Aktivis Muslimah
Pesta Demokrasi tak lama lagi segera di gelar, para paslon dari beberapa kubu sudah mulai menunjukkan eksistensinya dalam berkampanye guna meraup suara rakyat. Saat ini, para kontestan pemilu sudah turun ke tengah masyarakat untuk melakukan kampanye. Selain itu, pada masa kampanye ini, Komisi Pemilihan Umum( KPU)akan menggelar debat calon presiden dan calon wakil presiden sebanyak lima kali.
Bisa kita prediksi, masa kampanye akan diisi dengan persaingan para kontestan pemilu untuk mendapatkan dukungan rakyat. Mereka mempromosikan visi, misi, dan program kerjanya jika terpilih. Aneka janji politik akan ditebar, seperti kesejahteraan, lapangan kerja, subsidi, penurunan harga bahan pokok, bantuan sosial, pembangunan infrastruktur, dan lainnya.
Tidak hanya pencitraan diri sendiri, kampanye acap kali berisi “serangan” terhadap kekurangan calon lain yang menjadi pesaing. Bahkan bisa terjadi kampanye hitam, yaitu fitnah terhadap kandidat yang lain.
Oleh karenanya, pada masa kampanye rawan terjadi perselisihan dan konflik antara pendukung satu kontestan dengan pendukung kontestan yang lain. Bisa terjadi gontok-gontokan antar warga yang memiliki perbedaan pilihan politik. Tidak hanya konflik lisan, bisa juga terjadi konflik secara fisik, yakni kekerasan di massa akar rumput. Realitas demikian sudah jamak terjadi di masyarakat.
Hal yang sama juga terjadi pada saat dicari pemimpin yang diinginkan rakyat lewat Pemilu. Hanya tokoh yang dekat dengan pihak-pihak yang mampu mencalonkan (partai) dan mampu memodali kampanye dan membayar saksi yang akan meraih peluang lebih besar. Itu berarti hutang budi tokoh itu kepada para kapitalis.
Menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Dengan kata lain, pemilu merupakan sarana bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatan dalam lembaga demokrasi.
politik adu domba adalah strategi atau upaya perang yang telah diterapkan oleh berbagai bangsa kolonialis di abad ke15. Negara-negara yang terlibat diantaranya yaitu Belanda, Spanyol, Portugis, Perancis, dan Inggris. Bangsa kolonialis tersebut, melakukan sebuah ekspansi dan penaklukan itu dengan tujuan untuk mencari sumber kekayaan alam pada bangsa lainnya, khususnya yang berada di daerah tropis. Namun, seiring berjalannya waktu metode untuk melakukan penaklukan tersebut mengalami perkembangan. Sehingga politik pecah belah tak lagi hanya sekedar menjadi strategi perang akan tetapi sebagai strategi politik.
Pemimpin yang tidak akan terjerumus dalam sekularisme hanya terwujud dalam pemerintahan Khilafah, yakni satu-satunya sistem yang mampu menerapkan Islam kaffah. Karena berdasarkan syariat Islam, maka semua proses dan mekanisme pemerintahan akan selamat, termasuk mekanisme pemilihan pemimpinnya. Dengan menerapkan model pemilihan pemimpin berdasar syariat Islam, pasti terjamin akuntabilitasnya. Terbebas dari kekisruhan dan kecurangan sebagaimana yang terjadi di jagad demokrasi. Kondisi tersebut bisa terjadi karena ketakwaan menjadi pilar penting dalam negara. Amar ma’ruf nahi munkar juga melekat pada semua warga negara sebagai kontrol sosial atas semua tindak kecurangan terhadap hukum Allah. Demikian pula pengukuran kapabilitas seseorang pantas menjadi Khalifah atau tidak, jelas tergantung pada kesesuaiannya dengan hukum syariat. Karena itu mekanisme pemilihan hingga pemecatan Khalifah pun ditentukan hukum syara’.
Dengan meneliti tata cara pembaiatan para Khalifah disimpulkan bahwa proses penetapan calon harus memenuhi syarat in’iqad yakni laki-laki, Muslim, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu. Kemudian diambil pendapat dari representasi umat, tidak mesti dipilih langsung oleh rakyat karena pengangkatan Khalifah hukumnya fardhu kifayah. Jika kemudian ditetapkan Majelis Umat yang akan memilih dan mengangkatnya, maka kifayah ini pun terpenuhi. Sehingga Khalifah bisa dibai’at dengan bai’at in’iqad. Setelah itu, baru seluruh rakyat wajib membaiatnya dengan bai’at tha’at. Pada saat itu, rakyat telah menyerahkan pengurusan semua hajatnya kepada Khalifah. Demikianlah terwujud Khalifah dan ia menjadi wakil umat dalam menjalankan pemerintahan dan kekuasaan.
Kekuasaan memang ditujukan untuk menegakkan Islam dan memberikan kemaslahatan kepada siapa saja yang bernaung di bawahnya. Kekuasaan bukanlah perkara yang harus diperebutkan ataupun menjadi ajang untuk meraup keuntungan dan kepentingan tertentu seperti yang terjadi dalam demokrasi.
Tugas penguasa ialah menjamin segala urusan rakyatnya, bukan sibuk memperpanjang masa jabatan demi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Ingatlah, Rasulullah saw. mengancam penguasa yang tidak bersungguh-sungguh mengurusi rakyat.
“Tidaklah seorang pemimpin mengurusi urusan kaum muslim kemudian tidak bersungguh-sungguh untuk mengurusi mereka dan tidak menasihati mereka, kecuali ia tidak akan masuk surga bersama mereka.” (HR Muslim)
Begitu besar perhatian sistem Islam yang menjadikan politik sebagai jalan melayani kepentingan publik. Kita tidak perlu ragu lagi. Telah terbukti selama 1.400 tahun, Islam memimpin dunia dengan berbagai prestasi dan pencapaian gemilang dalam seluruh aspek kehidupan.
Menjadi tugas kita bersama untuk menegakkannya kembali. Umat tidak butuh pesta demokrasi 2024, melainkan butuh tegaknya Khilafah yang membawa rahmat.
Wallahu a'lam bishowwab
Post a Comment