Tuntutan Persoalan Pengangguran kepada Capres Cawapres


Firda Isnaini, S. Tr. Battra

(Aktivis Muslimah) 


Pengangguran dan kemiskinan menjadi persoalan urgent bagi Indonesia khususnya bagi generasi muda. Pengangguran menjadi momok yang paling ditakuti saat ini. Pasalnya, dari 7,9 jt pengangguran di Indonesia, hampir setengah atau tepatnya 46% di antaranya berusia  15-24 tahun. (databoks.katadata 30/11/23)


Kasus pengangguran yang semakin naik tanpa disertai lapangan pekerjaan yang bertambah, belum lagi adanya saingan baru tenaga kerja asing yang justru menjadi ancaman tersendiri bagi masa depan generasi. 

Di masa kampanye capres cawapres tahun ini, mahasiswa mulai berpikir kritis dan mempertanyakan beberapa pertanyaan khususnya terkait persoalan paling mengancam bagi mahasiswa yaitu masalah pengangguran. Mahasiswa secara kritis mempertanyakan bagaimana sikap capres cawapres dalam mengatasi penggangguran dan gebrakan apa yang akan dilakukan dalam menyelesaikan persoalan pengangguran ketika nanti berhasil terpilih. 

Para capres cawapres pun berlomba-lomba saling memberikan gagasan masing-masing. Seperti, pernyataan pasangan kandidat nomer 2, “Kami, Prabowo dan Gibran mempunyai komitmen untuk memastikan lapangan kerja yang berkualitas hadir untuk masyarakat luas, pengembangan kewirausahaan dan industri kreatif,”. Tak hanya itu, Gibran juga menambahkan usulan modal kredit  ‘start-up’ milenial. Di sisi lain, pasangan nomer 1, Anies dan cak Imin memiliki visi misi mengentaskan kemiskinan dengan memperluas kesempatan berusaha dan menciptakan lapangan kerja, mewujudkan upah berkeadilan, menjamin kemajuan ekonomi berbasis kemandirian dan pemerataan, serta mendukung korporasi Indonesia berhasil di negeri sendiri dan bertumbuh di kancah global. Menanggapi pertanyaan tentang persoalan pengangguran, rata-rata gagasan yang diberikan ialah kewirausahaan mandiri dan industri kreatif. (Kompas, 14/11/23)


Gagasan wirausaha mandiri dalam mengatasi masalah ini sejatinya bukan solusi tuntas. Hal ini dikarenakan kemandirian wirausaha yang didorong tidak diikuti dengan kebijakan iklim usaha atau bisnis  yang kondusif. Iklim usaha ini seharusnya disuasanakan oleh negara. Namun, negara masih latah dalam menata kebijakan impor, ditambah adanya kewajiban partisipasi dalam globalisasi yang membuat produk impor bebas keluar masuk, sementara dukungan modal minim. Di sisi lain, negara tidak memberikan political will yang melindungi produk dalam negeri agar mampu bersaing dengan produk impor bawaan arus globalisasi karena kalah saing kualitas dan harga. Alhasil, banyak UMKM yang tutup karena tidak mampu menutup modal. 

Sehingga, solusi wirausaha mandiri melalui UMKM dalam mengatasi pengangguran sendiri belum tentu bisa menjamin kesejahteraan di tengah kehidupan yang mencekik saat ini. Penyelesaian masalah pengangguran tidak akan mampu mengantarkan kepada kesejahteraan masyarakat, jika angka kemiskinan yang tinggi tidak berusaha diatasi. Sehingga, tuntutan masalah pengangguran harus juga diikuti dengan tuntutan terhadap persoalan kemiskinan.

Angka kemiskinan di Indonesia terus konsisten meningkat, bahkan mayoritas pemuda yang sudah bekerja pun masih rentan terjerat kemiskinan. Hal ini, dapat dilihat dari dua indikator utama kemiskinan, yaitu Precarious Employment Rate (PER) atau pengukuran stabilitas dan jaminan pekerjaan, dan Low Pay Rate (LPR) atau indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan. (cnbcindonesia, 26/10/23)


Sekitar 30% pemuda yang bekerja tidak memiliki jaminan stabilitas bekerja. Hal ini, dikarenakan mayoritas mereka bekerja sebagai wirausaha yang tidak ada kepastian dan ketahuan tentang jaminan kontinuitas usaha tersebut, dan ini diakibatkan ketidakpastian untung serta balik modal yang dicapai dan adanya persaingan yang tidak kondusif dengan arus globalisasi. Sebagian yang lain, mereka bekerja sebagai buruh atau pegawai industri dengan sistem outsourcing (kontrak dengan pihak di luar perusahaan) yang pastinya tidak ada stabilitas dan jaminan pekerjaan. Kalaupun ada yang bekerja sebagai pegawai negeri, ini pun tidak ada jaminan stabilitas pekerjaan karena saat ini terdapat kebijakan PPPK yang menyulitkan pemuda khususnya mahasiswa dalam mencapai status pegawai tetap di pemerintahan (PNS). 


Data statistik 2022 menunjukkan  sebanyak 33,05% pemuda bekerja dibayar dengan upah kerja yang rendah dan sebanyak 24,78% pemuda bekerja dengan jam kerja berlebih/excessive hours (jam kerja lebih dari 48 jam seminggu). Hal ini, menunjukkan mereka tidak mampu me-manage waktu untuk keperluan lain di luar kerja atau bisa dikatakan 24/7 waktu yang mereka miliki dalam sepekan dihabiskan untuk bekerja tanpa ada sisa waktu untuk kehidupan sosial di luar pekerjaan. Di sisi lain, sebanyak 74% pemuda masih menumpang tinggal bersama dengan orang tua mereka artinya mereka masih belum bisa memenuhi kebutuhan primer mereka sendiri yang merupakan indikator minimal kata “sejahtera”. 


