Kontroversi harga beras belum berakhir, sudah berbulan-bulan harga beras terus meroket, tetapi belum ada solusi tuntas terhadap persoalan tersebut . Berbagai regulasi dikeluarkan oleh pemerintah salahsatunya impor beras.
Impor beras menjadi solusi bagi pemerintah untuk mengatasi harga beras yang terus naik yang menembus rata-rata 15.000/kg. Menurut Jokowi setidaknya ada 4 juta - 4,5 juta bayi yang baru lahir setiap tahun. Sehingga kebutuhan akan pangan seperti beras akan bertambah setiap tahunnya. (CNBC, 2/1/2024)
Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi menyatakan bahwa, keran impor beras dibuka karena terjadi penurunan produksi akibat kekeringan ekstrem El Nino. Penurunan produksi beras mencapai 5%. Karena itu, langkah impor tersebut merupakan penugasan langsung dari Presiden Jokowi.
Impor beras diprediksi akan menjadi jurus pamungkas pemerintah tatkala harga beras melambung tinggi. Hal ini dikarenakan jumlah produksi beras dalam negri stagnan. Badan Pusat Statistik (BPS) menyampaikan bahwa selama 2018—2022, rata-rata produksi beras Indonesia cenderung stagnan di level 31,93 juta ton.
Produktivitas juga stagnan di level 5,17 ton per hektare, padahal jumlah penduduk Indonesia bertambah sekitar 2,9 juta jiwa setiap tahunnya. Dengan demikian, akan selalu terjadi kekurangan stok beras. Seharusnya produksi beras meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, tetapi faktanya tidak demikian.
Alih fungsi lahan pertanian telah terjadi secara masif sehingga merugikan ketahanan pangan Indonesia. Alih fungsi lahan di Jawa kebanyakan dilakukan untuk kepentingan industri dan perumahan. Akibatnya, lahan pertanian kian tergerus. Bahkan lahan pertanian yang lokasinya strategis dan memiliki infrastruktur irigasi pun mengalami alih fungsi.
Produksi beras dalam negeri tidak ada proyeksi peningkatan. Dengan kata lain, impor akan terus menjadi solusi instan andalan pemerintah.
Sementara itu, tidak ada niat kuat dari pemerintah untuk meningkatkan produksi beras. Terbukti dengan tidak adanya keberpihakan pemerintah pada petani dan rakyat. Dengan kurangnya produksi lokal, stok beras akan selalu kurang dan otomatis memicu kenaikan harga beras hingga masyarakat pun “menjerit”.
Barulah pada kondisi yang sudah sulit tersebut, pemerintah mempunyai alasan untuk impor. Seolah-olah, “Pemerintah terpaksa harus impor agar harga beras turun.” Siklusnya selalu demikian, baik tahun ini maupun tahun-tahun sebelumnya. Pemerintah sendiri memang tidak pernah menargetkan untuk meningkatkan produksi lokal, jadi impor tersebut memang sudah didesain untuk dilakukan.
Kebijakan pemerintah yang lebih suka impor daripada memajukan pertanian dalam negeri ini sejatinya hanya menguntungkan para oligarki, yaitu para pengusaha importir yang punya hubungan dekat dengan penguasa sehingga mendapatkan tender impor. Wewenang membuka atau menutup pintu impor memang ada di tangan pemerintah, tetapi pelaku impornya adalah pengusaha importir.
Dari keputusan impor oleh pemerintah inilah para importir tersebut mendapatkan keuntungan dalam jumlah besar, karena jumlah yang diimpor mencapai satu juta ton. Alhasil, mereka berpesta pora di atas penderitaan rakyat.
Jika pemerintah terus saja membuat kebijakan yang pro pada oligarki, bisa dipastikan kemelut seputar beras akan terus terjadi setiap tahun. Ini adalah kebijakan yang zalim. Demi mengamankan dukungan oligarki baginya, oknum penguasa tertentu mengorbankan rakyatnya.
Dahulu Indonesia pernah mengalami swasembada beras pada 1984, bahkan bisa menyumbang 100.000 ton beras untuk rakyat Afrika. Sayangnya, swasembada beras ini hanya bertahan selama lima tahun.
Hal ini amatlah wajar sebab yang menjadi landasan pengambilan kebijakan adalah kapitalisme neoliberal. Tabiat ini meniscayakan negara berperan setengah hati terhadap rakyatnya. Menghitung segala aktivitas dalam untung rugi.
Adapun negara hanyalah menjadi pemain regulasi yang jauh dari kata mengayomi serta pemerintah dengan kebijakannya. Kebijakannya justru sering membuat rakyat menderita. Sehingga kesejahteraan hanya utopis belaka.
Hal ini berbeda dengan paradigma islam. Adanya negara menjadi pelindung bagi ummat dengan aturan yang mampu mensejahterakan rakyat termaksuk pemenuhan pangan.
Dalam Islam , pangan menjadi kebutuhan dasar manusia, salah satunya mewujudkan swasembada penuh dalam komoditas yang penting bagi rakyat. Komoditas penting tersebut meliputi beras, gandum, jagung, kedelai, dan daging. Kendati demikian, negara dalam Islam yakni bertanggung jawab dalam mengoptimalkan pertanian dan membangun industri di dalam negeri sehingga kebutuhan pangan bisa tercukupi secara mandiri, tanpa impor sedikit pun. Berdasarkan Sabda Rasulullah saw:
“Siapa di antara kalian yang berada pada waktu pagi dalam keadaan aman di tempat tinggalnya, sehat jasmaninya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan seluruh dunia ini telah diberikan kepadanya.” (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Tak hanya swasembada beras , tetapi juga ketahanan pangan pada masa depan untuk mengantisipasi paceklik seperti El Nino dan sekaligus terwujudnya stabilitas harga.
Beberapa usaha Khilafah untuk mewujudkan swasembada diantaranya dengan ekstensifikasi lahan pertanian dengan membuka lahan yang baru dan menghidupkan lahan yang tidur atau mati, mengoptimalkan produksi dengan menggunakan benih terbaik, alat pertanian yang canggih, dan penggunaan pupuk terbaik, membangun insfrastruktur dalam hal mendukung pertanian terkait penyediaan air irigasi, menyediakan industri yang mengolah hasil pertanian, memberikan bantuan bagi petani baik berupa benih, alat produksi maupun edukasi tentang pertanian masalah yang cukup kompleks adalah terkait hama dan penyakit pada tanaman, serta mencegah pihak asing untuk ikut campur dalam pengaturan pangan dalam negri.
Dengan mekanisme tersebut, permasalahan gonjang-ganjing beras akan teratasi, bahkan Khilafah bisa memberikan bantuan pangan pada negara yang sedang membutuhkan sebagaimana dulu Khilafah Utsmaniyah membantu Irlandia.
Wallahualam bissawab.
Post a Comment