Berita bullying saat ini seakan menjadi menu pokok dalam kehidupan masyarakat. Seorang siswa SMA kelas 1 bernama MH (14), pelajar di MAN 1 Medan menjadi korban dugaan penyiksaan oleh teman satu sekolah dan kakak kelas yang sudah alumni. Ia dipukuli, disuruh memakan sendal berlumpur, makan daun mangga, dipaksa meminum air yang sudah diludahi sekitar 20 orang, dan punggung telapak tangannya juga disundut menggunakan kunci yang dibakar terlebih dahulu menggunakan korek api. Khairani Anwar, ibu korban, menduga penyiksaan karena anaknya menolak bergabung ke geng dan berteman dengan murid sekolah lain.
Kasus serupa juga terjadi di Jakarta. 12 siswa kelas X SMAN 26 Jakarta dianiaya secara brutal oleh 15 orang kakak kelasnya, XI dan XII. Salah satu korban tubuhnya lebam hingga kemaluannya terluka, siswa lain yang juga menjadi korban mengalami patah tulang rusuk.
Lebih miris lagi dan dunia pendidikan berduka, seorang siswa kelas VI SD berinisial F (12) di Bekasi menjadi korban bullying setelah diduga di-sliding teman sekolah hingga berujung kakinya diamputasi, berujung meninggal dunia.
Berbagai cara sudah dilakukan pemerintah baik itu Bimtek Roots maupun mengeluarkan Permendikbud No 46 Tahun 2023 melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tentang pencegahan dan penanganan kekerasan pada anak di satuan pendidikan. Namun kasus bullying hingga saat ini belum terselesaikan.
Data pelanggaran terhadap perlindungan anak yang masuk KPAI hingga Agustus 2023 mencapai 2.355 kasus. Anak sebagai korban perundungan (87 kasus), anak korban pemenuhan fasilitas pendidikan (27 kasus), anak korban kebijakan pendidikan (24 kasus), anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis (236 kasus), anak korban kekerasan seksual (487 kasus), serta masih banyak kasus lainnya yang tidak teradukan ke KPAI (tirto, 22-10-2023).
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) juga mencatat, terjadi 23 kasus perundungan terjadi di sekolah sejak Januari hingga September 2023. Dari 23 kasus tersebut sebanyak 50 % terjadi di SMP, 23 % di SD, 13,5 % di SMA, dan 13,5 % di SMK (detik,03-10-2023)
Bullying sudah dianggap salah satu "dosa besar" pendidikan. Berpuluh tahun kasus bullying belum berhenti meski sudah dibentuk satgas di berbagai satuan pendidikan. Hal ini menunjukkan adanya kesalahan cara pandang kehidupan dan akar masalah persoalan. Juga buruknya sistem pendidikan sehingga lahir generasi yang buruk pula perilakunya. Demikian juga buruknya lingkungan sekitarnya.
Perlu perhatian serius dan solusi yang tepat atas persoalan ini, karena menyangkut generasi muda sebagai penerus bangsa.
Fiaktor penyebab bullying bermuara pada sistem yang berlaku saat ini yaitu sekularisme. Sekularisme memandang agama adalah hal pribadi yang tidak perlu dibawa dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, agama adalah pondasi yang menjadi benteng dari segala perbuatan yang boleh dan tidak dilakukan dalam pandangan agama. Pondasi agama seharusnya dibangun kokoh agar siswa memiliki self control dalam ucapan dan perbuatan.
Pendidikan di sekularisme hanya berfokus pada tujuan materi belaka, Agama mendapatkan porsi sangat sedikit dalam mendidik generasi, Akibatnya generasi saat ini mengalami krisis moral karena kehidupan sekuler memberikan kebebasan berperilaku pada setiap individu, membentuk mereka menjadi manusia yang bebas dalam konteks jauh dari norma dan nilai-nilai agama, sehingga naluri mereka tidak terarah dan tidak terdidik dengan norma dan nilai agama.
Sekularisme dan turunannya seperti liberalisme (kebebasan), dan permisif (serba boleh) membuat pondasi agama menjadi kian terkikis.
