Kondisi ekonomi yang tak menentu menjadikan PHK kembali marak. Di samping antisipasi menghadapi resesi ekonomi, sebagian karena pekerja sudah digantikan oleh teknologi IA.
Perusahaan survei Resume Builder bahkan memperkirakan PHK massal teradi pada tahun 2024. Ini didapatkan berdasarkan tanggapan lebih dari 900 perusahaan pada bulan ini. (CNBC Indonesia, 29/12/2023)
Sebanyak 42% perusahaan menengah dan 39% perusahaan besar mengindikasikan akan terjadinya PHK. Di sisi lain, hanya 28% pemimpin perusahaan kecil menyatakan hal serupa.
Pada 29 Desember 2023 lalu, tujuh BUMN telah resmi ditutup. Ini akibat dari kinerja yang buruk atau financial distress dan highly over-leverage. (Tirto, 29/12/2023).
Berdasarkan data Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), di awal 2023 sudah ada 7.200 buruh menjadi korban PHK. Namun, jika ditotal dari 2020—2023, sudah ada sekitar 56.976 orang korban PHK. Mayoritas berasal dari pabrik tekstil, ekspedisi, garmen, kulit, mebel, ritel, sepatu, dan suku cadang.
Terbayang nasib ribuan pekerja yang di PHK tersebut, seolah menjadi siklus yang tak putus dan makin kerap terjadi. Kehidupan makin sulit, pengangguran meningkat, tentu butuh solusi tak hanya sesaat, tak sekedar tambal sulam. Lalu, di mana negara? Yang seharusnya menjadi pengurus rakyatnya?
Dampak Kapitalisme
PHK menjadi solusi perusahaan menghadapi resesi. Perang Rusia-Ukraina telah memicu inflasi, daya beli menurun membuat perusahaan harus mengurangi produksi, dan memangkas jumlah pekerjanya. Jika tidak, tentu perusahaan akan rugi.
Resesi menjadi lumrah dan periodik dalam kapitalisme. Kapitalisasi di segala lini, menjadikan yang kuat modal sebagai pengendali perekonomian dunia.
Ketimpangan terjadi, yang kaya semakin kaya, yang miskin tetap miskin, bahkan sewaktu-waktu terancam di PHK, terancam kelaparan. Hanya yang kuat yang mampu bertahan.
Kapitalisme dengan kebebasan kepemilikan, telah menjadikan hasil SDA dikuasai koorporasi, Bahkan, untuk pengelolaannya seringkali mengambil tenaga kerja asing. Ini meminggirkan tenaga kerja lokal. Jikapun mendapat jatah, lebih banyak menjadi buruh saja. Angka pengangguran terus bertambah di saat tenaga kerja asing malah dimudahkan dan difasilitasi.
Mirisnya, upah pekerja pun sesuai Upah Minimum Regional (UMR), yang jauh dari layak untuk memenuhi kebutuhan pokok. Meski sebagian besar energi telah pekerja curahkan untuk bekerja.
Demikian pula lahan, dikuasai oleh para pemodal, bahkan pengusaha diberi HGU dan dibebaskan dari royalti, sementara banyak rakyat yang tidak punya lahan, butuh disubsidi pupuk, dan bantuan lainnya. Namun, lagi-lagi petani hanya bisa urut dada.
Dalam kapitalisme, sektor non riil dikembangkan. Uang tak sekedar alat tukar, tetapi komoditas yang bisa diperjualbelikan dalam pasar saham, obligasi, dan lain-lainnya. Di sinilah para spekulan leluasa mengintervensi harga dan kurs mata uang. Diperparah dengan praktek riba, yang sah untuk mendapatkan keuntungan, bahkan dikembangkan di segala lini, karena yang ingin dicari manfaat materi semata. Inilah yang memicu krisis ekonomi, inflasi tiada henti, kestabilan ekonomi mudah terguncang sesuai kehendak para spekulan.
Inilah yang memicu ketidakpastian ekonomi, ditambah perubahan iklim dan kondisi geopolitik, seperti: perang. Persaingan menjadi tidak sehat, sehingga yang lemah akan tergusur.
Parahnya, dalam kondisi sudah sulit, pemerintah terus melakukan impor barang dari luar negeri. Dengan harga murah dan kualitas lebih baik, barang lokal tentu sepi peminat. Pengusaha tak lagi bergairah untuk berproduksi. Bahkan, terancam gulung tikar.
Di samping itu, dengan teknologi AI, beberapa perusahaan mengakui AI menggantikan sebagian posisi pekerjanya. Ini menghemat pengeluaran perusahaan.
