Rendahnya ketahanan mental remaja, Alarm bagi Peradaban


Penulis : Alin lizia Anggraeni.SE 
(Muslimah Peduli Generasi)


Kasus bunuh diri yang identik dilakukan oleh orang dewasa, kini mengalami pergeseran. Mulai menjangkit hingga anak sekolah dasar. Seorang anak di Kecamatan Doro, Kabupaten Pekalongan, nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri. Korban ditemukan sudah tidak bernyawa di dalam kamarnya, Rabu (22/11). Aksi nekad bocah SD itu diduga dipicu karena dilarang bermain HP.


Sementara seorang anak berinisial SR (13), siswi Sekolah Dasar Negeri 6 Petukangan Utara, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, kehilangan nyawa setelah jatuh dari lantai empat sekolahnya, Selasa (26/9/2023). Ia dinyatakan meninggal dunia ketika dalam perawatan di RSUP Fatmawati, Jakarta Selatan. Pemicu jatuhnya SR masih didalami oleh aparat terkait. Ada dugaan kuat ia bunuh diri.


Deputi bidang Perlindungan Khusus Anak Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat, setidaknya ada 20 kasus bunuh diri anak-anak sejak januari 2023. Pelaku bunuh diri merupakan anak-anak berusia 18 tahun kebawah.


Kasus bunuh diri bukanlah hal baru, tetapi malah menjadi tren yang cukup meningkat mulai 5-10 tahun terakhir di Indonesia. Kasus bunuh diri terjadi seiring dengan kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi berbasis digital ikut  membantu menstimulus self harm, yaitu  menyakiti diri sendiri secara ringan, seperti membenturkan diri atau menyayat jari hingga kalau tidak kuat menahan depresi otomatis mengambil tindakan bunuh diri. Setiap orang pada dasarnya memiliki ketahanan mental yang berbeda-beda, tetapi kondisi memicu generasi untuk memiliki mental yang lemah.


Di negara maju pun juga tidak kalah banyaknya, di sana bunuh diri jadi tren seperti di Korea, Cina, Amerika, dan Prancis. Gangguan mental tidak pernah memandang kaya, miskin, tua, muda, muslim, maupun nonmuslim. Memang pada saat ini semua kalangan dapat dengan mudah berpotensi mengalami stres hingga depresi, Banyaknya kasus bunuh diri ini menunjukan ada kesalahan dalam tata kehidupan , baik dalam keluarga, masyarakat dan negara. Tata kehidupan yang rusak adalah dampak dari sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan, manusia dalam sistem ini  menjauhkan peran agama dalam mengatur kehidupan, mereka tumbuh dan hidup tanpa menghadirkan agama sebagai  tuntunan. Jadi wajar para remaja tumbuh dengan kematangan emosi yang tidak stabil, karna menjalani hidup jauh dari tuntunan agama.


Meningkatnya depresi dan bunuh diri pada remaja adalah gambaran memburuknya kesehatan mental masyarakat. Selama ini, pembangunan selalu ditujukan untuk perbaikan materi dan gizi masyarakat, bukan pada kesehatan mental. Tidak heran karena memang begitulah pola fikir masyarakat dengan sistem sekulerisme


Akibatnya, pemuda tidak lagi mendapat sebutan agent of change melainkan mendapat gelar sebagai generasi stroberi, yaitu generasi yang penuh dengan gagasan kreatif tetapi mudah menyerah dan gampang sakit hati.


Bagaimanapun, Negara dan masyarakat bertanggung jawab  mencegah depresi dan tindak bunuh diri di masyarakat, khususnya remaja. Budaya sekularisme kapitalisme harus dihentikan karena menjadi penyebab hancurnya mental remaja.


Sistem Islam memberi modal bertahan hidup sejak usia dini, semua kebutuhan terjamin gratis atau dengan biaya yang mudah. Jelas tujuan hidup untuk beribadah pada-Nya, sehingga tidak mengherankan untuk memiliki dasar akidah yang kuat dan tidak tergoyahkan. Pentingnya lingkungan untuk membentuk setiap generasi yaitu dibangun atas dasar ketakwaan individu, masyarakat dan sistem pengaturan negara. Sistem Islam menjamin terpenuhinya fitrah setiap kebutuhan secara merata, baik penjagaan individu maupun keluarga, sehingga melahirkan genetrasi tangguh tanpa berputus asa dengan jalan bunuh diri. Hanya dengan Islam umat Islam memiliki generasi tangguh yang mampu membangun peradaban Islam.

Post a Comment

Previous Post Next Post