Akibat perilaku bebas yang dijamin HAM, marak konten-konten negatif bertebaran baik pornografi atau kekerasan verbal serta fisik yang kerap dipertontonkan di berbagai platform media yang dengan mudah diakses oleh siapapun.. Akibatnya generasi muda yang notabene mudah meniru, mencontoh aktivitas-aktivitas itu tanpa pikir panjang. Dengan dalih kebebasan, siswa bebas berbuat dan berbicara apa saja. Budaya permisif menabrak pondasi akidah dan adab sehingga menghilangkan jati diri pemuda muslim. Sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan melahirkan manusia berperilaku bebas tanpa memandang halal dan haram, demi kesenangan semua dilakukan tanpa ada batasn..
Dalam Islam pendidikan generasi tak hanya dibebankan kepada orang tua, melainkan juga pada masyarakat dan negara. Negara di dalam Islam sebagai peri'ayah dan pemilik kekuasaan yang berwenang untuk menentukan arah pandang pendidikan yang benar dan berlandaskan akidah Islam. Tidak seperti sekarang yang menjadikan materi sebagai tujuan hidupnya, akibatnya tak jarang remaja hari ini yang sudah bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah memutuskan untuk berhenti sekolah. Dengan melihat berbagai persoalan yang menimpa generasi muda, sudah sepatutnya kita mengoreksi sistem pendidikan saat ini.
Islam memiliki sistem pendidikan terbaik, berasas akidah Islam, yang meyakini adanya hari pembalasan. Keyakinan ini bisa mencegah adanya kejahatan karena keyakinannya pada pertanggungjawaban kelak.
Dalam pendidikan islam, siswa dibekali akidah yang kokoh, ilmu yang bermanfaat dan difokuskan pada hal-hal positif agar bisa menghasilkan karya seperti para ulama dahulu. Untuk mewujudkannya tidak bisa di dalam sistem yang memperbolehkan kebebasan dan budaya permisif. Akan tetapi, melalui sistem yang sesuai fitrah manusia menuntun ke jalan taat dan takwa.
Semua lini harus berperan aktif untuk menghapus bullying. Dari orang tua yang harus memperbaiki pola asuh. Dukungan lingkungan yang positif dan kondusif agar siswa tumbuh menjadi generasi yang berkepribadian baik. Sekolah yang mendidik siswa memiliki kepribadian Islam, shaleh shalihah, berprestasi, dan memunculkan aura positif yang dominan mempengaruhi mereka.
Namun, semua itu tidak akan terwujud tanpa adanya peran dari negara. Karena negara lah yang memiliki kapasitas untuk mengatur semuanya. Negara sebagai periayah rakyat berkewajiban menyaring segala informasi yang dapat merusak generasi, seperti segala konten porno, kekerasan, maupun tayangan berbau liberal yang berdampak menjauhkan generasi dari arah yang semestinya. Negara sebagai junnah/pelindung harus serius dan waspada dalam menjaga dan melindungi calon generasi penerus bangsa. Hal ini harus diawali dengan mengubah pendidikan sekuler menjadi pendidikan Islam. Sebab hanya syariat Islamlah yang menjaga anak sesuai dengan fitrahnya, dan menjadikannya generasi berkualitas, yang produktif dalam kebaikan dan ketaatan kepada Allah SWT.
Sudah saatnya umat sadar dan bangkit agar sistem yang rusak tersebut segera diganti dengan sistem yang akan memudahkan kita sebagai orang tua dalam mendidik anak-anak kita, sistem yang kondusif untuk melahirkan generasi terbaik, yaitu dengan penerapan Islam secara kaffah oleh negara. Dengan berjalannya seluruh fungsi ini, serta menjadikan Islam sebagai sandaran, generasi kita akan terselamatkan dari rusaknya sistem hidup yang ada saat ini. Dan tentunya akan melahirkan generasi yang berkualitas baik dalam pemikiran maupun perbuatan.
_Wallahu a'lam bishshawab_
Penulis : Ima Amalia, A.Md
(Muslimah Rindu Jannah)
Post a Comment