Pegiat Dakwah
Jawa Barat, khususnya di Kabupaten Bandung termasuk salah satu wilayah yang menjadi langganan banjir di setiap musim penghujan. Musibah berulang ini tak dimungkiri membuat warga panik dan tidak tenang. Hujan yang notabene adalah berkah, menjadi fenomena yang menakutkan.
Sedikitnya 2000 rumah terendam akibat banjir besar di Kecamatan Dayeuhkolot, Baleendah, dan Bojongsoang. Musibah memaksa sebagian warganya untuk mengungsi karena dikhawatirkan kemungkinan terjadinya tanah longsor dan angin puting beliung. (RRI.co.id, 12-01-2024)
Menyikapi hal tersebut, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bandung, Jawa Barat menetapkan status tanggap darurat bencana banjir mulai tanggal 13-26 Januari 2024. Dadang Supriyatna selaku Bupati, berupaya memastikan penyediaan kebutuhan dasar bagi warga terdampak banjir bisa mencukupi. Kepala BNPB telah memberikan bantuan sebesar Rp350 juta guna operasional penanganan bencana.
Sebetulnya sangat disayangkan, di mana status tanggap darurat baru ditetapkan 2 hari setelah kejadian, tepatnya 11 Januari lalu. Bisa dibayangkan betapa menyedihkan kondisi para korban banjir yang telah kehilangan harta benda, rumah rusak, bahkan jiwa mereka. Tidak heran jika pemerintah dinilai lamban melakukan antisipasi.
Menurut informasi, prediksi awal musim hujan 2023/2024 terjadi pada November—Desember 2023 dengan puncaknya pada Januari dan Februari 2024 sebanyak 385 ZOM. Sebagai rekomendasi, BMKG mengimbau pemerintah daerah, instansi terkait, dan masyarakat untuk lebih siap dan antisipatif terhadap kemungkinan bencana hidrometeorologis. Mereka pun memberikan gambaran lengkap tentang iklim di Indonesia serta menekankan pentingnya persiapan dan mitigasi dalam menghadapi perubahan cuaca yang dinamis.
Hingga saat ini, masalah bencana alam masih menjadi PR besar, baik pemerintah daerah maupun pusat. Nyaris tiap memasuki musim penghujan, banjir dan longsor siap mengancam berbagai wilayah di Indonesia. Penyebabnya pun sangat klasik yaitu akibat curah hujan yang tinggi disertai rusaknya daya dukung ekologis di daerah-daerah dataran tinggi. Misalnya akibat wilayah hutan yang teralih fungsi.
Ironisnya, salah satu penyebab sudah diketahui, yaitu alih fungsi lahan yang tidak terkendali, namun mengapa hal ini tidak jadi perhatian? Sehingga bencana terus berulang, tanpa upaya serius memperbaiki kesalahan mendasar, menyangkut paradigma pembangunan yang dikaitkan dengan keseimbangan ekologi. Wajar saja, jika intensitas bencana makin sering terjadi dan luasannya pun terus bertambah.
Semestinya, pemerintah di semua level lebih serius mengevaluasi dan memperbaiki kebijakan tata ruang wilayahnya. Bahkan jika perlu merevisi perencanaan pembangunan yang terbukti telah mendegradasi lingkungan sebagai salah satu penyebab bencana banjir. Sayangnya, selama ini, rakyat lah yang cenderung disalahkan. Misal terkait kebiasaan buruk membuang sampah atau ketika ada di antara mereka yang bandel mendirikan bangunan di bantaran sungai.
Tampak jelas, kebijakan pembangunan berparadigma sekuler kapitalistik selama ini hanya menuruti kepentingan para pemilik modal yang berorientasi pada keuntungan materi. Itulah penyebab meningkatnya kasus bencana banjir dan tanah longsor yang selalu sejalan dengan meningkatnya intensitas pembangunan multisektor di kawasan-kawasan dataran tinggi atau wilayah penyangga air. Seperti pembukaan lahan-lahan perkebunan, kawasan wisata, perindustrian, wilayah pemukiman, dan lain lain.
Seharusnya, terlepas dari pentingnya perbaikan dan pembangunan infrastruktur dan teknologi dalam pengelolaan bencana, hal terpenting dalam antisipasi dan mitigasi setiap musibah adalah visi takwa. Inilah yang akan mewujudkan berbagai kebijakan dalam rangka mengurusi urusan umat menurut sistem dan metode Islam. Dengan demikian, segala upaya terbaik akan dilakukan oleh penguasa untuk mencegah dan menanggulangi bencana alam.
Dalam parameter Islam, penanganan bencana alam maupun infrastruktur publik akan dilakukan dengan cepat tanggap terhadap musibah yang terjadi. Dan pemimpin lah yang memikul tanggung jawab dalam melaksanakannya dan kelak akan dipertanyakan di hadapan Allah Swt. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.:
“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari Muslim)
Sistem Islam kafah adalah aturan yang menyeluruh. Ia memiliki konsep paripurna dalam mengatasi musibah dengan kebijakan canggih dan efisien, diantaranya: Pertama, jika kasus banjir disebabkan keterbatasan daya tampung tanah terhadap curahan air, baik akibat hujan, gletser, rob, dan lain sebagainya, maka negara akan menempuh upaya-upaya seperti membangun bendungan-bendungan dengan berbagai tipe, yang mampu menampung curahan air dari aliran sungai, curah hujan, mencegah banjir maupun untuk keperluan irigasi.
Kedua, dalam aspek undang-undang dan kebijakan, sistem Islam akan membuat kebijakan bahwa pembukaan pemukiman baru harus menyertakan variabel-variabel drainase, penyediaan daerah serapan air, serta penggunaan tanah berdasarkan karakteristik dan topografinya. Hal ini bertujuan mencegah kemungkinan terjadinya banjir atau genangan.
Ketiga, dalam menangani korban-korban bencana alam, negara Islam akan bertindak cepat dengan melibatkan seluruh warga yang dekat dengan daerah yang terkena musibah. Juga menyediakan logistik berupa tenda, makanan, pakaian, dan pengobatan yang layak agar korban tidak menderita sakit, kekurangan makanan, atau tempat istirahat yang kurang memadai.
Selain itu, penguasa juga akan mengerahkan para alim ulama untuk memberikan tausiyah bagi para korban agar mereka mengambil pelajaran dari musibah yang menimpa, sekaligus menguatkan keimanan agar tetap tabah, sabar, dan tawakal sepenuhnya kepada Allah Swt.
Demikianlah solusi Islam dalam mengatasi banjir. Sistem tersebut tidak saja mendasarkan pada pertimbangan ilmiah, tetapi juga didasari oleh nas-nas syarak. Kini saatnya mengembalikan tegaknya institusi tersebut, karena dengannya akan terwujud pemimpin yang yang bertanggung jawab serta cepat tanggap dalam merespon bencana yang menimpa.
Wallahu alam Bissawab
Post a Comment