Darurat Kekerasan Seksual, Butuh Solusi Integral

Oleh Jasli La Jate

(Pegiat Literasi) 


Masalah kekerasan seksual di negeri ini tak kunjung selesai. Kasusnya terus merebak ke mana-mana. Salah satunya merebak ke Sulawesi Tengah (Sulteng). Sepanjang tahun 2023, kasus kekerasan perempuan dan anak di propinsi ini cukup tinggi. Mirisnya, kekerasan seksual menjadi kasus yang paling dominan dibandingkan dengan bentuk kekerasan lain. Dari semua laporan tersebut, sebagian besar pelakunya adalah orang yang dikenal atau keluarga sendiri.


Beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi di Sulawesi Tengah, di antaranya, kasus kekerasan seksual secara online di kampus Universitas Tadulako (Untad) Palu kepada mahasiswinya. Pelaku adalah dosennya sendiri dengan rayuan iming-iming nilai yang bagus. Kemudian kasus pemerkosaan anak usia 15 tahun oleh 11 orang di Kabupaten Parigi. Salah satu pelakunya adalah anggota kepolisian. Selanjutnya, kasus pemerkosaan seorang bocah SD berusia 7 tahun asal Desa Galuga, Kecamatan Tojo Barat, Kabupaten Tojo Una-Una oleh ayah kandung dan dua rekannya. Kasus pembunuhan seorang bocah SD berinisial AR (8) di Kota Palu. Diduga, korban mengalami penganiayaan dan kekerasan seksual oleh MFM (16), anak pensiunan perwira polisi. 


Berdasarkan laporan data Simfoni PPA Sulteng, bulan September 2023, kasus kekerasan perempuan dan anak mencapai 444 kasus kekerasan. 406 kasus diantaranya menyasar kepada perempuan dan korban laki-laki hanya 65 kasus. Adapun jumlah kasus per Kabupaten maupun Kota yang menjadi penyumbang kasus tertinggi yakni Kota Palu 77 kasus, Buol 54 kasus, Toli-Toli 54 kasus, Sigi 50 kasus, Tojo Una-Una 43 kasus, Poso 32 kasus, Morowali 29 kasus, Donggala 29 kasus, Morowali Utara 16 kasus, Parimo 16 kasus, Banggai 16 kasus, dan Banggai Kepulauan 14 kasus. Kasus kekerasan seksual anak menjadi kasus yang paling dominan yakni mencapai 236 kasus. Selanjutnya menyusul kekerasan psikis 199 kasus dan kekerasan fisik 181 kasus. (filesulawesi.com, 15/11/2023) 


Kasus di atas merupakan data yang terlihat atau data yang melapor. Dipastikan ini merupakan fenomena gunung es. Artinya bisa jadi masih banyak kasus yang belum terdata. Karena tidak semua berani melapor, apalagi harus berhadapan dengan jalur hukum. Dari fakta di atas juga menunjukkan tidak ada tempat yang aman untuk terbebas dari tindakan kekerasan. Di mana saja berada, kekerasan seksual bisa saja terjadi dan parahnya pelakunya bisa dari orang yang terdekat seperti orang tua, dan teman. Hal ini jelas menggambarkan rusaknya masyarakat saat ini. Rasa peduli, empati, rasa kemanusiaan dan penghormatan kepada sesama manusia tampak telah memudar dan hilang. Mirisnya, banyak korban pelecehan seksual dari anak di bawah umur. 


Sebenarnya, sudah banyak upaya untuk menghapuskan tindak kekerasan baik secara global maupun nasional. Diawali dengan CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms Discrimintion Against Women) pada 1980 dan diratifikasi melalui Undang-Unang Nomor 7 tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Diskriminasi terhadap Wanita. Kemudian Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Perlindungan Anak. Namun, faktanya, semua itu tidak mampu mencegah, apalagi memberantas terjadinya tindak kekerasan seksual. Parahnya, makin ke sini, pelaku kejahatan seksual adalah anak-anak. Bagaimana Islam menyikapi hal tersebut? 


Penyelesaian Tak Berujung


Kasus kekerasan perempuan dan anak terus saja terjadi. Padahal berbagai regulasi, aturan ataupin konvensi tentang penghapusan tindak kekerasan terus dilakukan. Namun, hal ini tak membuat kekerasan seksual bisa diberantas dengan tuntas. Ada banyak faktor yang membuat kekerasan seksual terus saja terjadi. 


Pertama, pergaulan bebas. Adanya pemikiran liberal menjadikan kasus pelecehan seksual makin marak. Segala perbuatan hanya memperturutkan hawa nafsu dan menjadi konsumsi sehari-hari. Interaksi antara laki-laki dan perempuan makin tak ada batas. Aktivitas umbar aurat dan campur baur di mana-mana (ranah umum maupun khusus). Ditambah kurikulum pendidikan yang membuat anak makin bebas. Dijauhkan dari aturan agama. Outputnya, menghasilkan orang-orang yang mengabaikan agama. 


Kedua, media. Media massa tak andil menyelesaikan persoalan kasus pelecehan seksual. Bahkan sebaliknya, turut menyuburkan tontonan yang meningkat gairah seksualitas. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sendiri mengakui tak punya kewenangan mengatur konten-konten dari layanan over the top (ott) atau streamimg seperti netflix. 


Ketiga, masyarakat cuek. Masyarakat dalam naungan kapitalisme adalah masyarakat yang cuek akan keadaan sekitar. Aktivitas amar makruf nahi mungkar tidak dibudayakan. Kehidupan individualistik telah menghilangkan aksi peduli dan saling menasehati pada sesama. Akibatnya tindak kejahatan termasuk kekerasan seksual makin subur. 


