Presiden RI Joko Widodo meluncurkan sekaligus menyerahkan secara simbolis sertifikat tanah elekteonik di seluruh tanah air, Senin (04/12/2023) acara dipusatkan di Istana Negara, Jakarta. Dalam sambutannya, presiden menegaskan bahwa sertifikat tanah elektronik penting dimiliki oleh masyarakat untuk mengurangi segala resiko kehilangan dan kerusakan, serta memudahkan dalam pengelolaan data.
Di sisi lain Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Hadi Tjahjanto manfaat adanya sertifikat tanah elektronik ini adalah membatasi ruang gerak para mafia tanah. Terkait keamanan data yang mudah diretas Hadi mengatakan tetap ada kemungkinannya. Namun ia meyakini sistem blockdata yang dibangun menuju blockchain tidaklah mudah untuk diretas. Kebijakan tersebut sebelumnya pernah dikritik oleh Sekretaria Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika. Menurutnya langkah ini belum dibutuhkan alias bukan hal mendesak dan prioritas. Sebab, pendaftaran tanah sistematis di seluruh wilayah Indonesia belum dilakukan. Menurutnya pula "titik kritis dari proses semacam ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana validasi tersebut dilakukan, apakah secara sepihak oleh BPN dan pemohon institusi pemerintah serta badan usaha?." Sebab tanah yang sudah bersertifikat tersebut banyak yang bermasalah, misalnya tidak sesuai ukuran, tumpang-tindih, sedang bersengketa atau sedang berperkara di pengadilan, sementara sistem antar instansi seperti pengadilan belum terhubung. Dengan proses semacam ini berpotensi memperparah konflik agraria, mengukuhkan ketimpanganbdan monopoli tanah oleh badan usaha swasta dan negara, ungkap Kartika. Dikutip: wwwsetkabgoid
Upaya negara mengurangi konflik lahan yang sudah banyak terjadi di tengah masyarakat tampak tidak serius dan tidak menyentuh akar masalah. Negara seolah lepas tangan terhadap problem utama sengketa lahan yakni penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang telah meliberalisasi lahan. Penerapan sistem inilah sejatinya yang menjadikan lahan mudah dikuasai oleh para mafia tanah dan dikelola oleh korporasi. Adanya prosedur kepemilikan tanah melalui sertifikat tanah elektronik tidak akan mengubah regulasi yang telah disahkan pemerintah tentang syarat pengelolaan tanah. Sejak pengesahan dan pemberlakuan UU Ciptakerja warga sangat mudah kehilangan hak kepemilikan lahan. Pasalnya dalam UU ciptakerja pasal 103 ayat 2 disebutkan "untuk kepentingan umum dan/atau Proyek Strategis Nasional, lahan budidaya pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihfungsikan." Dikutip: wwwtirtoid
Apalagi konsep pertumbuhan ekonomi kapitalis yang memperhitungkan investasi mendorong negara membuka keran investasi sebesar-besarnya bagi para pemilik modal. Alhasil semakin banyak lahan warga yang terancam tergusur. Hal ini menegaskan bahwa negara dalam sistem kapitalisme demorasi hanya bertindak sebagai regulator yang tunduk pada kepentingan oligarki. Pantaslah jika dikatakan bahwa penguasa sejati negeri ini tidak lain adalah para oligarki. Sistem pertanahan yang adil tidak akan pernah terwujud dalam sistem kapitalisme, sebab pembangunan untuk kepentingan korporat adalah perkara mutlak dan rakyat dipaksa pasrah akan kondisi tersebut. Kalaupun ada proses pengadilan seringkali rakyat kalah di pengadilan atau dimenangkan namun tanah rakyat sudah dibangun tanpa sepengetahuan mereka.
Berbeda dengan sistem hukum lahan di negeri ini, syariat Islam melindungi harta masyarakat secara total, termasuk lahan. Islam mengatur skema kepemilikan lahan dengan adil. Warga bisa memiliki lahan melalui pemberian seperti hadiah atau hibah dan warisan. Islam juga membolehkam Khilafah membagikan tanah kepada warga secara cuma-cuma. Rasulullah saw pernah memberikan tanah kepada beberapa orang dari Muzainah atau Juhainah. Beliaupun pernah memberikan suatu lembah secara keseluruhan kepada Bilal bin Al-Harits al Mazani. Syariat Islam juga menetapkan bahwa warga bisa memiliki lahan dengan cara mengelola tanah mati, yakni lahan yang tidak bertuan yang tidak ada pemiliknya. Rasulullah saw bersabda: "siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang dzalim (yang menyerobot tanah orang lain)." (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).
Dengan demikian lahan yang tidak ada pemiliknya, lalu dihidupkan oleh warga dengan cara ditanami misalnya atau didirikan bangunan di atasnya atau bahkan dengan sekedar dipagari maka otomatis lahan itu menjadi miliknya. Nabi saw bersabda: "siapa saja yang mendirikan pagar di atas tanah (mati) maka tanah itu menjadi miliknya." (HR Ath -Thabrani). Namun demikian syariat Islam juga mengingatkan para pemilik lahan agar tidak menelantarkan lahannya. Penelantaran lahan selama tiga tahun menyebabkan gugurnya hak kepemilikan atas lahan tersebut. Selanjutnya lahan itu bisa diambil paksa oleh negara dan diberikan kepada pihak yang sanggup mengelola lahan tersebut. Ketetapan ini berdasarkan ijma sahabat pada masa khalifah Umar bin Al khatab ra. Imam Abu Yusuf dalam kitab Al Kharaj mencantumkan perkataan khalifah Umar "tidak ada hak bagi pematok lahan setelah tiga tahun (ditelantarkan)," (Abu Yusuf, Alkharaj, 1/77, Maktabah Syamil).
Imam Abu Ubaid dalam kitab Al-Amwal meriwayatkan bahwa khalifah Umar ra pernah mengambil kembali lahan milik Bilal bin Al-Harits al Mazani. Sebelumnya lahan tersebut merupakan pemberian dari Rasulullah saw, namun khalifah Umar ra melihat lahan tersebut ditelantarkan, kemudian beliau memerintahkan agar Bilal hanya boleh menguasai lahan seluas yang sanggup ia kelola. Hukum yang jelas seperti ini akan memberikan keadilan bagi para pemilik lahan. Kepemilikan mereka yang telah puluhan tahun atas lahan tidak bisa dibatalkan atau diambil-alih oleh siapa saja, oleh negara sekalipun, hanya karena tidak bersertifikat. Malah terbukti ketika sertifikat menjadi satu-satunya bukti keabsahan kepemilikan lahan ini justru membuka terjadinya perampasan lahan. Sungguh penerapan syariat Islam kaffah di bawah institusi khilafah akan menciptakan keadilan hakiki bagi masyarakat.
Allahu a'lam
Sumber: YT Muslimah Media Centre
Post a Comment