Cara Islam Menyolusikan Masalah Konflik Lahan


Oleh Irma Faryanti

Pegiat Literasi 


Masalah agraria, seolah tak henti dilanda konflik. Setidaknya dalam rentang waktu 13 tahun (2009-2022) terjadi 4.107 kasus yang berdampak pada 2,25 juta Kepala Keluarga (KK). Angka ini didapat dari rangkaian laporan akhir tahun Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) yang rutin dirilis sejak 2009. Adapun data tersebut diperoleh dari sejumlah sumber seperti: korban yang melaporkan, pengumpulan dari berbagai daerah, investigasi lapangan, dan pemantauan pemberitaan media massa. (Databoks.katadatacoid, Jumat 12 Januari 2024)


Data tersebut pada dasarnya merupakan angka minimal dari total konflik yang terjadi di negeri ini. Itupun tercatat hanya yang bersifat struktural disebabkan oleh kebijakan pejabat publik dan mengakibatkan terancamnya hak-hak konstitusional masyarakat atas sumber-sumber agraria. Jadi hal-hal lain semisal sengketa tanah biasa atau antar perusahaan juga perebutan hak waris, tidak termasuk dalam pencatatan.


Konflik agraria terbanyak yang telah tercatat sepanjang tahun 2009-2022 terjadi pada masa kepemimpinan Presiden Jokowi, yaitu sebanyak 659 kasus di tahun 2017 yang memakan cukup banyak korban. Diantaranya: 13 orang tewas, 6 lainnya tertembak, sementara 369 orang ditahan/dikriminalisasi dan 612 lainnya menjadi korban kekerasan. Umumnya, peristiwa tersebut terjadi di sektor perkebunan terutama komoditas kelapa sawit, sektor properti dan infrastruktur.


Berdasarkan catatan KPA, 497 kasus kriminalisasi telah terjadi pada pejuang hak atas tanah. Jumlah tersebut kemudian mengalami kenaikan  secara signifikan. Dewi Kartika selaku Sekretaris Jenderal KPA menyatakan bahwa dari pihak pemerintah sendiri belum ada perubahan berarti dalam menangani konflik agraria, baik di tingkat pusat maupun daerah. Bahkan upaya membendung agar tidak semakin meluas pun dianggap lemah dan lambat. Mirisnya, hal ini terjadi pada perusahaan pelat merah yang notabene adalah badan usaha milik pemerintah.


Meningkatnya angka kasus konflik agraria semakin menegaskan bahwa penguasa belum mampu memberi penyelesaian secara tuntas. Pada akhirnya rakyat lah yang menjadi korban karena tidak sanggup bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar. Permasalahan ini sifatnya sistemik dan tidak bisa dilepaskan dari aturan yang saat ini tengah diterapkan yaitu kapitalisme demokrasi. Sebuah sistem yang menjunjung tinggi nilai kebebasan, yang salah satunya adalah merasa bebas memiliki.


Kebebasan kepemilikan meniscayakan siapapun yang memiliki modal besar untuk menghalalkan segala cara termasuk dalam hal pengurusan lahan. Berbagai konflik yang terjadi adalah akibat kesalahan tata kelola dalam masalah agraria. Seseorang yang memiliki tanah, ketika ia tidak mampu menunjukkan sertifikat, maka statusnya adalah milik negara. Pemerintah boleh memberikan Hak Guna Usaha (HGU) pada siapapun yang menginginkannya, tanpa peduli apakah wilayah itu berpenghuni ataukah tidak. Seperti kasus pulau Rempang beberapa waktu lalu.


Bahkan saat ini, jika ditemukan wilayah yang di dalamnya terdapat tambang atau kekayaan alam lain, hal itu akan menarik perhatian pengusaha dan para pemilik modal untuk mengeksploitasi dan menguasainya, walaupun tanah tersebut jelas milik warga. Maka tidak heran, akan terjadi kriminalisasi pada pemilik sah lahan yang berusaha mempertahankan haknya.


Oleh karena itu, konflik agraria tidak akan pernah tersolusikan selama aturan yang ditetapkan tidak jelas. Di mana negara lebih berpihak pada para penguasa dan pemilik modal, bahkan mereka dibiarkan ikut campur dalam penentuan kebijakan. Kepemilikan lahan dibiarkan bebas, walaupun harus merampas hak milik rakyat yang telah menempatinya selama bertahun-tahun.


Lain halnya dengan Islam, sebagai sistem hidup yang paripurna, segala sesuatu akan ditetapkan sesuai tuntunan syariat. Termasuk dalam masalah kepemilikan, Allah telah menetapkan bahwa sumber daya alam terkait air, api dan padang gembalaan dilarang dikuasai oleh individu. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam HR Abu Dawud dan Ahmad:

“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air , dan api.”


Demikian pula terkait masalah kepemilikan, aturannya sangat jelas. Ditetapkan bahwa khusus untuk milik individu, negara tidak diperbolehkan melakukan perbuatan sewenang-wenang dengan merebut hak milik orang lain. Justru sebuah lahan harus diberikan kepada orang yang mampu menghidupkannya.


Dengan kembali pada syariat dan menerapkannya dalam seluruh aspek kehidupan, maka seluruh permasalahan akan tersolusikan, termasuk masalah lahan. Maka konflik agraria pun akan terhindarkan. Namun semua itu baru akan terlaksana, saat hukum Allah Swt. diterapkan secara menyeluruh dalam sebuah sistem pemerintahan Islam.

Wallahu alam Bissawab

Post a Comment

Previous Post Next Post