Sertifikat Tanah Elektrik, Bukan Solusi Agraria


Oleh : Dian Safitri


Nasib rakyat di era kapitalisme sungguh mengenaskan. Mereka terus dipaksa tunduk pada aturan yang dibuat penguasa. Salah satunya terkait sertifikat tanah elektronik.

Pemerintah pusat resmi meluncurkan sertifikat tanah elektronik secara nasional pada Senin, 4 Desember 2023. Digitalisasi dilakukan sebagai upaya untuk menekan konflik lahan. Sekretaris Provinsi Lampung, Fahrizal Darminto, mengatakan sebanyak 3.125 sertifikat hasil kegiatan pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dan redistribusi untuk masyarakat Lampung. Katanya terobosan itu dilakukan dengan harapan mengurangi konflik-konflik terkait tanah, khususnya mafia tanah (lampost, 04/12/2023).


Sebenarnya, ketika sertifikat menjadi satu-satunya bukti keabsahan kepemilikan lahan, maka tidak menutup kemungkinan malah akan membuka celah terjadinya perampasan lahan dan bahkan bisa direkayasa. Satu sertifikat dimiliki oleh beberapa orang.


Upaya negara melakukan sertifikat tanah untuk mengurangi konflik lahan, hal ini bukan solusi yang tepat. Karena akar masalahnya adalah penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang telah meliberalisasi lahan. Karena penerapan sistem inilah yang membuat lahan itu mudah dikuasai oleh para mafia tanah dan dikelola oleh koorporasi. Maka, adanya sertifikat tanah itu hanya akan menambah masalah baru karena bisa direkayasa. Adanya transformasi pelayanan berbasis digital dengan dalih lebih cepat melayani masyarakat hanya omong kosong semata. Karena tidak akan bisa mengubah regulasi yang telah disahkan pemerintah tentang syarat pengelolaan tanah. Meskipun pemerintah tetap kekeh mengatakan sertifikat tanah elektronik dapat menekan terjadinya sengketa tanah yang marak terjadi. Tapi, faktanya masalah mendasar tidak diselesaikan terkait konflik lahan yang makin masif dan masyarakat menjadi korbannya. Rakyat harus menangis pilu menyaksikan tanah miliknya dirampas oleh para pengusaha dan negara tidak bisa menyelesaikan masalah itu.


UU Ciptaker yang telah disahkan oleh pemerintah telah mendzolimi rakyat. Karena adanya UU tersebut, membuat rakyat mudah kehilangan lahannya. Dalam pasal 103 ayat 2 disebutkan "untuk kepentingan umum dan/atau proyek strategis nasional, lahan budidaya pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dialihfungsikan".


Belum lagi konsep pertumbuhan ekonomi ala kapitalis yang memperhitungkan investasi, mendorong negara membuka kran investasi sebesar-besarnya bagi para pemilik modal. Hal ini akan membuat semakin banyak lahan warga yang terancam tergusur. Negara dalam sistem kapitalisme demokrasi hanya bertindak sebagai regulator yang tunduk pada kepentingan oligarki. Selain itu, sistem kapitalisme yang diemban oleh negeri ini, menjadikan semua regulasi mendukung adanya pengalih fungsian lahan. Belum lagi, regulasinya yang sering berubah seiring bergantinya pemimpin.


Berbeda jauh dengan syariat Islam yang melindungi harta masyarakat termasuk lahan. Islam mewajibkan negara menjaga kepemilikan individu dan mengakui keberadaannya. 

Selain itu, Islam juga membolehkan Khilafah membagikan tanah secara cuma-cuma. Sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam yang pernah memberikan tanah kepada beberapa orang dari Muzainah atau juhainah. Beliau pun pernah memberikan lembah kepada Bilal bin Al Harits al-mazani.


Tidak hanya itu, bahkan tanah mati yang tidak bertuan, bisa dikelola oleh warga dan status kepemilikannya menjadi milik warga yang mengelola tersebut. Begitulah pengaturan syariat Islam. Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda yang artinya: 


"Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang dzolim. (HR.at-Tirmidzi, Abu Daud dan Ahmad). 


Maka, lahan yang tidak ada pemiliknya kemudian dihidupkan oleh warga dengan cara ditanami lalu didirikan bangunan di atasnya, kemudian dipagari maka otomatis lahan itu menjadi miliknya. Rasulullah Shalallahu 'alaihi wasallam bersabda yang artinya :


"Siapa saja yang mendirikan pagar di atas tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya." (HR.at-Thabrani).


Walau demikian, Islam juga melarang agar tidak menelantarkan lahannya karena jika selama tiga tahun lahan ditelantarkan, maka hak kepemilikan itu menjadi gugur. Negara akan mengambil alih dan diberikan kepada pihak yang sanggup mengelolanya. Tidak ada hak bagi pematok lahan setelah tiga tahun ditelantarkan. Khalifah Umar pun pernah mengambil kembali lahan milik Bilal Bin Al-Harits al-Mazani yang telah ditelantarkan oleh Bilal.


Kejelasan hukum Islam ini sangat memberikan keadilan bagi para pemilik lahan. Kepemilikan mereka yang telah puluhan tahun atas lahan tidak akan bisa diambil oleh siapa pun bahkan negara sekali pun hanya karena tidak bersertifikat.


Wallahu'Alam

Post a Comment

Previous Post Next Post