Badai PHK Mencuat, Kapitalisme Diambang Level Gawat


Oleh : Bazlina Adani 
(Alumni UMN-AW Medan)


Kabar pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh PT Hung-A Indonesia mencuat setelah unggahan video di media sosial menjadi viral. PHK itu disebut-sebut bakal 'menelan korban' sekitar 1.500 pekerja yang akan kehilangan sumber nafkahnya. Ini jadi berita buruk pertama yang berasal dari sektor manufaktur RI di tahun 2024. Setelah tahun 2023 lalu, setidaknya ada 7.200-an pekerja jadi korban PHK di 36 perusahaan, baik karena tutup total, tutup hengkang atau relokasi, maupun efisiensi biaya. Data itu baru mencakup perusahaan tempat anggota KSPN bekerja, belum menghitung pabrik lain non-anggota gabungan serikat pekerja tersebut (CNBC, 20/01/2024).


Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), jumlah pekerja yang terkena PHK mencapai 57.923 orang pada Januari-November 2023. Menurut wilayahnya, Jawa Barat menjadi provinsi dengan jumlah korban PHK terbanyak, yaitu 17.545 orang (dataindonesia, 12/01/2024). Fakta berbicara, tingginya badai PHK tentu berkaitan erat dengan meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan serta ketimpangan social di Indonesia.


Ibarat bencana besar yang menghantui, sampai hari ini badai PHK masih menjadi sebuah momok besar di negeri ini. Bagaimana tidak, ada ratusan bahkan ribuan pekerja kehilangan pekerjaan yang notabene pekerjaan tersebut adalah sumber mata pencaharian mereka. PHK marak di mana-mana karena sebagian besar dipengaruhi oleh buruknya situasi ekonomi dunia saat ini termasuk di Indonesia.


Umumnya alasan yang dipakai oleh perusahaan dalam memutuskan hubungan kerja karyawannya yaitu karena situasi pasar yang tidak kondusif, ditambah lagi adanya inflasi hingga kemudian menyebabkan pemasaran sejumlah produk mengalami penurunan. Bahkan, yang paling ekstrem tidak sedikit perusahaan yang harus menutup usahanya karena kolaps.


Fenomena PHK seringkali dijadikan sebagai solusi bagi sebagian perusahaan karena bagi mereka ketika pendapatan perusahaan menurun, cara jitu untuk tetap mempertahankan kestabilan perusahaan adalah dengan memutus hubungan kerja karyawannya. Sebab para pekerja yang direkrut oleh perusahaan tersebut hanya dijadikan sebagai alat untuk memenuhi kepentingan bisnis perusahaan. Maka wajar ketika konsep bisnis yang digaungkan adalah bagaimana bisa menekan modal sekecil-kecilnya demi mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Disisi lain ini membuktikan bahwa nasib para pekerja tergadaikan dengan abainya negara dari tanggungjawabnya sebagai pemenuh kebutuhan rakyat. Negara gagal menjamin hak-hak para pekerja hingga akhirnya mereka berjuang sendirian menghadapi kehidupan sulit akibat persoalan PHK yang semakin meluas.


Hal ini terjadi karena penerapan system ekonomi kapitalisme yang telah nyata egois menyelamatkan perusahaan namun abai dengan nasib pekerja sehingga mengakibatkan PHK. PHK ini juga membuat iklim usaha tidak kondusif, sementara jaminan negara tidak ada. Kalaulah ada, itupun dalam jumlah yang tidak memadai. Bahkan bantuan pun menjadi alat legitimasi kekuasaan, juga menjadi alat politik. Jadilah PHK meningkatkan jumlah kemiskinan. Mirisnya, regulasi terkait pesangon dan hak warga tidak bisa menjadi harapan karena berisi ketidakadilan untuk pekerja.


Berbeda halnya dengan Islam. Islam menjadikan negara sebagai penanggungjawab yang menjamin hak-hak para pekerja. Islam memandang bahwa para pekerja merupakan bagian dari masyarakat yang harus dipenuhi haknya berdasarkan perjanjian kerja (kejelasan akad) serta menetapan upah yang ditetapkan oleh syariat. Tidak boleh ada yang mendzolimi bahkan terdzolimi. Islam juga menjamin kebutuhan pokok rakyat dengan berbagai mekanisme sehingga semua rakyat hidup sejahtera. Dengan terpenuhinya kebutuhan sandang, pangan dan papan, pola kehidupan masyarakat jauh lebih stabil.


Negara di dalam Islam tidak hanya berperan sebatas regulator sebagaimana system kapitalisme, namun negara melalui penguasa (khalifah) berperan sebagaimana raa’in (pengurus rakyat) yang senantiasa bertanggungjawab atas rakyat yang ia pimpin. Negara memiliki berbagai mekanisme untuk mewujudkannya termasuk dalam menciptakan lapangan kerja. Melalui prinsip perekonomian di dalam Islam, pengelolaan sumber daya alam yang tepat menjadi salah satu hal yang dilakukan oleh negara dan hasilnya kemudian diserahkan kembali kepada rakyat secara umum. Dalam hal ini Islam melarang asing maupun para kapitalis swasta mengintervensi pengelolaan sumber daya alam. Dengan kata lain negara akan mengelola secara mandiri sehingga ini menjadi kesempatan terbukanya lapangan pekerjaan bagi rakyat.


Dalam skala makro, negara (Khilafah) akan menciptakan iklim usaha yang kondusif dan menjaga stabilitas ekonomi dengan penerapan undang-undang yang melarang praktik ribawi, menerapkan mata uang emas dan perak, serta kebijakan fiskal yang berbasis syariat. Adapun industri tekstil yang keberadaannya merupakan kebutuhan sandang bagi masyarakat, didukung produksinya oleh negara melalui keuangan yang ada di Baitul Mal. Negara dapat memberi bantuan modal tanpa riba (linimasanews).


Dengan demikian, jelaslah bahwa hanya penerapan system Islam hak-hak para pekerja terselamatkan. Hal-hal yang mengancam para pekerja  akan diminimalisir hingga akhirnya tidak terjadi badai PHK sewenang-wenang dengan alasan tertentu. Sudah saatnya kita kembali kepada mekanisme pengaturan kehidupan yang shohih dalam penerapan syariat Islam kaffah dalam naungan daulah Islamiyyah. Wallahua’lam.

Post a Comment

Previous Post Next Post