal, adil, merdeka, dan mampu. Sementara untuk memilih pemimpin wilayah (wali) dan amil, maka Khalifahlah yang akan memilihnya.
Jika mekanisme pemilihan pemimpin dilaksanakan sesuai syari'at Islam, maka tidak perlu biaya mahal. Keuangan akan dikelola dengan baik untuk sesuatu yang sangat penting. Pemimpin yang dihasilkan dalam sistem Islam adalah pemimpin yang sesuai harapan. Karena mereka akan menerapkan hukum Allah Swt. dalam mengatur kehidupan rakyatnya.
Wallahu a'lam bis ash-hawab.
Post a Comment