Pemerintah telah resmi meluncurkan sertifikat tanah elektronik. Meskipun penerapannya masih dilakukan secara bertahap di beberapa wilayah. Mengingat sertifikat tanah elektronik merupakan kebijakan baru, tentu banyak hal yang belum diketahui oleh masyarakat. Salah satunya yaitu bentuk dan isi sertifikat tanah elektronik.
Mengenai bentuk dan isi sertifikat tanah elektronik, hal ini tercantum didalam peraturan menteri ATR/ kepala BPN no.3 tahun 2023 tentang penerbitan dokumen elektronik dalam kegiatan pedaftaran tanah. Tampilan sertifikat tanah elektronik memiliki dua halaman.
Sebanyak 2,5 juta masyarakat di berbagai daerah, resmi mendapatkan sertifikat tanah elektronik pada 4-12-2023. Program baru yang diluncurkan pemerintah ini merupakan bagian dari upaya mengatasi konflik agraria.
Program ini diharapkan bisa mengurangi segala risiko kehilangan dan kerusakan, memudahkan dalam pengelolaan data, juga untuk menghindari mafia tanah. Pemerintah sendiri memiliki target menyelesaikan 120 juta sertifikat dari total 126 juta sertifikat pada 2024. Lalu Betulkah sertifikat tanah elektronik ini mampu mengatasi konflik Agraria?
Kepengurusan yang mudah, cepat, dan langsung yang ada dalam program sertifikasi tanah elektronik ini diharapkan bisa membantu negara dalam mengelola sertifikat tanah. Sayangnya, cara ini tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Di lapangan, masalah lahan tidak hanya ada pada cara mengurusnya online atau tidak, melainkan lebih dari itu. Beberapa konflik lahan yang ada justru melibatkan pihak ketiga, seperti perusahaan, pengembang, atau pengelola.
Kasus Wadas, Rempang, tambang batu bara, dan berbagai kasus lain bukanlah sekadar masalah sertifikat tanah elektronik, melainkan tentang keinginan perusahaan/lembaga untuk menjadikan tempat tinggal warga atau lahan tempat mata pencarian mereka sebagai tempat demi sebuah proyek besar demi keuntungan beberapa pihak.
Selain itu, sertifikat secara elektronik juga rentan mengalami peretasan. Meskipun pihak pemerintah menjamin akan ada keamanan siber ganda, kemungkinan bisa dibobol tetap saja ada. Jika keamanan elektronik yang canggih milik negara saja bisa diretas, tidak menutup kemungkinan keamanan data lainnya di negeri ini juga sama.
Sertifikat tanah elektronik juga bukan hal krusial. Meskipun sudah punya sertifikat tanah elektronik, jika masalah utamanya tidak selesai, konflik agraria akan terus ada. Sebagaimana kita ketahui, ratusan konflik agraria terjadi sejak pencanangan program strategis nasional (PSN) ataupun pengesahan UU Ciptaker. Sejak UU itu disahkan, banyak sekali wilayah persawahan atau perkebunan mengalami alih fungsi lahan menjadi pabrik atau tambang.
Kasus Rempang pun membuktikan, masyarakat yang sudah berabad-abad tinggal di sana justru tidak diakui sebagai pemilik sah tanah dengan alasan tidak memiliki sertifikat. Sedangkan kalau pemilu, suara mereka dikejar-kejar. Namun, ketika ada investasi yang dinilai menjanjikan, mereka dipaksa meninggalkan ruang hidup mereka. Ujungnya, tetap rakyat yang jadi korban.
Semua itu menyinyalir bahwa rencana mengubah sertifikat tanah dari fisik ke elektronik sebenarnya bukan sesuatu yang urgen. Semestinya pemerintah lebih dahulu menyelesaikan aturan konsep pertanahan sebelum memperbaiki secara teknis.
Masalah agraria yang tidak terselesaikan menunjukkan bahwa kapitalisme tidak mampu mengurusi kebutuhan rakyat. Kapitalisme merupakan biang keladi dari masalah ini. Dalam sistem kapitalisme, kepemilikan individu sangat dijamin. Asalkan menguntungkan, semua akan dilakukan. Termasuk UU, dibuat untuk memuluskan kepentingan individu pengusaha.
Pengalihfungsian lahan, baik lahan subur, lahan berpenghuni, dan lainnya, dapat dialih fungsi demi keuntungan ekonomi.
Akhirnya, rakyat yang kena getahnya. Mereka harus meratapi nasib dari berbagai akibat pengalihfungsian lahan.
Inilah jadinya jika negara hanya berperan sebagai regulator yang memuluskan kepentingan para oligarki.
*Solusi tuntas akan konflik Agraria*
Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna memiliki pengaturan yang khas tentang pertanahan. Islam akan mengakui hak milik tanah ketika diperoleh dari jual beli, waris, hibah, hasil menghidupkan tanah mati, pemberian negara kepada rakyat, dan membuat batas pada tanah mati. Dengan alasan tersebut, negara akan melindungi hak rakyat.
Ketika tanah tersebut merupakan tanah yang dimanfaatkan umum, seperti hutan, padang gembala, atau mengandung SDA yang melimpah, negaralah yang akan mengelolanya.
Negara tidak akan membiarkan kepemilikan tanah tersebut jatuh ke tangan individu atau swasta, apalagi oligarki.
Negara yang memiliki visi mengurusi urusan rakyat jelas tidak akan membiarkan sesuatu pada mereka dan akan melindungi dengan berbagai cara. Ini hanya akan terealisasi pada negara yang mengambil sistem pemerintahan Islam, yaitu Khilafah. Wallahu a'lam bishawwab
Post a Comment