Pembangunan di berbagai bidang terlebih infrastruktur di negeri ini terus digencarkan terutama di Ibu Kota dan kota-kota madya.
Pembangunan ini dipandang sangat penting untuk menopang laju pertumbuhan ekonomi negeri. Oleh karenanya, pemerintah terus berupaya meningkatkan konektivitas antarkawasan agar mobilisasi barang, jasa, dan manusia lebih lancar sehingga perekonomian pun bisa ikut bertumbuh.
Tidak hanya itu, pembangunan juga dilakukan di berbagai daerah dengan alasan untuk menunjang perekonomian warga. Mirisnya, berbagai proyek ini justru memunculkan permasalahan baru. Tidak sedikit berujung pada kekerasan, bahkan perampasan lahan milik rakyat, baik dilakukan oleh penguasa, aparat, atau pengusaha.
Masih segar dalam ingatan kita kasus proyek pembangunan kawasan Rempang Eco-City atau proyek pembangunan Bendungan Bener di Desa Wadas yang benar-benar melukai masyarakat. Pemerintah mengeklaim bahwa tanah tersebut adalah tanah milik negara, lalu diperkuat dengan alasan demi kepentingan umum. Ini agar apa yang dilakukannya tidak tampak sebagai perampasan.
Sementara itu, perusahaan berpatok pada hak guna atau konsesi yang mereka terima dari negara agar mereka pun tidak dipersalahkan. Parahnya lagi, negara dan perusahaan dengan mudah memanfaatkan kurangnya pengetahuan masyarakat dan lemahnya bukti kepemilikan rakyat atas tanah sebagai argumentasi. Belum lagi kacaunya sistem administrasi pertanahan yang pada akhirnya memosisikan masyarakat sangat rentan menjadi korban kezaliman.
Jika kita cermati, sesungguhnya semua kondisi ini dikembalikan pada satu sebab mendasar, yakni penerapan sistem kapitalisme di negeri ini. Sungguh sangat nyata spirit kapitalisme mengedepankan pencapaian keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya, meskipun rakyat yang akhirnya menjadi korban. Yang terjadi adalah kongkalikong antara pengusaha dan penguasa. Bahkan, dampak yang membahayakan rakyat dan lingkungan pun mereka tidak peduli.
Tempat hidup rakyat yang seharusnya nyaman, bersih, sehat, dan mendukung untuk menjalankan kehidupan sesuai misi penciptaan, akhirnya menjadi tempat yang tidak layak huni karena rawan bagi keselamatan para penghuninya. Bahkan, tanah yang telah sangat lama ditinggali oleh warga pun hendak dirampas dan diambil alih.
Demikianlah potret buram kehidupan dalam sistem kapitalisme, mereka harus rela menerima keputusan untuk digusur dari tempat tinggalnya atas nama kepentingan rakyat, sebagaimana yang terjadi di Wadas atau Rempang dan sebagainya.
Konflik semacam ini tentu membuat kita prihatin, banyak konflik lahan yang alot diselesaikan karena bagaimanapun tanah memiliki nilai yang tidak bisa dianggap remeh. Bagi negara dan pengusaha, tanah adalah aset utama investasi dan akumulasi modal. Sedangkan bagi masyarakat, tanah adalah tempat tinggal, aset ekonomi, simbol sosial budaya atau warisan. Itulah sebab ketika terjadi persengketaan berkaitan dengan tanah atau lahan, siapa pun akan dengan sekuat tenaga mempertahankannya hingga titik darah penghabisan.
Realitasnya, kian hari ketimpangan penguasaan lahan ini kian lebar, kalangan berduit akan lebih banyak menguasai lahan. Industrialisasi dan pembangunan yang masif dilakukan, membuat kepemilikan lahan, termasuk yang diklaim milik negara, dengan mudah beralih kepada para pemilik modal. Adapun rakyat yang lemah, cenderung tidak punya pilihan. Seberapa pun keras melakukan perlawanan, mereka akan kalah telak oleh kekuatan uang dan kekuasaan.
Jika memang benar semua proyek pembangunan yang memicu konflik lahan adalah demi kepentingan rakyat, pertanyaannya, rakyat mana yang dimaksudkan karena faktanya rakyat yang justru sering kali menjadi korban.
Berbeda dengan sistem hukum lahan di negeri ini yang membiarkan pemilik modal bisa menguasai lahan seluas apa pun, syariat Islam Islam mengatur kepemilikan lahan dengan sangat adil dan terperinci. Setiap warga berhak untuk memiliki lahan, baik dengan membelinya maupun melalui pemberian, seperti hadiah, hibah, dan warisan. Islam juga membolehkan Khilafah membagikan tanah kepada warganya secara cuma-cuma.
Sedangkan berkaitan dengan tanah tidak bertuan, syariat Islam menetapkan bahwa warga bisa memilikinya dengan cara mengelolanya. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim (yang menyerobot tanah orang lain).” (HR At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad).
Selain itu, syariat Islam juga mengingatkan pemilik lahan agar tidak menelantarkannya karena penelantaran selama tiga tahun menyebabkan gugurnya hak kepemilikan atas lahan tersebut. Selanjutnya, lahan itu akan diambil paksa oleh negara dan diberikan kepada pihak yang sanggup mengelola lahan tersebut. Ketetapan ini berdasarkan ijmak sahabat.
Imam Abu Ubaid dalam Al-Amwâl hlm. 328 menjelaskan bahwa Khalifah Umar ra. pernah mengambil kembali sebagian lahan milik Bilal bin Al-Harits al-Mazani yang diberi Rasulullah saw. karena beliau melihat lahan tersebut ditelantarkan. Kemudian beliau ra. menetapkan untuk Bilal tanah yang sanggup untuk dikelolanya saja.
Sungguh, Islam telah memberikan aturan yang sangat terperinci dan adil bagi para pemilik lahan. Kepemilikan lahan tidak bisa dibatalkan atau diambil alih oleh siapa saja, bahkan negara sekalipun, hanya karena tidak bersertifikat. Ketika sertifikat menjadi satu-satunya bukti keabsahan kepemilikan lahan, ini justru membuka celah terjadinya perampasan lahan. Pasalnya, ada segelintir orang yang mempunyai akses mengurus sertifikat lahan. Sebaliknya, warga yang tidak mempunyai akses mengurus lahan, status kepemilikannya malah terancam. Bahkan, akibat tidak ada sertifikat, negara seolah bisa semena-mena mengambil-alih lahan milik warga.
Tentang perampasan tanah, Nabi saw. telah mengancam para pelakunya dengan siksaan yang keras. Beliau saw. bersabda, “Siapa saja yang mengambil sejengkal tanah secara zalim, Allah akan mengalungkan tujuh bumi kepada dirinya.” (HR Muttafaq ‘alayh).
Dalam hadis lain, sabdanya, “Barang siapa mengambil sejengkal tanah saudaranya dengan zalim, niscaya Allah akan mengimpitnya dengan tujuh lapis bumi pada hari kiamat.” (HR Muslim).
Demikianlah, Islam dengan sangat detail mengatur kepemilikan lahan, larangan menelantarkannya, juga ancaman keras bagi siapa pun yang melakukan perampasan atas tanah yang bukan haknya. Lalu bagaimana seluruh rambu-rambu ini bisa berjalan dengan benar. Di sinilah pentingnya adanya seorang pemimpin atau khalifah untuk mewujudkannya. Saatnyalah untuk kembali kepada sistem Islam dalam naungan Khilafah. Wallahualam bissawa
Post a Comment