Sehingga, tuntutan pengangguran ini harus kita sandingkan dengan makna kata “sejahtera”. Karena, kebijakan yang tercetus sebagai tanggapan dari tuntutan pengangguran ini hanya sebagai kebijakan “pemanis” saja yang tidak ada tanggung jawab akan jaminan kesejahteraan itu sendiri. Padahal, kesejahteraan merupakan masalah fundamental atau masalah mendasar dalam kebijakan politik. Sayangnya, kebijakan politik sekarang bukan bertujuan untuk menyejahterakan seluruh masyarakat tetapi hanya menyejahterakan segelintir kelompok orang. Hal ini terbukti bahwa 1% orang terkaya di dunia menguasai 2/3 kekayaan dunia. Satu persen orang-orang terkaya di dunia ini memperoleh kekayaan setara dengan $42 triliun, hampir dua kali lipat dari penghasilan 99 persen populasi terbawah di dunia. (liputan6, 18/01/2023) 


Saat ini, kita dicengkram oleh sistem Sekulerisme-Kapitalisisme yang melahirkan kebijakan politik oligarki. Dalam sistem ini, kekayaan dunia dikuasai oleh segelintir kelompok kapital atau pemilik modal saja yang berarti dengan sistem ini tidak akan pernah tercapai kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Berbeda dengan sistem Islam, yang menetapkan bahwa kekayaan alam merupakan kepemilikan umum yang hanya bisa dikelola oleh negara yang nantinya akan digunakan untuk kepentingan masyarakat umum. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

"Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api" (HR. Abu Dawud). 


Indonesia merupakan negara yang kaya akan kekayaan alam. Tanah subur yang dapat menumbuhkan bermacam-macam jenis tumbuhan, bahkan sawit yang tidak banyak bisa tumbuh dengan mudah di negeri lain, sawit tumbuh subur di Indonesia. Perut bumi Indonesia yang mengandung emas, minyak bumi, gas alam, batubara, nikel dan masih banyak lagi. Belum lagi, kekayaan laut yang membentang luas. 

Kekayaan alam yang luar biasa ini akan dikelola mandiri oleh negara ketika sistem Islam diterapkan. Pengelolaan mandiri oleh negara tentunya akan menyerap banyak tenaga kerja dari warga negara, khususnya pemuda dan para intelektual mahasiswa. Sehingga dari sini, ada jaminan kestabilan perkerjaan bagi warga negara khususnya pemuda oleh negara. Hal ini, dikarenakan sistem Islam paham kewajiban bekerja bagi laki-laki sehingga negara tidak akan berlepas tangan dalam masalah ini. Allah SWT berfirman,

“.., Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut.” (Al-Baqarah: 233) 


Berbeda dengan sistem Sekulerisme-Kapitalisme yang diterapkan saat ini, ketok palu UU Omnibus Law memberikan karpet merah bagi investor untuk tanam modal dalam meng-eksploitasi SDA. Tidak hanya tanam modal saja yang mereka lakukan, mereka juga menarik tenaga asing dari warga negara mereka. Di sisi lain, warga negara sendiri diminta untuk wirausaha mandiri, UMKM, dan buka lapak untuk survive dalam kehidupan.

Ancaman yang nyata ketika negeri ini masih mengadopsi sistem Sekulerisme-Kapitalisme dalam mengatur kehidupan. Tidak akan ada kesejahteraan dan keadilan bagi seluruh masyarakat. Oleh karena itu, sudah saatnya untuk mengadopsi sistem Islam secara utuh yang akan mengatur seluruh kehidupan manusia sesuai dengan aturan Sang Pencipta.

Dalam sistem Islam, pengelolaan kekayaan alam akan dilakukan mandiri oleh negara yang tentunya akan menyerap tenaga kerja. Dari pengelolaan kekayaan alam, seluruh masyarakat akan dapat menikmati kekayaan alam ini yang disalurkan melalui kebijakan kesehatan dan pendidikan yang gratis. Atau bisa juga disalurkan utuh kepada masyarakat, seperti air, listrik, bbm, dll., dengan hanya membayar biaya operasional produksi saja. Menurut Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) Anthony Budiawan, perhitungan rinci terhadap pengelolaan BBM didapatkan biaya operasional produksi hanya Rp 472 per liter. (Kompas, 14/11/23) 


Sistem Islam yang digambarkan di atas tentunya akan menjamin kesejahteraan seluruh masyarakat melalui pengaturan ekonomi dan kebijakan politiknya. Hal ini dikarenakan Islam paham bahwa individu tidak akan mampu dilepas secara mandiri dalam memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya. Berbeda dengan sistem saat ini, masyarakat dibiarkan mandiri dalam memenuhi kebutuhan hidup dari segala lini kehidupan. Biaya listrik, bensin, air, dan sebagainya harus dirogoh dari kantong sendiri. Sehingga, masih bercokolnya sistem Sekulerisme-Kapitalisme inilah yang menjadikan negeri ini tidak akan pernah merasakan kesejahteraan bahkan akan semakin tercekik dalam menghadapi kehidupan ini. 



Summary

Tuntutan kebijakan pengangguran harus selalu dikaitkan dengan makna kata “sejahtera” yang akan terus menuntut kesejahteraan itu sendiri. Sehingga, kita akan paham hal tersebut tidak mungkin terrealisasi ketika sistem Sekulerisme-Kapitalisme masih bercokol di negeri ini. Masyarakat harus sadar bahwa untuk mencapai kesejahteraan harus ganti sistem yang pro kepada ummat/rakyat/manusia yaitu sistem yang memperjuangkan kemashlahatan masyarakat, Sistem Islam.

Post a Comment

Previous Post Next Post