Danau Retensi untuk Pengendali Banjir atau Rekreasi?


Oleh Khatimah

Pegiat Dakwah


Beberapa waktu lalu Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah membangun sebuah danau retensi di Kabupaten Bandung, proyek yang menghabiskan dana yang fantasis yaitu mencapai Rp142 miliar. Tujuan awal pembangunan ini adalah untuk mengendalikan banjir, namun dalam perjalanannya tempat tersebut nantinya akan dijadikan sebagai sarana rekreasi. Sejak awal keberadaannya bukan sekedar untuk konservasi, tapi juga sebagai destinasi wisata dalam rangka mendongkrak perekonomian daerah dan masyarakat sekitar. (AyoBandung.com 19/01/2024) 


Proyek  tersebut sebelumnya telah mendapat dukungan dari pihak Pemprov Jabar, mereka menyetujui akan dibangunnya lima Danau Pengendali Banjir di Kabupaten Bandung tersebut dengan luas sekitar 170 hektar, dan tahap awal akan dilakukan pembangunan di wilayah Kecamatan Tegalluar seluas 13,3 hektar. Hal itu diungkapkan Gubernur Ridwan Kamil yang didampingi oleh Bupati Dadang Supriatna dalam acara HUT Kabupaten Bandung ke-381. Ia mengatakan bahwa ini adalah peristiwa bersejarah yang masih dalam konteks Program Citarum Harum. 

Sampai saat ini danau retensi yang ada belum mampu mengendalikan banjir, mengingat debit air yang besar sulit tertampung. Ketika danau tersebut luber maka akan banyak daerah yang terdampak. Seharusnya masalah banjir diselesaikan dari akarnya, bukan cabangnya. Pembangunan yang menghilangkan banyak tanah resapan, alih fungsi lahan yang tak terkendali, seharusnya itulah yang menjadi perhatian para pemangku kebijakan. Namun sayang hal itu tidak dilakukan. 


Meski danau retensi diklaim mampu mengurangi cakupan area terdampak banjir hingga 81%, akan tetapi angka persentase sisanya yaitu 19% bukan angka yang sedikit. Perlu penanganan serius agar masyarakat tidak selalu waswas. 


Banjir belum teratasi, sudah berpikir keuntungan. Danau retensi selanjutnya dijadikan sarana rekreasi yang bisa mendatangkan pundi-pundi uang. Pemasukan bagi pemerintah daerah sementara rakyat yang terkena banjir tetap resah. Inilah jika proyek dibangun atas paradigma kapitalistik. Segala sesuatu harus mendatangkan uang walaupun dari rakyatnya sendiri.


Diketahui bersama jika Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami defisit anggaran, dikarenakan pendapatan negeri lebih kecil dari pengeluarannya. Pemasukan yang berasal dari sumber daya alam semakin berkurang karena sebagian besar dikuasai swasta. Sehingga mendorong pemerintah mencari pemasukan untuk kas negara dari sektor wisata yang dianggap  mampu menyelesaikan masalah ekonomi. Padahal, masalah utamanya yaitu banjir hingga saat ini belum tersolusikan secara tuntas karena langkah yang diambil bersifat parsial.


Berbeda dengan sistem kapitalisme, Islam datang dengan seperangkat aturan untuk menyelesaikan setiap permasalahan, termasuk banjir. Penanganan banjir dan tempat wisata adalah dua hal yang berbeda.  Pertama, pada kasus banjir yang disebabkan karena keterbatasan daya tampung tanah terhadap curahan air, baik akibat hujan, gletsyer, rob, dan lain sebagainya, maka negara akan membangun bendungan-bendungan yang mampu menampung curahan air dari aliran sungai, curah hujan, dan lain sebagainya. 

Di masa keemasan Islam, bendungan-bendungan dengan berbagai macam tipe telah dibangun untuk mencegah banjir maupun untuk keperluan irigasi. Seperti yang ada di Provinsi Khuzestan, daerah Iran Selatan yang masih berdiri kokoh hingga saat ini.


Negara juga akan memetakan daerah-daerah rendah yang rawan terkena genangan air dan selanjutnya membuat kebijakan melarang masyarakat membangun pemukiman di wilayah-wilayah tersebut. Selain itu juga akan dibangun kanal, sungai buatan dan saluran drainase untuk mengurangi dan memecah penumpukan volume air juga untuk mengalihkan aliran air ke daerah lain yang lebih aman. Hal ini akan dilakukan secara berkala, dengan mengeruk lumpur-lumpur di sungai, atau daerah aliran air, agar tidak terjadi pendangkalan. Kemudian akan dibuat juga sumur-sumur resapan di kawasan tertentu yang digunakan untuk tandon air yang sewaktu-waktu bisa digunakan, terutama jika musim kemarau atau paceklik air. 


Negara berfungsi untuk menyelesaikan masalah yang dialami rakyatnya. Kalau di suatu wilayah yang rendah mengalami banjir berulang, maka negara wajib memindahkan ke wilayah yang aman, tidak dibiarkan.


Kedua, terkait tempat wisata, negara  akan menyediakan secara cuma-cuma bagi seluruh warganya. Kalaupun harus bayar maka akan dikenakan biaya semurah-murahnya. Negara bukanlah sebagai pihak penjual yang selalu harus mendapat untung. 


Tempat wisata ditata sebagai sarana edukasi tempat orang bertafakur atas kebesaran Allah Swt. Pencipta alam ini dengan segala keindahannya. Sehingga semakin menumbuhkan dan menguatkan keimanan kepada Allah Swt. Dalam sistem Islam, sektor wisata bukanlah pemasukan bagi negara.


Sudah saatnya tinggalkan kapitalisme beralih kepada sistem Islam saja. Allah Swt. berfirman yang artinya:


"Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin"?. (QS Al-Maidah-50) 


Wallahu'alam bish shawwab.

Post a Comment

Previous Post Next Post