Sertifikat Tanah Elektronik, Mampukah Menyelesaikan Konflik Agraria?


Oleh: Astriani Lydia, S.S


Presiden Joko Widodo meluncurkan Sertifikat tanah elektronik di Istana Negara Jakarta pada  hari Senin, 4 Desember 2023. Pemerintah menjamin keamanan dari sertifikat ini karena adanya sistem yang berlapis sehingga lebih aman dari peretasan. Sertifikat tanah elektronik diklaim lebih aman dari manipulasi, tumpang-tindih, atau pencaplokan oleh mafia tanah. Jika demikian adanya pastilah mendapat sambutan baik dari semua pihak. Tapi semudah itukah dalam penerapannya?


Sejatinya masih ada masalah mendasar yang harus diselesaikan  terkait tanah, yaitu konflik lahan yang makin masif terjadi dan menjadikan rakyat sebagai korban. Sebut saja 

kasus Rempang. Masyarakat yang sudah berabad-abad tinggal di sana justru tidak diakui sebagai pemilik sah tanah dengan alasan tidak memiliki sertifikat. Ketika ada investasi yang dinilai menjanjikan, mereka dipaksa meninggalkan ruang hidup mereka. 


Ini membuktikan bahwa mengubah sertifikat tanah dari fisik ke elektronik sebenarnya bukan sesuatu yang mendesak. Semestinya pemerintah lebih dahulu menyelesaikan aturan konsep pertanahan sebelum memperbaiki secara teknis. Jelas, kapitalisme biang kerok dari permasalahan umat terutama dalam menjamin kepemilikan individu. 


Islam memiliki pengaturan yang khas tentang pertanahan. Islam mengakui hak milik tanah yang diperoleh dari cara yang dibenarkan syariat seperti dari jual beli, waris, hibah, hasil menghidupkan tanah mati, pemberian negara kepada rakyat, dan membuat batas pada tanah mati. 


Islam mewajibkan negara menjaga kepemilikan individu dan mengakui keberadaannya. Pengakuan hak milik tidak semata-mata ada sertifikat tapi pengelolaannya oleh aparat yg beriman dan bertakwa pada Allah Swt, yang tidak akan menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangannya.


Maka ketika tanah tersebut merupakan tanah yang dimanfaatkan umum, seperti hutan, padang gembala, dan sebagainya, negaralah yang akan mengelolanya untuk kepentingan umat. Tidak seperti kapitalis yang membiarkan pihak swasta atau oligarki mengambil alih kepemilikan dan pengelolaan tanah tersebut untuk kepentingan pribadi ataupun segelintir orang.


Hal ini hanya akan terealisasi pada negara yang memiliki visi mengurusi urusan rakyat. Bukan negara yang ogah mengurusi rakyat, seperti sistem saat ini. Wallahu a'lam bishshawab

Post a Comment

Previous Post Next Post