Sepuluh Desember diperingati sebagai Hari Hak Asasi Manusia (HAM) di mana pada saat itu PBB mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights/UDHR) meski diperingati setiap tahun termasuk di Indonesia, namun nyatanya kasus kejahatan terhadap kemanusiaan dan penegak hukum dinilai masih besar jumlahnya. Masih banyak PR 12 kasus pelanggaran berat HAM di masa lalu yang belum tertuntaskan. Hal ini menunjukkan penegakan HAM di Indonesia dinilai masih sangat lemah. (voaindonesia, 10/12/2023)
Sementara itu Setara Institute bersama International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) mengungkap skor indeks Hak Asasi Manusia (HAM) Indonesia 2023 mengalami penurunan menjadi 3,2 dari sebelumnya 3,3. Pemberian Skor itu berdasarkan pemenuhan hak-hak yang mengacu pada 6 indikator pada variabel hak sipil dan politik serta 5 indikator pada variabel hak ekonomi, sosial, budaya yang diturunkan ke dalam 50 sub-indikator.. Skala 1 menggambarkan perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan HAM yang paling buruk. Sebaliknya, skala 7 menunjukkan penghormatan dan pemenuhan HAM yang paling baik. (cnnindonesia. 1012/2023)
Dengan berbagai kelemahan dan penurunan penegakan HAM di Indonesia, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H. Laoly mengungkapkan peringatan Hari HAM Sedunia Ke-75 dapat menjadi momentum untuk merefleksikan prinsip-prinsip HAM. Peringatan hari HAM kali ini memilih tema Harmoni dalam Keberagaman dipandang relevan dan penting. Pasalnya, kata Yasonna, harmoni dalam keberagaman menjadi pengingat akan pentingnya mengakui, menghormati, dan merayakan beragaman Indonesia yang berlimpah. (antaranews. 10/12/2023). Namun yang dipertanyakan apakah HAM mampu menjaga harmoni dan keberagaman itu sendiri? Apakah dalam persoalan dunia, HAM bisa dijadikan solusi?
Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi, ide HAM sejatinya berdasarkan pada kebebasan (liberalisme) sehingga menyebabkan standar ganda dalam penerapannya. Jika yang melakukan kekerasan adalah AS dan sekutunya, tidak dianggap pelanggaran HAM. Sedangkan jika yang melakukan kekerasan adalah musuh AS, misalnya kelompok Islam, akan dituding sebagai pelanggaran HAM. Barat sebagai pihak yang sering mendikte kita mengenai HAM, justru menjadi diam bahkan menjadi sponsor utama atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina. Ketika perilaku elgebete dianggap kebebasan HAM namun di lain sisi menyuarakan pembantaian muslim Uyghur dilarang dan dibungkam. Jadi omong kosong jika HAM dikatakan mampu menjaga harmoni dan keragaman, hanya omong kosong belaka jika HAM sebagai solusi permasalahan dunia.
Dunia menjadikan HAM sebagai standar dalam menyelesaikan bebrbagai persoalan di dunia. Namun bagi seorang muslim, HAM adalah prinsip yang salah, karena menjaadikan manusia bebas tanapa aturan, sementara fitrah manusia adalah lemah Penerapan HAM dalam kehidupan akan bertabrakan dengan kepentingan orang lain, sehingga persoalan tak kunjung selesai, bahkan menyimpan bahaya pada masa yang akan datang.
Berbeda dengan Islam, Islam menetapkan semua perbuatan terikat hukum syara. Islam adalah ideologi, jalan hidup, sistem kehidupan yang menaungi semua aspek kehidupan. Tak hanya ibadah ritual yang siftanya privasi saja, Islam bahkan memiliki konsep dan tata laksana yang jelas mengenai berbagai urusan public. Ekonomi, politik, pergaulan, sosial, sampai Negara dan hubungan luar negeri ada pembahasannya dalam Islam. Dan dengan penerapan Islam secara menyeluruh (kaffah), hak dasar manusia akan terpenuhi begitu juga terpenuhinya maqasid syariah.
Sejarah memberikan bukti ketentraman hidup dalam naungan sistem Islam. dengan aturan yang dibuat oleh Sang Pencipta dan Sang Pengatur kehidupan, Allah SWT dengan segala kesempurnaan-Nya niscaya manusia dapat hidup tenang. Maka tugas kita sebagai manusia, sebagai makhluk Allah adalah menerapkan aturan itu, memastikannya berjalan dengan benar, agar manusia dapat merasakan hidup dalam kebaikan dan keadilan yang sesungguhnya.
Post a Comment