Sayangnya, negara tak hadir ketika PHK terjadi, akhirnya pekerja, jika tidak menganggur beralih bekerja di sektor informal. Terpaksa hidup dengan pendapatan minim di tengah biaya hidup yang terus merangkak naik.
Memang, telah ada layanan kartu prakerja, bantuan langsung tunai (BLT), bantuan sosial, program keluarga harapan (PKH), bantuan kredit dan tunai kepada UMKM, Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan program pemerintah lainnya. Namun tak jua menuntaskan masalah yang dihadapi rakyat.
Inilah fakta pahit kapitalisme dan demokrasi yang dianut negeri ini. Wajarlah, jika dunia menuntut perubahan, transformasi kebaikan dalam segala lini, termasuk dalam perekonomian.
Islam Solusi
Jika berkaca pada peradaban Islam, tentu tak asing kita baca dalam Al Qur'an, Assunnah, Ijma' sahabat, qiyas, maupun buku-buku sejarah. Tergambar jelas bagaimana Islam mengatur dan mengelola kekayaan melimpah yang dianugerahkan Allah SWT kepada penduduk bumi.
Islam mengatur kepemilikan umum seperti: hasil tambang, air, minyak bumi, dan lain-lainnya, dikelola oleh negara untuk diserahkan hasilnya kepada rakyat. Tidak boleh dimiliki dan dikelola oleh individu atau koorporasi meski mereka bisa membelinya. Dari sinilah lapangan kerja terbuka luas untuk rakyat. Karen memang negara pelayan bagi rakyat, menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya, bukan malah berdagang dengan rakyat.
Upah pekerja diberikan sesuai manfaat yang dicurahkan, bukan standar minimal kebutuhan hidup pekerja atau UMR sebagaimana saat ini. Para pekerja bekerja dengan optimal karena diupah dengan adil. Tidak terjadi kedzoliman majikan kepada pekerja, demikian pula sebaliknya. Karena interaksi diantara keduanya diatur oleh syariat.
Dari hasil pengelolaan kepemilikan umum! pula rakyat dijamin kebutuhan pokoknya, berupa pendidikan, kesehatan dan keamanan. Bahkan diberikan secara gratis dan berkualitas. Negara betul-betul hadir sebagai pengurus rakyatnya.
Negara dalam Islam hanya mengembangkan usaha dalam sektor riil seperti: pertanian, perindustrian, jasa. Islam melarang bisnis haram seperti: bursa saham dan riba, yang mematikan sektor riil. Ini akan menyerap banyak tenaga kerja.
Di samping itu, dikembangkan kerjasama usaha (syirkah-syirkah) yang mempertemukan pekerja dan pemodal. Ini akan mengurangi pengangguran karena para agniya (orang kaya) membuka usaha dengan modalnya yang akan menyerap tenaga kerja.
Dalam kepemilikan lahan, Islam membolehkan siapapun mengelola tanah asal dihidupkan dan produktif. Ketika dalam tiga tahun ditelantarkan, negara akan memberikan kepada yang lain untuk dikelola. Sehingga tidak ada tanah yang tidak produktif dan ini akan menyerap tenaga kerja.
Negara akan memberikan tanah, modal, keahlian kepada rakyatnya yang membutuhkan, untuk dikelola agar bisa optimal dalam bekerja. Sehingga kewajiban rakyatnya yang laki-laki, optimal dalam menafkahi tanggungannya.
Negara dalam Islam melarang menumpuk harta yang akan mengganggu kestabilan ekonomi. Melarang pula menumpuk barang yang akan mendistorsi pasar dan menaikkan harga barang.
Dengan kestabilan ekonomi, persaingan dan iklim usaha akan sehat. Tak mudah terjadi PHK seperti saat ini. Ketika pun terjadi goncangan ekonomi, seperti: ada wabah, perubahan iklim, dan kondisi lainnya, segera diatasi oleh negara. Karena negara dalam Islam juga menjadi perisai dan pelindung bagi rakyatnya.
Tak luput pula peran negara, mendorong penggunaan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan untuk memajukan usaha dan perekonomian. Seperti teknologi AI, dan teknologi lainnya.
Inilah mekanisme Islam menjaga kestabilan ekonomi, sehingga rakyat tak terancam PHK, bahkan rakyat hidup sejahtera. Ini telah dicontohkan Rasulullah Saw, dilanjutkan Khulafaur Rasyidin dan para Khalifah setelahnya. Lalu, mengapa kita tak meneladani, mengambil apa yang telah beliau Saw contohkan? Mengapa masih berharap pada kapitalisme demokrasi? Belum cukupkah bukti dan penjelasan? Yuk hijrah menuju Islam kaffah!
Post a Comment