Ibu Rumah tangga dan Pegiat Literasi
Dalam acara yang diselenggarakan oleh Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) yang dihadiri oleh Bupati Bandung, Dadang Supriatna di Grand Sahid Jakarta, Kamis 11/01/2024, dibahas mengenai masalah pendidikan dan upaya peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
APKASI sendiri adalah lembaga yang sudah menjalin kerjasama dengan 21 Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Dan telah memberikan hampir 10.000 kuota beasiswa untuk anak-anak daerah, 7500 di antaranya untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) dan 2500 lainnya untuk mahasiswa baru. Dalam acara tersebut, Selain masalah pendidikan, juga dibahas mengenai peningkatan PAD melalui Carbon Trading (perdagangan karbon). Yaitu pembelian dan penjualan atas pengeluaran karbondioksida atau gas rumah kaca.
Lewat carbon trading perusahaan-perusahaan luar negeri yang tidak memiliki hutan di negaranya bisa membeli udara kepada kita dan membayar daerah yang memiliki lahan hijau supaya terjaga kelestariannya. Bahkan menurut pasal 1 ayat (6) peraturan presiden nomer 46 tahun 2008, tentang Dewan Perubahan Iklim, kegiatan itu didefinisikan sebagai jual beli sertifikat pengurangan emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim
Munculnya carbon trading di dunia, dilatarbelakangi oleh adanya bencana perubahan iklim yang akan mengancam kelestarian bumi dan umat manusia, yang disebabkan oleh banyaknya karbon ke udara yang berasal dari sisa pembakaran yang dihasilkan industri atau rumah tangga. Pelepasan yang terdapat di udara akan menyebabkan terjadinya efek gas rumah kaca. Untuk mencegah makin parahnya pemanasan global maka muncul ide ini.
Gagasan tersebut muncul dari Protokol Kyoto, yaitu sebuah perjanjian PBB yang menetapkan tujuan pengurangan emisi karbon global dan mitigasi perubahan iklim mulai 2005. Perdagangan ini merupakan aktivitas penyaluran dana dari negara-negara penghasil emisi karbon kepada negara yang memiliki hutan untuk menyerapnya.
Dari pengelolaan hutannya Indonesia memiliki kapasitas reduksi karbon lebih dari 686 juta ton. Jika harga rata-rata per ton karbon sebesar US$5, maka Indonesia berpotensi menjual sertifikat surplus karbon senilai US$3,430 milyar atau sekitar Rp 34 triliun.
Perdagangan emisi karbon dinilai hanya untuk mengalihkan perhatian dan ketidakseriusan dunia dalam menyelesaikan problem pemanasan global. Perdagangan karbon dianggap tidak berkeadilan untuk negara-negara produsen hutan tropis sebab dianggap diperdaya oleh negara-negara Industri.
Sayangnya perdagangan karbon malah diapresiasi, seharusnya negara-negara yang terkena dampak atau harus ikut memikirkan, menyampaikan kritiknya kepada negara-negara maju atas industri yang melewati batas normal.
Perdagangan karbon sebenarnya bukan menyelesaikan masalah tapi justru membiarkan emisi karbon tetap berlangsung, penyelesaiannya melibatkan banyak negara. Seharusnya solusinya dengan mengurangi emisi karbon itu sendiri. Tetapi hal ini tidak dilakukan, sebab bukanlah hal mudah dijalankan dalam sistem kapitalisme yang hanya berpikir keuntungan. Negara-negara besar terus memproduksi industrinya hingga melampaui daya dukung lingkungan tanpa memperdulikan dampaknya.
Dalam kapitalisme produksi terus digenjot dan ditingkatkan yang berakibat bumi kelelahan karena dieksploitasi tiada henti dan mengakibatkan bencana alam. Jika ingin menghentikan pemanasan global, paradigma pembangunan industri ala kapitalisme ini harus diubah secara mendasar, diganti dengan pemahaman yang shahih tentang industrialisasi. Allah Swt. mengingatkan: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepadaNya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan) sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. (Qs: Al-a’raf :56)
Maksud dari ayat di atas seharusnya manusia memikirkan agar bisa hidup dan beraktivitas dengan tetap menjaga kelestarian bumi, termasuk meminimalkan emisi karbon yang dihasilkan. Melalui perdagangan karbon, ada kesan bahwa negara-negara besar boleh mengotori langit, asalkan membayar dengan nominal. Sementara di Indonesia sendiri hutan terus berkurang akibat alih fungsi lahan.
Islam mengajarkan umat muslim untuk menjaga lingkungan dan melarang merusak bumi. Industri yang ada harus diatur sedemikian rupa sesuai kebutuhan bukan untuk memenuhi gaya hidup seperti dalam sistem kapitalisme.
Kapitalisme memandang kebutuhan manusia tidak terbatas, sesuai dengan makna kebahagiaannya, yaitu terkumpulnya materi sebanyak-banyaknya. Sementara Islam memandang kebutuhan manusia bisa dibatasi, karena kebahagiannya adalah mencapai rido Alloh Swt. Umat tidak didorong untuk hidup konsumtif sebagaimana dalam kapitalisme.
Ketika aturan Islam yang diterapkan maka pemimpin negara akan memastikan bahwa industri akan berjalan tetapi dipastikan tidak mengakibatkan mudharat bagi warganya juga warga negara lain. Pembangunan industri akan dibuat ramah lingkungan, sedangkan warga negara akan diedukasi hanya menggunakan produk yang ramah lingkungan, pihak swasta akan dipaksa untuk tunduk pada regulasi, jika ingin mendapatkan izin usaha.
Penerapan sistem Islam akan mengarahkan industri yang tidak membahayakan bagi kesehatan. Maka selama kapitalisme tegak di muka bumi kerusakan alam akan terus terjadi. Sifat konsumtif yang terus dijajakan kapitalisme telah merusak tatanan kehidupan. Oleh karena itu solusi emisi karbon bisa tuntas saat syariat Allah Swt. diterapkan dalam naungan kepemimpinan.
Wallahu alam Bissawab
Post a Comment