(Aktivis Dakwah Islam)
Setelah sekian lama PT Freeport Indonesia dikelola swasta asing, seharusnya negara mulai mengupayakan mengelola secara mandiri. Apa sebenarnya yang menjadi kendala penguasa pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) secara mandiri? Tanpa perlu melibatkan swasta dalam negeri dan swasta luar negeri. Bukankah perpanjangan kontrak PT Freeport akan memperpanjang penjajahan atas SDA? Keuntungannya bukan untuk rakyat tapi para pengusaha bermodal besar. Bagaimana islam memandang pengelolaan SDA dalam potensi yang besar?
Dikutip dari laman CNBCIndonesia (17/11/23) PT Freeport Indonesia (PTFI) buka suara perihal adanya kepastian perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pertambangan setelah tahun 2041 mendatang. Dengan kepastian itu, Freeport Indonesia diminta untuk kembali menyerahkan sahamnya sebesar 10% ke pemerintah Indonesia. VP Corporate Communication PTFI, Katri Krisnawati mengatakan untuk mendapatkan izin perpanjangan operasi IUPK PTFI di Papua, PTFI akan membangun fasilitas pemurnianan dan pemrosesan mineral mentah (smelter) di Fak-Fak, Papua Barat dan menambahkan saham pemerintah sebesar 10%.
Alasan kuat yang mendorong pemerintah akan memperpanjang kontrak PT Freeport adalah janji akan dibangunnya smelter (pemrosesan mineral mentah) di Papua Barat dan ditambahnya saham pemerintah sebesar 10%.
Dilihat dari sisi keuntungan yang diperoleh negara dengan saham yang meningkat 10℅, jika dibandingkan dengan mengelola tambang emas ini secara mandiri. Tentu keuntungannya akan lebih besar dengan mengelola mandiri. Tapi kenapa pemerintah lebih memilih bekerjasama dengan pihak asing, dan merasa cukup dengan menerima sebagian keuntungan saja?
Pertama, butuh paradigma yang benar dalam memandang SDA dengan potensi besar seperti emas. Harus dikelola oleh negara secara mandiri dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Namun demokrasi kapitalis ditopang oleh salah satu pilar yaitu pilar kebebasan berkepemilikan. Siapapun boleh “bebas memiliki” tambang berlimpah di negara ini. Selama memiliki uang/modal besar.
Kedua, jika negara memiliki keterbatasan cara dan sarana untuk mengelola maka, butuh diteliti pokok masalahnya dan dicari solusi yang tepat. Misalnya keterbatasan ilmu pengetahuan dan teknolog, bisa dengan membayar jasa para ilmuwan untuk mengajarkan teknologi tersebut. Begitu juga dengan keterbatasan peralatan dan sarana lainnya, negara harus mengupayakan untuk bisa menyediakan agar pengelolaan tambang bisa mandiri.
Permasalahannya sistem demokrasi kapitalis saat ini tidak memiliki kedua hal di atas. Hilangnya paradigma penguasa adalah pihak yang bertanggung jawab mengurusi rakyat dan SDA dalam potensi besar adalah harta milik umum yang seharusnya dikelola secara mandiri oleh negara. Sehingga keuntungan SDA tidak lagi digunakan sebesar-besarnya untuk mensejahterakan rakyat. Miris, bahkan ketika masyarakat yang hidup di tanah emas tapi tidak berdampak pada kesejahteraan.
Islam menetapkan pengelolaan kepemilikan umum termasuk SDA (sumber daya alam) termasuk emas dilakukan oleh negara. Dan keuntungannya digunakan untuk menyejahterakan rakyat.
Islam telah hadir untuk memecahkan seluruh problematika kehidupan termasuk dalam pengelolaan Sumber Daya Alam, diantaranya tambang, Allah Swt berfirman:
Kami telah menurunkan kepada kamu (Muhammad) Al-Qur’an sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk, rahmat serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (TQS an-Nahl [16]: 89).
Pada saat Rasulullah SAW menjadi pemimpin Negara Islam Madinah, pernah terjadi polemik terkait kepemilikan tambang. Imam at-Tirmidzi meriwayatkan hadis dari penuturan Abyadh bin Hammal. Dalam hadis tersebut diceritakan bahwa Abyad pernah meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul saw. lalu meluluskan permintaan itu. Namun, beliau segera diingatkan oleh seorang sahabat, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir (mâu al-iddu).” Rasul saw. kemudian bersabda, “Ambil kembali tambang tersebut dari dia.” (HR at-Tirmidzi).
Mau al-iddu adalah air yang jumlahnya berlimpah sehingga mengalir terus-menerus. Hadis tersebut menyerupakan tambang garam yang kandungannya sangat banyak dengan air yang mengalir. Semula Rasulullah saw. memberikan tambang garam kepada Abyadh. Ini menunjukkan kebolehan memberikan tambang garam (atau tambang yang lain) kepada seseorang. Namun, ketika kemudian Rasul saw. mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang cukup besar—digambarkan bagaikan air yang terus mengalir—maka beliau mencabut kembali pemberian itu. Dengan kandungannya yang sangat besar itu, tambang tersebut dikategorikan sebagai milik bersama (milik umum). Berdasarkan hadis ini, semua milik umum tidak boleh dikuasai oleh individu, termasuk swasta lokal dan asing.
Demikianlah kesempurnaan sayariat yang datang dari Allah Swt. Penerapan syariat islam akan menjadi solusi atas kegamangan penguasa mengelola tambang secara mandiri demi mewujudkan kesejahteraan rakyat sepenuhnya.
Post a Comment