Keempat, sanksi yang lemah. Tiadanya sanksi yang tegas membuat para pelaku kejahatan seksual tidak jera. Mereka makin bebas melakukan aksinya. Terus melakukan tanpa takut akan hukuman yang didapatkan. Tindak kekerasan seksual akan dikenakan pidana sanksi pidana berupa penjara paling lama 9 (sembilan) bulan atau denda paling banyak 10.000.000-, (sepuluh juta rupiah) 


Kelima, keluarga. Keluarga dalam sekularisme tidak lagi menjadi pelindung. Rumah tidak lagi menjadi tempat nyaman bagi perempuan dan anak. Pasalnya, dari sekian kasus, sebagian besar pelakunya adalah keluarga. 


Semua ini adalah buah dari sistem yang diterapkan saat ini yakni kapitalisme sekularisme. Sistem ini menjauhkan agama dari kehidupan. Aturah syariat dinihilkan. Orang bebas melakukan apa saja yang diinginkan. Tidak takut akan dosa apalagi merindukan surga. Tak heran mengikis akal sehat. Anak-anak yang seharusnya dikasihani, dilindungi malah dijadikan sasaran empuk kejahatan pemuas nafsunya. Sungguh miris! 


Islam Solusi Hakiki


Penyelesaian kasus kekerasan seksual akan tuntas hanya dengan Islam. Sebab Islam adalah solusi atas seluruh problem kehidupan. Islam bukan hanya mengatur masalah ibadah ritual seperti salat, puasa, zakat dan haji. Islam juga mengatur masalah kehidupan umum seperti kesehatan, pendidikan, ekonomi, pemerintahan termasuk masalah kekerasan seksual. Islam menyelesaikan masalah kekerasan seksual menggunakan solusi menyeluruh dalam penyelesaiannya. Solusi bukan dilihat hanya pada satu aspek semata, tetapi melihat permasalahan dari berbagai sisi. Artinya, Islam menyelesaikan permasalahan dari akarnya. 


Pergaulan. Menerapkan sistem pergaulan Islam yang mengatur interaksi laki-laki dan perempuan, baik ranah umum maupun privat. Dasar aturan ini adalah akidah Islam yakni semua perbuatan terikat dengan syariat. Sistem Islam akan menutup celah aktivitas yang mengumbar aurat atau sensualitas di tempat umum. Sebab, kejahatan seksual bisa terpicu karena adanya rangsangan dari luar yang kemudian memengaruhi naluri seksual (gharizah an-nau'). Selain itu, kehidupan umum akan diatur terpisah baik di sekolah, Perguruan tinggi maupun layanan publik. Tidak akan dijumpai kasus pelecehan seksual baik, di kampus atau di lingkungan pendidikan akibat kehidupan campur baru atau khalwat. 


Media. Dalam bidang informasi dan media massa, syariat Islam menempatkan media sebagai alat mengukuhkan ketakwaan dan mewujudkan peradaban cemerlang. Artinya Media sebagai alat edukasi dan dakwah. Konten-konten diatur sedemikian rupa agar mewujudkan tujuan media itu sendiri. Media juga sebagai alat membangun wibawa negara sekaligus alat melemahkan musuh. Alhasil, keberadaan media dalam negara Islam tidak hanya soal legalitasnya, namun kontennya dipastikan tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. Jika ada yang melanggar, negara akan memblokir bahkan menghukum penanggung jawabnya. 


Kontrol masyarakat. Dalam Islam, sistem kontrol masyarakat berupa amal makruf nahi mungkar ditegakkan. Masyarakat akan saling menasehati dalam kebaikan dan ketakwaan. Juga menyelisihi segala bentuk kemaksiatan. Semuanya dilakukan dengan cara yang baik. Pelaporan dan penjagaan aktivitas ini dilakukan masyarakat atas dasar dorongan ketakwaan. 


Sanksi yang tegas. Islam menerapkan sanksi yang tegas terhadap pelaku kejahatan seksual. Contohnya, jika pelaku kejahatan seksual sampai pada kategori zina, maka sanksi bagi pelaku berupa had zina yakni dirajam (dilempari batu) sampai mati jika pelakunya muhshan (sudah menikah). Kemudian jika pelakunya ghairu muhshan (belum menikah) dijilid (dicambuk) 100 kali dan diasingkan selama setahun. Sanksi tegas ini akan berefek jera (zawajir) bagi si pelaku sekaligus penghabus dosa (jawabir) yang telah dilakukannya ketika sampai nanti di hari penghisaban kelak. Adapun belum sampai zina, melainkan sampai pemaksaan maka akan dijatuhi sanksi tersendiri yakni hukuman takzir yang ditetapkan oleh hakim atau kadi yang sanksinya menjerakan bagi pelaku maupun orang-orang yang semisalnya.


Keluarga. Sekuat apapun godaan hawa nafsu, jika setiap anggota keluarga muslim mempunyai keimanan yang kuat, niscaya akan saling menjaga agar semua taat kepada Allah, terhindar dari perbuatan dosa. Maka, keluarga harus dibentengi dengan keimanan yang kokoh. Alhasil, keluarga menjadi tempat nyaman dan berlindung bagi perempuan dan anak-anak. 


Demikianlah, hanya dengan penerapan Islam kafah, kejahatan seksual bisa tercegah dan terselesaikan dengan tuntas. Saatnya campakkan kapitalisme sekularisme yang merupakan biang kerusakan. 

Wallahualam bissawab


Post a Comment

Previous Post Next Post