Pegiat Dakwah
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa baru terkait larangan membeli produk dari produsen yang mendukung agresi Zionis Yahudi ke Palestina. Fatwa nomor 83 tahun 2023, berisi tentang hukum dukungan terhadap Palestina. Dalam fatwa tersebut tertuang bahwa mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina hukumnya adalah wajib, sedangkan mendukung entitas Yahudi dan produk yang mendukung produk Yahudi hukumnya haram.
Menindaklanjuti fatwa MUI tersebut, maka Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Bandung Cece Hidayat mengimbau agar masyarakat tidak berangkat ke Palestina dengan alasan berjihad. Cece mengatakan bahwa walaupun terjadi konflik kemanusiaan yakni perang di Palestina, namun bukan berarti berangkat ke sana bisa melakukan jihad. Untuk membantu perjuangan masyarakat Palestina bisa dilakukan dengan berbagai cara. Berdoa, salat ghaib, menggalang dana, juga lainnya yang bermanfaat.
Masih kata Kepala Kemenag dalam orasinya di masjid Al-Fathu Kabupaten Bandung, bahwa melawan secara ekonomi juga bisa dilakukan. Terlebih saat ini MUI telah mengeluarkan fatwa terkait menghindari penggunaan produk asal perusahaan yang berafiliasi dengan Israel. (Ayobandung,17/11/2023)
Imbauan MUI yang melarang jihad ke Palestina, sungguh telah mencerminkan ambiguitas dari sikap MUI terhadap pembelaan muslim Gaza. Selain itu, berarti juga telah mendowngrade terhadap makna jihad yang sesungguhnya. Padahal ini adalah momen yang tepat bagi MUI yang dipandang sebagai kumpulan para ulama guna menunjukkan posisinya yang mulia sebagai pewaris Nabi dengan merealisasikan Firman Allah dan Sabda Rasulullah tentang jihad.
Sebetulnya penjajahan terhadap Palestina yang berlarut-larut terjadi karena tidak adanya kekuatan umat Islam yang mampu mengusir penjajah. Semua ini disebabkan oleh ide nasionalisme yang telah membelenggu dan mengakar di negeri-negeri muslim. Ide nasionalisme dalam sistem negara bangsa (nation state) telah berhasil memecah-belah, memperlemah kaum muslim. Bahkan menjadikannya sebagai legitimasi untuk tidak membela dan melindungi saudara mereka di belahan bumi lainnya.
Atas nama nasionalisme, mereka mengabaikan rasa persaudaraan meskipun pada hakekatnya mereka dipersaudarakan dengan ikatan akidah. Sekarang ikatan yang pernah menyatukan umat Islam ini telah hilang.
Akibatnya tidak ada upaya mengirimkan bantuan riil kepada saudara muslim lainnya yang sedang dalam bahaya. Bisa dikatakan bahwa nasionalisme telah menjadi penyakit yang membuat negeri-negeri muslim memandang penderitaan di negeri lain sebagai persoalan asing yang tidak ada hubungannya dengan mereka. Tidak ada kemauan politik untuk bertindak, kecuali jika berguna untuk kepentingan nasional mereka.
Seharusnya umat Islam sadar bahwa nasionalisme adalah ide yang berasal dari kafir Barat penjajah untuk menghancurkan suatu negara. Termasuk kesatuan umat Islam di bawah naungan sistem Islam kafah sebelum keruntuhannya tahun 1924. Saat itu umat Islam bersatu dalam satu negara besar, kuat, serta adidaya. Namun sejak Barat berhasil meruntuhkannya, maka wilayahnya dipecah-belah menjadi banyak negara. Jelas, ini adalah kondisi yang berbahaya bagi umat Islam. Saat ini Amerika dan negara-negara Barat pengusung ideologi kapitalisme, terus menyebar-luaskan racun pemikiran tentang nasionalisme, guna mempertahankan eksistensi ideologi mereka.
Di dalam kitab nizamul Islam karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dijelaskan bahwa ikatan kebangsaan atau nasionalisme adalah ikatan yang tumbuh ketika manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu. Saat itu naluri mempertahankan diri sangat berperan mendorong mereka untuk mempertahankan negerinya, tempat mereka hidup. Ikatan ini tergolong paling lemah dan rendah nilainya karena hanya bersifat emosional sesaat, dan muncul ketika ada ancaman pihak asing yang hendak menyerang suatu negeri. Tapi apabila suasananya aman dari serangan musuh, maka sirnalah kekuatan ikatan tersebut.
Oleh karena itu, ikatan tersebut tidak akan mampu mengikat antara manusia satu dengan yang lain untuk menuju kebangkitan dan kemajuan.
Umat Islam saat ini harus memahami bahwa penyebab mendasar diamnya para penguasa muslim terhadap Palestina, disebabkan pemikiran nasionalisme turunan dari kapitalisme.
Umat Islam harus menyerukan untuk memboikot pemikiran yang membelenggu dalam mewujudkan kemerdekaan Palestina di bawah negara yang akan mempersatukan seluruh muslim di dunia. Apalagi setelah nampak pengaruh dari boikot produk.
Secara objektif, sistem Islam jelas lebih unggul daripada yang lainnya. Aturan yang membawa kebaikan bagi seluruh umat manusia apapun rasnya, agama, bahasa, maupun warna kulitnya.
Tercatat dalam sejarah, selama 1300 tahun sistem Islam pernah diterapkan. Mulai masa Rasulullah saw. di Madinah, hingga Khilafah Ustmaniyah. Kekuatan dan keunggulannya terletak pada individu-individu muslim di masyarakat. Juga kemampuan sistemnya dalam menerapkan berbagai aturan yang selaras pemikiran dan perasaan umat. Maka sistem inilah yang akan menjaga dan melindunginya.
Jadi, ketika MUI memfatwakan boikot produk, terkesan mencari aman saja. Itu pun akhirnya menjadi bola liar di tengah masyarakat. Karena di satu sisi mengeluarkan fatwa untuk boikot produk Zionis, sementara di sisi lain tidak mengeluarkan data list barang-barang yang diboikot. Jika MUI benar-benar mendukung dan membela Palestina, seharusnya mengeluarkan fatwa berikut mendesak pemerintah agar mengirimkan militer ke Gaza secara independen, bukan dalam rangka misi perdamaian PBB. Karena jika demikian, tidak akan pernah menyelesaikan persoalan Palestina.
Maka sudah seharusnya kaum muslim wajib menjadikan Islam sebagai sistem yang menjaga cara berpikir mereka. Penguasa muslim harus membuang pemikiran asing (selain Islam), dan mendukung penerapan sahih di bawah kepemimpinan Islam. Para penguasa ini harus menyadari bahwa umat Islam adalah ikhwatun dan harus menolong saudaranya.
"Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara..." (TQS. al Hujurat:10)
"....tetapi jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan agama), maka kamu wajib memberikan pertolongan...".(TQS. al Anfal: 72)
Wallahu a'lam bisShawwab.
Post a Comment