CAROK ANTARGENERASI, BUKAN PENJARA PEMUTUS MATARANTAINYA

Ibnu Rusdi


Lagi, terjadi di Kabupaten Bangkalan. Empat orang meninggal dunia dalam peristiwa berdarah pada malam hari. Perkelahian maut itu bermula dari cekcok karena pelaku menegur korban yang berkendara dengan kecepatan tinggi. Kemudian terjadilah bentrok antara 2 orang dengan 4 orang yang sama-sama bersenjata tajam. Tiga korban meninggal dunia di tempat kejadian. Seorang lainnya meninggal dalam perjalanan menuju Puskesmas. Sementara dua orang pelakunya diamankan oleh pihak Polres Bangkalan. (Serambinews.com, 15 Januari 2024).


Duel bersenjatakan clurit dikenal dengan istilah "Carok". Masyarakat Madura, sebagiannya masih kokoh mewarisi prinsip 'bela harga diri' dari tetua mereka. Kalau merasa dipermalukan di depan umum, dihina, atau direndahkan, reaksi ekstrem refleks muncul. "Bango'an pote tolang etembang pote mata" (Lebih baik putih tulang dibandingkan putih mata), demikian itulah filosofi populer masyarakat Madura. Maknanya, lebih baik terluka karena berlaga dibandingkan menanggung malu karena dihina.


Tak ayal, carok berkembang oleh opini umum menjadi 'budaya' orang-orang Madura. Ayahnya yang meninggal karena terbunuh saat duel carok, menumbuhkan rasa dendam anak-anaknya. Perseteruan dan perkelahian di antara dua pihak berlanjut dari generasi ke generasi. Seperti pertarungan berseri.


Budaya duel maut ini bukannya dibiarkan tanpa upaya memutus benang estafetnya. Akan tetapi, pendewasaan melalui naiknya taraf pendidikan sosial rupanya kurang ampuh. Program pembinaan masyarakat semisal pembekalan Kadarkum (Kesadaran Hukum) cukup intens dilakukan Pemerintah Daerah secara lintasdinas dan instansi.


Pun demikian jatuhnya sanksi 'setimpal' kepada orang yang menang laga. Penjara dalam masa yang dikalkulasi bikin jera telah pula dijalankan. Tetapi berita kriminal, termasuk peristiwa pembunuhan karena carok masih juga kerap terdengar.


Saat negara tertuntut menurunkan jumlah peristiwa carok, bahkan memutus rantai estafetnya, solusi opsional manalagi yang bisa dipilih? Jawaban ilmiahnya tentu perlu diyakini, yakni solusi Islam. Kadar hukuman atas tindak kejahatan serupa dan seimbang balasannya oleh putusan Syariat Islam. Alquran menetapkan wasiat kepada penguasa:


"Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka pun ada qisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qisas)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim."


Hukuman terhadap pelaku kriminal yang sama dengan cedera yang diderita korban, atau pemberian maaf dari pihak korban maupun keluarganya, mengandung dua senjata pemusnah. Jika pelaku dimaafkan, itu menunjukkan suasana sukarela dalam jiwa keluarga korban. Tidak ada lagi tersisa kotoran hati berupa dendam berketerusan.


Sedangkan eksekusi qisas yang dituntut oleh keluarga korban akan mempersaksikan pedih yang sama di hadapan mereka. Luka di hidung dengan luka di hidung. Sedangkan terhadap pembunuhan qisas berupa eksekusi bunuh pelaku, memutus seketika objek kemungkinan berlanjutnya sasaran dendam.


Sebuah konsepsi keadilan yang sejak teorinya sudah dirasakan keadilannya. Maka benarlah buah terpeliharanya kehidupan oleh berlakunya qisas. Alquran memastikan hal itu: "Dan dalam qisas itu ada (jaminan keberlangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa."


Merupakan kepastian yang tidak sedikitpun menyimpan keraguan. Bahwa qisas dan Syariat Islam seluruhnya, adalah solusi tuntas apapun persoalan negara dan masyarakatnya.@

•••••••••••

Post a Comment

Previous Post Next Post